Amanda Ariawan
Selasa 18 September 2018 - 21:10
Jumat, 7 September 2018 – ‘M I S S I N G’ (Hilang), pameran solo pertama Dadang Christanto di Malaysia diselenggarakan di Wei-Ling Contemporary, Kuala Lumpur. Dibuka oleh pemilik galeri, Lim Wi-Ling, dengan penampilan oleh Rachmi Diyah Larasati, penari kontemporer dan Associate Professor, Liberal Studies di University of Minnesota, pameran ini mengingatkan kembali akan tragedi 1965-1966 di Indonesia.
Lahir pada tahun
1957 di Tegal, Jawa Tengah, Dadang Christanto menjadi saksi akan kebencian
terhadap keturunan Bangsa Tionghoa di Indonesia. Keresahan yang dirasakan
segelintir penduduk akibat kondisi politik dan sosial yang mengerikan,
dituangkannya lewat karya seni--baik dalam bentuk lukisan, patung, performance
art, instalasi, dan lainnya.
Seperti jutaan
individu lain pada masa tersebut, sejak kecil ia terus mencari tahu apa yang
terjadi dengan anggota keluarganya yang hilang.
Karya MISSING (2018)
yang terdiri dari 110 buah lukisan potret pun menjadi salah satu sarananya
untuk mengenang para korban.
Meskipun kebenaran
tidak kunjung terbongkar, instalasi yang memenuhi salah satu dinding galeri ini
seolah mengungkap kembali penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan masal yang
terjadi di Indonesia pada masa tersebut, ke mata dunia.
“Penderitaan manusia terjadi di seluruh dunia hingga hari ini,” ungkap Dadang Christanto. Mengangkat topik yang universal, yakni isu diskriminasi dan kekerasan, karya-karyanya telah dipamerkan antar benua, dan kini menjadi koleksi permanen berbagai museum. Di antara yang paling ternama yaitu National Art Gallery of Australia di Canberra, Art Gallery of New South Wales di Sydney, Queensland Art Gallery di Brisbaine, Magdebug Museum, Fukuoka Museum of Contemporary Art, dan Museum of Contemporary Art Tokyo.
Beberapa karyanya
melibatkan publik, seperti They Give Evidence (1996-1997) di Museum of
Contemporary Art, Tokyo, di mana pengunjung dapat meletakkan seserahan sebagai bentuk
kehormatan terhadap mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Surat, puisi,
bunga, boneka dan benda-benda lainnya mengelilingi 20 patung berbentuk manusia
yang melambangkan korban. Ironisnya, setiap korban menggendong korban lainnya –
sebuah metafor akan sejarah yang terulang.
Enam karya lukis lain yang juga menggunakan cat akrilik dan arang, Ciduk,
Siksa, Bunuh, Buang I, II, III, IV, V, VI (2018), mengajak pengunjung
merefleksikan lebih dalam arti kekejaman terhadap manusia, termasuk wanita.
Pameran ini tidak sebatas memperlihatkan lukisan namun juga karya patung. Head
I, III, III (2018) masing-masing terbuat dari material yang berbeda yaitu
tembaga, alumunium, dan fiberglass.
Pada kepala tembaga, terdapat ukiran ornamen cantik yang terinspirasi dari
kisah rakyat dalam wayang.
“Kepala merupakan tempat satu-satunya bagi saya untuk merekam segala kejadian,” ujarnya.
Akankah memori akan kejadian 1965-1966
di Indonesia terus dikenang dari generasi ke generasi? Barangkali peran seni
adalah mengarsipkan sejarah yang terhapus.
‘M I S S I N G’ yang berlangsung dari 6
September hingga 4 November 2018 merupakan pameran monumental dari Dadang
Christanto setelah instalasi 110 patung, Survivor (2014) yang ditanamkannya di area Lumpur Lampindo. Kini, karya tersebut telah lenyap ditelan lumpur, layaknya 16 desa di Sidoarjo.
Sumber: Kumparan
0 komentar:
Posting Komentar