Oleh: P Hasudungan
Sirait
Mata para jenderal pahlawan revolusi dicongkel dan alat
kelaminnya disayat-sayat serta dipotong? Gambaran yang ada di film yang
bertolak dari karya Brigjen Nugroho Notosutanto dan Letjen Ismail Saleh itu
‘hoax’ [informasi palsu] belaka.
ilustrasi: Tayangan Film Pengkhianatan G30S/PKi di sebuah TV swasta
Prof. Dr. Arif Budianto (Liem Joey Thay), dokter ahli
forensik anggota tim yang menangani jenazah ketujuh jenderal, membeberkan
keadaan yang sesungguhnya kepada reporter majalah kami (‘D&R’), Imelda
Bachtiar dan Ondy A. Saputra [keduanya kemudian menjadi istri-suami dan kini
telah memiliki anak yang sudah remaja; salamku untuk pasangan yang berbahagia
tersebut].
Demi kelurusan sejarah yang kini hendak ditekuk-tekuk kembali, dari Bogor
yang sedari tadi pagi dalam dekapan hujan lebat sengaja kuhadirkan untuk Anda
sekalian sajian ‘D&R’ edisi 3 Oktober 1998 yang berjudul ‘Meluruskan
Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi’ tersebut. Teksnya utuh dan sesuai
aslinya; beberapa kalimat saja yang kuturunkan menjadi paragraf agar lebih
mudah dibaca.
Selamat menyimak kisah yang 32 tahun digelapkan penguasa Orde Baru.
***
Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi
DUA DEKADE LEBIH, ORANG INDONESIA tak bisa melihat suguhan lain di
televisi pada malam 30 September kecuali film kolosal ‘Pengkhianatan G3OS-PKI’.
Film arahan sutradara Arifin C. Noer, yang dibuat tahun 1984 itu, di tahun
1990-an mencapai puncak kepopulerannya. Tayangan berita di TVRI soal
pemberontakan PKI misalnya; disertai beberapa menit cuplikan karya itu.
Bagian yang selalu teringat—mungkin karena paling tegang dan menguras air
mata– di benak anak-anak Sekolah Dasar di tahun 1985 yang diwajibkan menonton
film itu di bioskop adalah adegan penyiksaan tujuh pahlawan revolusi.
Lebih dari 10 menit, penonton disuguhi adegan menyilet, menyudut, dan mencungkil mata pahlawan revolusi yang sedang sekarat. Pelakunya PKI-wan dan PKI-wati. Penyiksaan dilakukan sambil menari dan menyanyi seperti orang kerasukan. Lokasinya di tengah hutan bambu di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
‘Pengkhianatan G3O S PKI’ memang dibuat dari satu sudut pandang saja. Kabarnya,
tim periset film mewawancarai Soeharto, yang kala itu Presiden RI, sampai
berbulan-bulan. Cerita bagian penyiksaan itu memang persis sama dengan
penuturan Soeharto dan berita-berita koran pemerintah saat itu, seperti
‘Angkatan Bersenjata’ dan ‘Berita Yudha’.
Tapi, benarkah kejadiannya seperti yang dilukiskan itu?
Ternyata menurut
Prof. Dr. Arif Budianto, tidak. Orang yang dulunya lebih dikenal sebagai Liem
Joey Thay ini adalah dokter ahli forensik yang merupakan anggota tim yang
menangani jenazah ketujuh pahlawan itu. Tim tersebut merupakan gabungan Tim
Kedokteran ABRI dari Rumah Sakit Darat (RSPAD) Gatot Subroto dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Selain Arief (FKUI) yang waktu itu dokter termuda di dalam tim, anggota
yang lain antara lain Prof. Soetomo Tjokronegoro (FKUI), Brigadir Jenderal
Prof. Roebiono Kertapati (Direktur RSPAD dan Patolog, dr. Frans Pattiasina
(patolog dari RSPAD), dan dr. Ferry Liaw Yan Siang (FKUI). Dari nama yang
disebut itu tinggal Arif dan Ferry yang masih hidup. Ferry hijrah ke Amerika
Serikat usai tragedi G30S.
Prof. Arif yang boleh dibilang pelopor ilmu kedokteran forensik di
Indonesia hingga kini masih aktif berpraktik. Namun. sejak dua tahun belakangan
ia sudah tak mengajar lagi di FKUI. Berikut tuturan kakek dari seorang cucu itu
kepada Imelda Bachtiar dan Ondy A. Saputra dari ‘D&R’.
Membantu Otopsi Mayat
Hari itu 4 Oktober 1965. Sekitar pukul 20.00 datang satu truk dengan lebih
dari 20 tentara ke rumah saya, di kawasan Kampung Angus, Gelondongan, Glodok,
Kota. Waktu mereka datang, ibu saya kaget setengah mati. Ibu pikir saya
dijemput karena terlibat gerakan komunis. Waktu itu kan sedang gencarnya
pembersihan.
