29.09.2018 | Aris Santoso
Bagaimana memahami
peristiwa 1965 sehingga serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh
kiri terus terjadi? Bagaimana pula harus bersikap terhadap korban 1965? Opini
Aris Santoso.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Peristiwa 1965 ibarat
lorong gelap bagi setiap rezim, termasuk rezim Jokowi sekarang. Hal itu bisa
terjadi, selain jumlah korbannya terbilang besar, dari segi ideologi juga
sensitif.
Pemerintah selalu menghadapi dilema, semisal ketika akan
memberi sedikit ruang bagi para korban, langsung akan mengundang reaksi dari
ormas vigilante.
Bisa jadi ormas-ormas tersebut kurang paham juga
bagaimana kejadian sebenarnya Peristiwa
1965dahulu, sebagaimana elemen masyarakat lainnya, yang mereka terima
hanyalah sejarah versi propaganda rezim Orde Baru.
Penulis: Aris
Santoso
Mengingat tidak ada narasi pembanding, sehingga sejarah
versi propaganda direproduksi terus, walaupun jalan ceritanya sebagian
(besar) tidak nalar.
Pemahaman yang rancu atas Peristiwa 1965 berdampak
pada tindakan yang "ganjil” pada para korban, seperti yang terjadi tepat
tahun 2017 di halaman kantor YLBHI, sebuah LSM yang bergerak di bidang
advokasi bagi warga kurang mampu.
Dari media sosial dan media elektronik, kita bisa
menyaksikan, betapa emosionalnya para anggota ormas (vigilante) dalam bertindak
terhadap korban yang rata-rata adalah manula.
Selain tidak mengenal sopan-santun, tindakan mereka juga
tidak beradab, bagaimana mungkin mereka bisa berlaku bak orang kesurupan
seperti itu.
Beda antara
Jakarta dan daerah
Bagian paling sulit dalam memahami Peristiwa 1965 adalah,
adanya peristiwa yang berjalan sendiri-sendiri antara Jakarta dan daerah,
namun kemudian dipaksakan bahwa keduanya merupakan peristiwa linier.
Apa yang terjadi di Jakarta, tepat pada hari peralihan
bulan, September
ke Oktober, sulit untuk tidak disebut sebagai upaya kudeta pihak
militer, dengan skenario yang teramat canggih, sungguh di luar imajinasi rakyat
kebanyakan, sehingga secara sepintas tidak tampak sebagai kudeta.
Jauh di kemudian hari, publik baru sadar, bahwa itu
sebenarnya sebuah kudeta (biasa), sesuatu yang umum dilakukan pihak militer di
negara lain. Itupun setelah ada input dari indonesianist terkemuka
seperti Benedict Anderson.
Sebuah konspirasi tingkat tinggi berhasil menggeser figur
Soekarno, dengan memunculkan figur Mayjen Soeharto, Pangkostrad saat itu.
Sampai kini belum jelas benar, apakah konspirasi itu di bawah kendali Soeharto
sepenuhnya, atau Soeharto sekadar mengambil keuntungan dari situasi chaos saat
itu.
Wacana ini masih akan terus berkembang, seiring
fakta-fakta baru yang muncul kemudian. Bila pemahaman publik masih buram apa
yang sebenarnya terjadi di Jakarta, tidak demikian halnya dengan yang terjadi
di daerah, khususnya di Jateng dan Jatim.
Apa yang terjadi di pelosok negeri begitu terang
benderang, yakni serangkaian persekusi terhadap orang-orang yang dituduh kiri,
sebagai dampak distorsi opini yang disebarkan dari Jakarta.
Begitu kerasnya benturan di "arus bawah”, sampai
sebuah majalah nasional terkemuka, pernah mengemukakan fakta
yang membuat kita tercengang.
Bagaimana ada sebagian warga, yang merasa dirinya kiri,
rela antri untuk "menyerahkan” lehernya. Mereka berbaris rapi di tepi
lubang, tempat dirinya nanti dikubur secara massal usai dieksekusi.
Tindakan orang (yang menyerahkan lehernya) itu,
mengingatkan kita pada peristiwa baru-baru ini terjadi pada mantan Menteri
Sosial Idrus Marham, yang sudah menyatakan dirinya "tersangka”, sebelum
ada pernyataan
resmi dari KPK.
Kita bisa membayangkan, tindakan persekusi dan
kriminalisasi demikian masifnya, sebuah fenomena abad pertengahan (di Eropa)
namun baru terjadi di negeri ini pada abad 20.
Demikian juga dengan orang-orang itu, mereka telah
memvonis dirinya sendiri bersalah, tanpa pernah mereka tahu pasti apa kesalahan
mereka.
Kita akan sulit memastikan, pihak mana yang bersalah
dalam kasus seperti itu, kelompok yang dengan sukarela menyerahkan lehernya,
atau kelompok yang bersiap "menerima leher”, yang bisa jadi itu adalah
leher kerabat atau tetangganya.
