Jumat 28 September 2018,
15:32 WIB
Okky Madasari (Foto: Tia
Agnes/detikHOT)
Jakarta - Akhir September dan 1 Oktober kembali
tiba. Ribut-ribut soal PKI dan komunisme kembali marak. Ada yang ingin film G30S/PKI
kembali diputar di mana-mana, ada yang asal menuduh seseorang atau kelompok
tertentu sebagai komunis dan PKI. Belum lagi jika kita menyebut sederet catatan
pembubaran acara yang dituduh bagian dari upaya menyebarkan komunisme dan
menghidupkan PKI kembali.
Dua puluh tahun setelah Orde Baru tumbang, masih sulit bagi bangsa ini untuk membuka diri pada kesalahan masa lalu dan bersama-sama mencari kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam kenyataan seperti ini, bagaimana peristiwa penting dalam sejarah bangsa tersebut diajarkan di bangku sekolah? Apa yang disampaikan oleh guru dan buku pelajaran pada siswa-siswa di ruang kelas?
Kurikulum sekolah yang berlaku sekarang ini adalah Kurikulum 2013. Peristiwa 30 September 1965 sudah diajarkan sejak bangku SD hingga SMU dengan porsi dan penekanan yang berbeda-beda. Pada tingkat SD, peristiwa ini diajarkan melalui pengenalan pahlawan-pahlawan revolusi. Materi pengajaran yang cukup komprehensif atas peristiwa ini ada pada pelajaran Sejarah Kelas XII (Kelas 3 SMU).
Dua puluh tahun setelah Orde Baru tumbang, masih sulit bagi bangsa ini untuk membuka diri pada kesalahan masa lalu dan bersama-sama mencari kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam kenyataan seperti ini, bagaimana peristiwa penting dalam sejarah bangsa tersebut diajarkan di bangku sekolah? Apa yang disampaikan oleh guru dan buku pelajaran pada siswa-siswa di ruang kelas?
Kurikulum sekolah yang berlaku sekarang ini adalah Kurikulum 2013. Peristiwa 30 September 1965 sudah diajarkan sejak bangku SD hingga SMU dengan porsi dan penekanan yang berbeda-beda. Pada tingkat SD, peristiwa ini diajarkan melalui pengenalan pahlawan-pahlawan revolusi. Materi pengajaran yang cukup komprehensif atas peristiwa ini ada pada pelajaran Sejarah Kelas XII (Kelas 3 SMU).
Dalam buku Sejarah untuk siswa Kelas XII yang diterbitkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, peristiwa yang terjadi pada
30 September 1965 itu kembali disebut dengan menggunakan istilah
"G30S/PKI". Penggunaan istilah ini tak bisa diabaikan begitu
saja.
Salah satu buah dari Reformasi 1998 adalah adanya upaya dari segenap elemen masyarakat untuk mempertanyakan segala narasi tunggal atas sejarah bangsa ini, termasuk apa yang terjadi pada akhir September 1965. Salah satu wujud dari upaya itu adalah sikap untuk menganggalkan kata "PKI" dari istilah "G30S". Maka, pada tahun-tahun awal Reformasi, penyebutan peristiwa itu cukup dengan "G30S", bukan "G30S/PKI". Pelajaran sejarah di sekolah pada tahun-tahun pertama Reformasi pun menggunakan G30S, bukan G30S/PKI. Kini, dengan Kurikulum Nasional 2013, melalui buku-buku yang resmi diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pengajaran sekolah kembali menggunakan konsep yang diciptakan dan disebarluaskan oleh Orde Baru: G30S/PKI.
Satu hal yang sedikit menggembirakan dari pelajaran sejarah saat ini adalah adanya pengakuan bahwa masih ada kontroversi dan perdebatan atas apa yang terjadi pada 30 September 1965. Dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut disebutkan ada enam teori yang mencoba menjelaskan siapa dalang peristiwa tersebut.
Teori pertama, Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat yang dipicu oleh kecemburuan terhadap elite TNI AD. Teori kedua, bahwa dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Teori ketiga menyebut bahwa Gerakan 30 September bisa terjadi karena ada pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat untuk menggulingkan Sukarno. Teori keempat, Sukarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori kelima menjelaskan bahwa tak ada skenario besar dan pemain tunggal dalam peristiwa tersebut; semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan. Teori terakhir, yang menjadi narasi dominan hingga hari ini, dalang Gerakan 30 September adalah PKI.
Buku tersebut menyebut teori yang antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta 30 September 1965. Meski diakui adanya beragam versi, toh tetap saja versi keenam yang mendapat porsi besar dalam uraian buku yang menjadi pegangan siswa berdasarkan Kurikulum Nasional 2013.
Cerita pun bergulir mulai dari segala tindak-tanduk PKI yang membuat resah masyarakat di berbagai daerah, segala pertentangan, dan bahkan kekerasan dalam masyarakat yang kemudian mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang terjadi pada malam 30 September. Setelah itu, dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Soeharto mengambil alih kepemimpinan untuk menumpas G30S/PKI dan menangkap pentolan PKI di daerah-daerah.
Soeharto pun menjadi pahlawan. Persis seperti penggambaran dalam filmG30S/PKI yang selama Orde Baru berkuasa selalu diputar pada malam 30 September. Dan, cerita pun berakhir. Pelajaran tentang G30S untuk siswa Kelas XII diakhiri dengan narasi keberhasilan penumpasan PKI.