Tidak tahunya, tentara itu membawa surat dari Prof. Soetorno Tjokronegoro.
Dalam surat itu disebutkan saya diminta datang ke RSPAD Gatot Subroto untuk
membantu beliau memeriksa mayat tujuh pahlawan yang terbunuh pada 30 September.
Setelah berpakaian saya berangkat dengan truk itu menuju ke RSPAD. Waktu
itu, suasana Jakarta sangat mencekam. Jam malam masih berlaku dan di beberapa
tempat ada pos penjagaan.
Kami diharuskan berhenti dan pengantar-pengantar saya menyebutkan satu
kata sandi. Dan, setiap akan berhenti di satu pos, baik yang menjemput saya
maupun yang di pos siap-siap mengokang bren-gunnya.
Saya waktu itu takut sekali. Itu truk tentara yang pakai terpal dan saat
itu saya duduk depan. Untunglah, semuanya berjalan lancar dan kami sampai
dengan selamat di RSPAD Gatot Subroto. Saya masih ingat pasukan yang menjemput
saya bukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), tapi pasukan Kostrad
(Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat).
Ketika saya sampai di kamar otopsi RSPAD, di sana sudah ada profesor saya,
Soetomo, dan seorang senior saya yang lain dan Forensik FKUI, dr. Ferry Liauw
Yan Siang. Kelulusan saya dan dr. Ferry cuma berbeda lima bulan. Saya ditunjuk
dr Soetomo untuk membantu dia karena memang kami inilah yang paling senior.
Saya malah paling muda di antara mereka. Dr. Ferry lulus lima bulan lebih dulu
dari saya. Saya lulus dari FKUI tahun 1957 dan setelah itu langsung mengambil
spesialis forensik.
Di kamar otopsi, saya melihat secara umum kondisi mayat memang sudah
busuk. Memang tidak berulat, tapi kulit arinya sudah ngelotok. Tidak terlalu
kembung, tapi sedikit berlendir dan kulit-kulitnya kekuningan. Semua mayat
masih berpakaian lengkap seperti yang dipakainya terakhir. Itu sebabnya kami
juga ikut mendata benda-benda yang melekat di tubuh mayat.
Saya memeriksa mayat pertama mulai dari gigi. Di antara dua gigi serinya,
juga gigi taringnya ada kecil clan aneh. Itu kelainan, namanya ‘mensio dentis’.
Saya lihat keanehan itu. Lalu saya tanyakan ke seorang dokter Angkatan Darat,
dokter giginya, adakah yang punya gigi begitu. Dia langsung bilang,
“Oh, ini
Jenderal Ahmad Yani!”
Ketika saya memeriksa mayat Jenderal Ahmad Yani ada satu hal yang saya
paling ingat. Bola matanya sudah copot dan mencelat keluar. Itu terjadi, karena
ketika dimasukkan ke sumur, kepalanya lebih dulu. Di dasar sumur itu ada air,
jadi kepalanya terendam di sana.
Saya juga bisa mengenali pakaian Jenderal Yani. Dia menggunakan pakaian
piyama loreng-loreng, biru-putih-biru. Kemeja piyamanya penuh pecahan kaca. la
ditembak di depan pintu kaca rumahnya. Itu sebabnya sisa pecahan kacanya masih
berhamburan ke mana-mana. Selain mayat Ahmad Yani, saya memeriksa jenasah MT.
Haryono.
Kami bekerja sepanjang malam itu sampai dini hari. Di ruang otopsi itu
digunakan dua buah meja otopsi. Kami tanyakan waktu, apakah mayat para jenderal
akan diotopsi lengkap atau tidak. Para jenderal yang hadir, termasuk pak Harto,
bilang tidak usah."
Kebenaran yang Harus Dikemukakan
Tentang Pak Harto, sewaktu kami sedang sibuk-sibuknya lakukan otopsi, beliau
juga datang. Ada beberapa jenderal yang masuk ke ruangan otopsi saat itu. Pak
Harto tidak bicara apa-apa ketika itu; dan saya juga tak sempat memperhatikan
karena sedang sibuk bekerja.
Yang saya ingat, saya sedikit mengangkat kepala mayat yang sedang saya
periksa dan baru sadar Pak Harto ada di ruangan. Dia menggenakan ‘batlle dress’
(pakaian tempur). Kabarnya, RSPAD dari malam sampai pagi itu dijaga ketat
pasukan Kostrad. Tapi, kepada kami tak ada tekanan apa pun, khususnya kepada
saya. Itu sebabnya saya berani bicara seperti itu kepada yang lain.
