Wahyudi Akmaliah - 27 September 2018 17:51
Pertemuan Jenderal TNI pada Oktober 1965 (Foto: Wikimedia
Commons)
Dua tahun setelah pemerintahan Jokowi terpilih, ada
secercah harapan untuk membuka kabut misteri yang selama ini menjadi hantu bagi
masyarakat Indonesia yang terus menakuti dengan stigma komunis, yaitu adanya
inisiatif untuk mengungkapkan kembali atas apa yang terjadi pada 1965-1966.
Inisiatif ini dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden dan
Komnas HAM, dengan mengangkat tema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan
Kesejarahan”, diadakan pada 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Sejak awal, dalam pembukaan simposium tersebut, Luhut Binsar
Pandjaitan, Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, menegaskan
pemerintah tidak akan meminta maaf kepada korban peristiwa 1965, tapi akan
menyelesaikan semua pelanggaran HAM dengan “cara yang lain,” di mana medium ini
adalah langkah pertama untuk menyelesaikannya.
Meskipun demikian, kesimpulan hasil simposium yang
disampaikan Sidarto Danusbroto, penasihat panitia dan anggota Dewan
Pertimbangan Presiden, cukup melegakan para pakar sejarah, sosial, aktivis HAM
sekaligus para penyintas. Ini karena, menurut Sidarto, tragedi yang
mengakibatkan jumlah korban yang sangat besar bukan hanya karena konflik
horizontal, melainkan juga adanya keterlibatan aparat negara (Affan, 2016).
Harapan untuk mengawal pengungkapan tragedi tersebut
kemudian dimuntahkan sendiri oleh Presiden Jokowi satu tahun kemudian, saat
mengisi pidato di Universitas Muhamadiyah Malang. Dengan tegas ia mengatakan
bahwasanya negara melarang keberadaan PKI, khususnya dengan adanya Tap MPRS
Nomor XXV Tahun 1966. Karena itu, “kalau bisa tunjukkan pada kita, tunjukkan
pada saya, saya akan gebuk (PKI) detik itu juga!” (www.detik.com, 3 Juni 2017).
Negara melarang keberadaan PKI, khususnya dengan adanya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966.
- -
Harus diakui, penegasan ucapan Jokowi tersebut ini ada
faktor utama yang melatarbelakanginya, yaitu "gorengan" pelbagai
kelompok oposisi untuk menggerogoti pemerintahannya terkait dengan berita hoaks
kebangkitan PKI. Secara afirmasi politik, ungkapan tersebut memang meredakan
hoaks tersebut yang selalu hadir di bulan September dan menjelang politik
elektoral.
Repetisi penegasan yang disampaikan Jokowi di pelbagai
daerah dan kemudian memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil Presiden dalam
Pilpers 2019 semakin meluruhkan "gorengan" tersebut. Karena itu, di level
akar rumput, masyarakat Indonesia mulai percaya bahwasannya isu tersebut memang
ada yang memanas-manaskan, mengingat mulai tidak bangkitnya hantu komunis di
bulan September ini.
Namun, akibat ucapan dan sikap yang ditunjukkan Jokowi
tersebut semakin menyempitkan harapan untuk pengungkapan kebenaran atas apa
yang terjadi selama dua tahun periode “yang tidak pernah berakhir” bagi
kelompok korban dan keluarga korban yang mengalami.
Padahal, mendiskusikan dan mengangkat kembali peristiwa
1965 merupakan langkah awal tidak hanya upaya untuk melakukan rekonsiliasi,
melainkan menjelaskan “watak Indonesia saat ini”.
Misalnya, kekerasan yang berulang, militansi kebencian
terhadap yang lain, normalisasi kejahatan, ekspansi dan munculnya kapitalisme,
masifnya korupsi melalui politik dinasti, kehancuran, dan hilangnya gerakan
berbasis kelas dan teori kelas, perubahan drastis bangsa Indonesia dari sikap
anti-kolonialisme menuju anti-komunis (Heryanto, 2012; Roosa, 2012; Farid,
2013).
Selain itu, pengungkapan tersebut juga memungkinkan untuk
mengetahui hilangnya generasi emas orang-orang pintar Indonesia, baik yang
dikirim oleh Sukarno melalui program Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) dan calon
pegawai negeri sipil (Duta Ampera), serta mereka yang sedang menjalankan tugas
kenegaraan dan delegasi Indonesia. Tidak ada yang dapat memastikan jumlahnya,
namun menurut Hill (2008), jumlah mereka ribuan.
Namun, akibat instruksi Presiden Suharto yang diwakili
Menteri Pendidikan pada 7 Mei 1966 untuk menjalani pemeriksaan dan menunjukkan
loyalitas kepada rejim baru tersebut membuat mereka yang harus kehilangan
kewarganegaraannya dan menjadi eksil. Ini karena, mereka mengikuti kata hatinya
untuk setia terhadap Indonesia melalui nasionalisme yang sedang dibangun
Sukarno (Hill, 2010).
Di tengah menyempitnya harapan tersebut, fakta empirik
baru terus bermunculan terkait peristiwa tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan
kemunculan tiga buku baru dalam edisi bahasa Inggris yang muncul kurun
2017-2018. Pertama, The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamic, and
Legacies, diedit oleh Khatarine McGregor, Jess Melvin, dan Annie Pohlman,
diterbitkan oleh Palgrave.