Kita bisa saja menyebut konyol pada pihak yang
dengan sukarela menyerahkan lehernya, mengapa mereka tidak kabur saja, pergi ke
tempat yang jauh, dengan mengaburkan identitas.
Yang bisa kita lakukan hanyalah memberi penilaian
(sementara) atas hari-hari gelap tersebut, tampaknya situasinya memang
begitu chaos. Sehingga pilihan bagi wong cilik menjadi sangat
terbatas.
Meragukan genosida
Saat masih menjadi Menkopolhukam (2015-2016), Luhut B
Panjaitan sempat meragukan bahwa genosida itu memang sunguh terjadi.
Luhut kemudian menghimbau pihak-pihak (terutama NGO di
bidang advokasi HAM), yang sekiranya memiliki data atas kasus kasus tersebut,
untuk menyerahkan data tersebut pada lembaga yang dipimpin Luhut.
Sungguh sebuah logika terbalik, bagaimana mungkin lembaga
negara (dalam hal ini Kemenkopolhukam) justru minta bantuan pada NGO, yang
kapasitas dan sumberdayanya lebih terbatas.
Keraguan Luhut atas adanya genosida pada penggal terakhir
tahun 1965, bisa jadi merupakan representasi aparatus negara pada umumnya yang
tidak ingin berurusan dengan masalah seputar
tragedi 1965.
Kalau itu memang sudah menjadi kehendak sebagian elite
politik negeri ini, tentu tidak ada kekuatan lain yang bisa melarangnya,
kecuali nurani mereka sendiri.
Dengan meragukan adanya genosida, setidaknya bangsa ini
telah menohok saudara sebangsanya sendiri sebanyak tiga kali.
Pertama, menuduh para korban (utamanya yang dieksekusi)
terlibat dalam peristiwa G30S, tanpa bukti pendukung yang valid.
Kedua, melakukan persekusi dan kriminalisasi secara
masif, dan sebagian dieksekusi. Dan terakhir, ketika duduk perkara masih belum
jelas, kasus persekusi, kriminalisasi dan genosida tersebut, diragukan
peristiwanya.
Bagaimana dengan
para pelaku genosida?
Dari segi jumlah tentu juga sama banyaknya, dan lintas
sektoral. Inilah yang disebut anomali sebuah zaman, ketika antara pelaku dan
korban tidak jelas batasnya, soal siapa yang benar, siapa yang salah.
Situasinya demikian anarkis dan berlarut.
Aparatus negeri ini kurang memahami makna sebuah tragedi.
Semua tragedi kemanusiaan, terlebih dengan skala besar, akan selalu diingat,
peristiwa itu sudah masuk dalam memori publik, dan terus diwariskan dari
generasi-generasi.
Di belahan bumi lain, sebuah tragedi selalu diperingati
sebagai ruang memelihara nilai kemanusiaan. Singkatnya, upaya melupakan sebuah
tragedi, di kawasan mana pun, akan sia-sia belaka
Dibanding kasus yang lain, penyelesaian pelanggaran HAM
terkait tragedi 1965, sebenarnya relatif mudah. Elemen penguasa sendiri yang
menjadikan ini seolah kasus rumit.
Meringankan negara
Dari pengamatan saya secara acak terhadap aspirasi para
penyintas (survivor), sejatinya mereka tidak berharap apa-apa lagi terhadap
negara, bahkan sekadar maaf sekalipun. Para korban dari segi usia umumnya sudah
tua. Mereka sudah pasrah menjalani hidup, sembari menunggu hari menuju
keabadian.
Bedakan antara sikap korban dengan kajian sejarah terkait
peristiwa tersebut. Bila kajian kita tidak pernah tahu kapan akan berakhir,
sementara bagi korban, peristiwa itu sudah selesai.
Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, bagaimana harus
bersikap terhadap korban
1965, seandainya tidak melakukan tindakan apa-apa, para korban juga tidak
mempermasalahkan. Dalam kasus ini, negara sungguh diringankan.
Masalahnya negara sendiri juga tidak pernah melakukan
observasi pada para korban, soal bagaimana aspirasi subjektif korban secara
detail, menjadi tidak tertangkap.
Sulit dinalar memang, untuk urusan sesederhana ini,
negara lebih merujuk pada opini para "broker”,yakni ormas garis keras
yang biasa memainkan isu korban 1965. Kalau suara kelompok ini yang lebih
didengar, kita tidak akan pernah tahu dimana ujungnya, mengingat mereka biasa
numpang hidup dari komodifikasi kasus-kasus seperti ini.
Aris Santoso, adalah penulis yang sejak
lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai
editor buku paruh waktu.
Sumber: DW.Com
0 komentar:
Posting Komentar