Di luar kami sudah mendengar berita-berita yang menyeramkan soal kondisi
penis korban. Karena itu kami melakukan pemeriksaan yang lebih teliti lagi
tentang hal ini.
Tapi apa yang kami temukan malah kondom di kantung salah satu korban yang bukan
jenderal. Ada juga korban yang ditemukan tidak sunat.
Kami periksa penis-penis para korban sangat teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja juga sama sekali tidak ada. Kami periksa benar itu: dan saya berani berkata itu benar. Itu faktanya.
Satu lagi: soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola
matanya copot, bahkan ada yang sudah kotal-katil. Tapi, itu karena sudah lebih
tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa. Saya sempat periksa dengan
saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata, apakah ada tulang
yang tergores. Ternyata tidak ditemukan.
Ketika saya dan Prof. Roebiono sedang memeriksa salah satu mayat, saya
melihat di dadanya ada peluru yang kelihatan ngumpet agak di permukaan kulit.
Prof. Roebiono lalu bilang, “Itu ambil saja, nanti gue tutupin!”
Dia tutupin saya sama badannya. Lalu ambil peluru itu sambil sedikit
mencungkil. Lalu saya serahkan ke Prof. Roebiono. Entahlah, sekarang, peluru
itu ada dimana. Saya juga lupa dari tubuh siapa peluru itu saya ambil.
Kalau dikatakan sama sekali tak ada penyiksaan itu juga tak betul.
Mayat-mayat itu ditembaki berkali-kali. Pergelangan tangan mayat Haryono malah
jelas sekali hancur karena bebatan perekat yang direkat kuat-kuat dan diikat
sejak dari Lubang Buaya. Saya tak percaya, mayat yang dijatuhkan ke sumur bisa mengalami
hancur pergelangan tangan dan telapak tangan seperti itu.
Kepala mayat Jenderal Soetojo pecah. ltu juga kami tak bisa bilang karena
penyiksaan, karena kami tak ada di sana. Tapi, yang jelas; itu luka tembak.
Seluruh korban memang bisa disimpulkan meninggal karena luka tembak. Jadi,
kembali saya tegaskan, luka-luka di luar tubuh memang ada namun, karena kondisi
mayatnya sendiri yang sudah busuk, kami tak bisa bedakan lagi apakah ini
kondisi mayat sesudah mati atau sebelum mati.
Seperti dikatakan tadi, kami sampai was-was setelah selesai memeriksa mayat
karena karena tidak menemukan penis yang dipotong; sehingga waktu membuat
tulisan visum, semua anggota tim forensik ini ketakutan. Bagaimana ini
dilakukan?
Sementara itu di luar sudah berkembang sangat santer cerita-cerita
yang tidak benar dan terlalu dilebih-lebihkan soal kondisi mayat para perwira.
Saya sebagai yang termuda di kelompok tim forensik cukup tahu diri. Saya
bicara paling terakhir, setelah senior-senior saya. Waktu itu, saya bilang, ini
adalah tugas negara.
Bolehlah kami anggap negara adalah wakil dari Yang Mahakuasa. Jadi
perintah itu kita anggap datang dari Yang Mahakuasa. Karena itu,
kebenarannya lah yang harus dikemukakan.
Saya tekankan sekali kata itu: kebenaran yang harus dikemukakan. Kalau
sampai itu yang dipersalahkan biarlah kami yang tujuh orang ini masuk penjara.
Tapi, saya yakin, itu tak mungkin terjadi. Kenapa? Karena, kami melakukan yang
benar. Hal yang benar itu memang tak pernah terungkap di surat kabar di sini.
Tapi di koran-koran Amerika pernah diungkapkan kebenaran ini.
Buat saya, selama melakukan otopsi, saya belum mendengar pemberitaan di
luaran itu. Saya murni bekerja obyektif. Objektivitas saya seratus persen. Cuma
saya tidak tahu anggota yang lain. Saya baru tahu berita-berita itu waktu
selesai tugas di dini hari 5 Oktober. Kami duduk di ruangan besar di RSPAD
membicarakan hasil tadi.
Setelah selesai diperiksa, semua mayat itu dimasukkan ke dalam peti dan
dibawa ke Markas Besar Angkatan Darat yang di Jalan Veteran. Mula-mula, saya
dibawa ke Kostrad dulu, yang di depan Gambir. Upacara berlangsung di Markas
Besar Angkatan Darat.
Setelah itu saya pulang. Jadi saya melakukan otopsi dari malam 4 Oktober
sampai pagi 5 Oktober 1965.
Sumber: Hasudungan Sirait
0 komentar:
Posting Komentar