Kedua, The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres,
1965-1966, ditulis oleh Geoffrey B. Robinson diterbitkan oleh Princenton.
Ketiga, The Army and the Indonesian Genocide Mechanics of Mass Murder, ditulis
oleh Jess Melvin, diterbitkan Routledge.
Buku pertama tersebut merupakan bagian buku yang ditulis,
baik oleh sarjana Indonesia maupun internasional, membahas peristiwa 1965 dalam
pelbagai aspek yang belum dibahas ataupun menguat dari sarjana sebelumnya.
Yang menarik dari buku pertama ini adalah tulisan dari
Abdul Wahid yang melacak dosen-dosen UGM yang hilang dan dihilangkan dalam
peristiwa 1965 dan proses munculnya reformasi agraria yang memiliki pertautan
erat dengan peristiwa 1965 di Bali, ditulis oleh Roro Sawita.
Lebih khusus, tulisan Annie Pohlman juga menguatkan
selama ini mengenai desas-desus perempuan yang diperkosa dalam penjara di
Pelantungan dan dalam peristiwa 1965 tersebut.
Buku kedua tidak hanya menyisir studi-studi mengenai
peristiwa 1965 yang sudah ada melainkan lebih jauh melihat konteks Perang
Dingin di Asia Tenggara, di mana Indonesia menjadi bagian dari konflik
tersebut. Di sini, Robinson menjelaskan secara detail kehancuran gerakan kiri
di Indonesia dan kemunculan rezim otoriter sebagai bagian dari kemunculan
anti-komunis di Indonesia.
Melalui konstelasi Perang Dingin, ia menjelaskan
bagaimana Posisi Amerika Serikat yang kewalahan dalam menghadapi perang dengan
Vietnam yang bersekutu dengan Republik Rakyat China dan juga kontribusi
Inggris.
Di sisi lain, membantu Indonesia melalui penghancuran
Komunis merupakan jalan lain agar gerakan komunis tidak menjalar di Asia
Tenggara. Di sini, pembunuhan massal kemudian menjadi dalih sebagai bagian dari
pembersihan orang-orang kiri di Asia Tenggara dalam konteks global.
Sementara itu, di buku ketiga, Melvin membalikkan asumsi
umum yang selama ini terjadi mengenai peristiwa 1965. Banyak studi mengatakan
bahwasanya pembunuhan massal itu terjadi spontan oleh masyarakat yang
diakibatkan oleh ancaman dan ketegangan yang sebelumnya muncul.
Bahwasanya pembunuhan massal itu terjadi spontan oleh masyarakat yang diakibatkan oleh ancaman dan ketegangan yang sebelumnya muncul.
Melalui penelusuran 3000 lembar dokumen rahasia dari
Militer Indonesia, ia menemukan bahwasanya Gerakan 30 September itu sebelumnya
sudah direncanakan, baik sebelum, sedang dan pasca Gerakan yang dilakukan oleh
Untung.
Bahkan, ia menjelaskan bagaimana laporan yang dibuat
menjelang akhir peristiwa 1965 oleh Komandan Militer Wilayah Aceh, Brigadir
Jenderal Ishak Djuarsa.
Laporan itu merinci dengan detail bagaimana regu tembak
sipil telah dibentuk menjelang 1 Oktober dan segera melawan Jajaran Elit PKI
Aceh dan Etnis Tionghoa yang memiliki afiliasi dengan Beijing. Melalui laporan
tersebut, Djuarsa bertindak dengan tegas sesuai dengan komando militer yang
diperintahkan, yaitu memusnahkan akar dan basis komunis hingga habis dengan
melibatkan masyarakat sipil dan paramiliter melalui ancaman dan doktrin.
Melalui kasus dokumen Aceh tersebut, Melvin tidak hanya
mengungkapkan fakta secara jelas melalui pembuktian dokumen, sebagaimana selama
ini disangsikan oleh banyak orang, melainkan juga membongkar mitos siapakah
dalang dibalik tragedi Gerakan 30 September tersebut, menguatkan tesis John
Roosa (2008) sebelumnya.
Di sini, militer Angkatan Darat memiliki peranan yang
signifikan terhadap pembunuhan massal yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966
setelah Gerakan 30 September tersebut.
Dengan demikian, tiga buku yang menjadi fakta tersebut
dengan riset mendalam seharusnya membuat kita mendefinisikan kembali apa yang
disebut dengan aksi spontan dan bagaimana peristiwa 1965 seharusnya masuk dalam
kategori genosida karena ada proses perencanaan sebelumnya.
Selain itu, tindakan militerisme dan aksi-aksi kekerasan
memiliki akar lebih dalam melalui peristiwa 1965, di mana intervensi kekuataan
Barat dalam Perang Dingin menjadi titik pijak penting. Namun, sejumlah fakta
tersebut dikalahkan oleh politik elektoral untuk meraup suara, yang membuat
hantu Komunis akan terus bergentayangan, digunakan oleh predator politik untuk
menjatuhkan para pesaingnya.
Akibatnya, kita menjadi seperti keledai, selalu jatuh di
lubang yang sama, berkali-kali, dengan membentuk mesin paranoid atas hantu yang
terus hadir di bulan September.
0 komentar:
Posting Komentar