Tak ada kisah tentang pembantaian ratusan ribu manusia di berbagai daerah. Tak ada cerita tentang orang-orang yang dipenjara, disiksa, diperkosa, diasingkan tanpa proses peradilan. Belum lagi fakta bahwa tak semua dari orang-orang tersebut adalah mereka yang tak tahu apa-apa tentang hiruk-pikuk politik masa itu. Tentu saja juga tak ada cerita tentang keturunan anggota PKI yang seumur hidup juga harus menanggung hukuman.
Dua puluh tahun setelah Reformasi, kurikulum nasional kita masih menyembunyikan fakta kelam tersebut, mengabaikan segala bentuk temuan, kesaksian, pemberitaan di dalam maupun di luar negeri. Apa yang kita harapkan dari pelajaran sejarah macam ini? Bagaimana bisa kita mengharapkan lahirnya generasi-generasi kritis yang membawa perubahan jika yang mereka pelajari di sekolah adalah bagian dari propaganda usang?
Mengakui bahwa pembantaian dan segala bentuk kekejian itu ada merupakan langkah pertama dalam upaya mencari kebenaran dan keadilan. Dan, memasukkan pengakuan tersebut dalam pelajaran sekolah adalah sebuah keharusan yang tak bisa lagi ditunda.
Okky Madasari, novelis, visiting fellow di National University of Singapore
Salah satu buah dari Reformasi 1998 adalah adanya upaya dari segenap elemen masyarakat untuk mempertanyakan segala narasi tunggal atas sejarah bangsa ini, termasuk apa yang terjadi pada akhir September 1965. Salah satu wujud dari upaya itu adalah sikap untuk menganggalkan kata "PKI" dari istilah "G30S". Maka, pada tahun-tahun awal Reformasi, penyebutan peristiwa itu cukup dengan "G30S", bukan "G30S/PKI". Pelajaran sejarah di sekolah pada tahun-tahun pertama Reformasi pun menggunakan G30S, bukan G30S/PKI. Kini, dengan Kurikulum Nasional 2013, melalui buku-buku yang resmi diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pengajaran sekolah kembali menggunakan konsep yang diciptakan dan disebarluaskan oleh Orde Baru: G30S/PKI.
Satu hal yang sedikit menggembirakan dari pelajaran sejarah saat ini adalah adanya pengakuan bahwa masih ada kontroversi dan perdebatan atas apa yang terjadi pada 30 September 1965. Dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut disebutkan ada enam teori yang mencoba menjelaskan siapa dalang peristiwa tersebut.
Teori pertama, Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat yang dipicu oleh kecemburuan terhadap elite TNI AD. Teori kedua, bahwa dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Teori ketiga menyebut bahwa Gerakan 30 September bisa terjadi karena ada pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat untuk menggulingkan Sukarno. Teori keempat, Sukarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori kelima menjelaskan bahwa tak ada skenario besar dan pemain tunggal dalam peristiwa tersebut; semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan. Teori terakhir, yang menjadi narasi dominan hingga hari ini, dalang Gerakan 30 September adalah PKI.
Buku tersebut menyebut teori yang antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta 30 September 1965. Meski diakui adanya beragam versi, toh tetap saja versi keenam yang mendapat porsi besar dalam uraian buku yang menjadi pegangan siswa berdasarkan Kurikulum Nasional 2013.
Cerita pun bergulir mulai dari segala tindak-tanduk PKI yang membuat resah masyarakat di berbagai daerah, segala pertentangan, dan bahkan kekerasan dalam masyarakat yang kemudian mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang terjadi pada malam 30 September. Setelah itu, dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Soeharto mengambil alih kepemimpinan untuk menumpas G30S/PKI dan menangkap pentolan PKI di daerah-daerah.
Soeharto pun menjadi pahlawan. Persis seperti penggambaran dalam filmG30S/PKI yang selama Orde Baru berkuasa selalu diputar pada malam 30 September. Dan, cerita pun berakhir. Pelajaran tentang G30S untuk siswa Kelas XII diakhiri dengan narasi keberhasilan penumpasan PKI.
Tak ada kisah tentang pembantaian ratusan ribu manusia di berbagai daerah. Tak ada cerita tentang orang-orang yang dipenjara, disiksa, diperkosa, diasingkan tanpa proses peradilan. Belum lagi fakta bahwa tak semua dari orang-orang tersebut adalah mereka yang tak tahu apa-apa tentang hiruk-pikuk politik masa itu. Tentu saja juga tak ada cerita tentang keturunan anggota PKI yang seumur hidup juga harus menanggung hukuman.
Dua puluh tahun setelah Reformasi, kurikulum nasional kita masih menyembunyikan fakta kelam tersebut, mengabaikan segala bentuk temuan, kesaksian, pemberitaan di dalam maupun di luar negeri. Apa yang kita harapkan dari pelajaran sejarah macam ini? Bagaimana bisa kita mengharapkan lahirnya generasi-generasi kritis yang membawa perubahan jika yang mereka pelajari di sekolah adalah bagian dari propaganda usang?
Mengakui bahwa pembantaian dan segala bentuk kekejian itu ada merupakan langkah pertama dalam upaya mencari kebenaran dan keadilan. Dan, memasukkan pengakuan tersebut dalam pelajaran sekolah adalah sebuah keharusan yang tak bisa lagi ditunda.
Okky Madasari, novelis, visiting fellow di National University of Singapore
Sumber: News.Detik.Com
0 komentar:
Posting Komentar