Harun Ona Rumbarar* | September 6, 2018
Suasana pemutaran film “Kenang 65” di salah satu asrama mahasiswa di Kota
Jayapura.
Semua berawal dari sebuah pemutaran film. Malam
itu, tanggal 30 September 2017, sa dan kawan-kawan menggelar pemutaran film di
Expo Waena, Kota Jayapura, Papua, di bawah naungan dua organisasi, yakni
Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua (GempaR-Papua) dan komunitas film
dokumenter Papuan Voices.
Tanggal itu dikenal keramat sebagai malam
pembantaian enam jenderal dan pengkhianatan PKI (begitu yang kami dengar).
Keesokan harinya, Indonesia akan ‘merayakan’ hari Kesaktian Pancasila.
GempaR Papua adalah wadah gerakan bagi
mahasiswa pemuda dan rakyat Papua. Gerakan ini lebih fokus pada isu kemanusiaan
dan lingkungan. Seiring berjalannya waktu, gerakan ini makin besar karena
mengangkat isu-isu sektoral di tingkatan Papua dan Papua barat.
Sebagai wujud solidaritas dan kepedulian
terhadap isu kemanusiaan, GempaR Papua bersama komunitas film melakukan
aktivitas pemutaran film yang bertema seputar kemanusiaan. Untuk pertama kalinya,
GempaR memilih untuk memutar kisah tentang pembantaian massal 1965.
Sedangkan, Papuan Voices adalah wadah bagi para
generasi Papua yang memiliki minat tinggi terhadap audio visual dan juga
kegiatan semacam pemutaran film, bahkan memproduksi film-film dokumenter itu
sendiri, dengan durasi lebih pendek, dan bertema tentang Papua. Hingga hari
ini, Papuan Voices menjadi wadah kreatif bagi generasi muda di Papua untuk
mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang perfilman. Dengan berjalannya
waktu, keanggotaan komunitas ini meluas hingga ke beberapa wilayah di Provinsi
Papua dan Papua barat.
Audiens menyimak penjelasan dari panitia pemutaran film “Kenang 65” di
salah satu asrama mahasiswa di Kota Jayapura.
Bagi Papuan Voices, pemutaran film dengan tema
ini juga untuk yang pertama kali.
Meski kami, anak-anak muda Papua, bukan korban
dari kasus 65, namun kisah tentang pembantaian massal kepada 500.000 hingga dua
juta penduduk Indonesia yang dilakukan oleh negara itu sangat memilukan hati
kami. Kesadaran akan pentingnya bersolidaritas itulah yang mendorong sa dan
teman-teman di Papua untuk menggelar pemutaran film.
Memang kisah ini bukanlah sebuah sejarah rakyat
bangsa Papua. Hampir tidak ada kaitannya secara langsung dengan orang Papua.
Walaupun ada yang menyebut bahwa sejarah Papua juga tak lepas dari kisah 65,
karena sejak itulah Soeharto berkuasa dan ia juga yang telah membuka pintu
masuk investor untuk mengeksploitasi kekayaan alam di Papua.
Bagi kami, Ini adalah sejarah paling kelam yang
dialami oleh bangsa Indonesia yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.
Banyak sudah informasi yang kami dengar bahkan kami menonton kisah soal 65 ini
sebelumnya di internet atau dari unduhan, tapi baru kami tonton
sendiri-sendiri. Untuk pertama kali, kami nonton sama-sama sudah.
Awalnya tak ada rasa cemas ketika acara nobar
(nonton bareng) itu digelar. Sa dan kawan-kawan sudah berkumpul di
tempat pemutaran sejak pukul 16:00 WIT untuk mempersiapakan segala sesuatu
terkait dengan kebutuhan nonton itu.
Beberapa kawan dari GempaR dan Papuan Voices
mulai berdatangan dengan alat-alat, seperti speaker dan proyektor. Warga di
sekitar lingkungan Expo, mahasiswa, pemuda-pemuda yang kami undang lewat
selebaran dan media sosial, juga mulai merapat.
Yang membuat pemutaran ini terkenang adalah, di
tempat yang sama, ada sebuah panggung milik Dinas Kebudayaan Provinsi Papua
yang dikelola oleh UPT. Taman budaya Expo Waena sedang yang disewa Polresta
Kota Jayapura juga melakukan pemutaran film dengan tema yang sama, tentang
1965, tapi versi mereka berbeda. Versi orde baru pastinya.
Namun kami tak merasa tersaingi, meski speaker
yang kami pakai tak sebanding dengan yang dipakai oleh panggung milik Polisi.
Kami tak keberatan juga ketika Bapak Polisi memutar film 65 versi orde baru.
Beginilah seharusnya negara demokrasi.
Hingga akhirnya segerombolan orang tak dikenal
datang menghampiri kami. Ternyata, mereka adalah aparat keamanan yang masuk ke
lokasi kegiatan pemutaran film tanpa permisi. Dengan tanpa basa-basi, aparat
polisi itu tiba-tiba mengatakan
“Acara kalian tidak diizinkan, sebab melanggar undang-undang,” katanya. Rasanya seperti petir di siang bolong mendengar ‘teguran’ itu, padahal saat itu malam hari.
Beberapa aparat mendatangi kami di lokasi pemutaran film tentang 65 di Expo
Waena, Kota Jayapura.
Kami memutuskan untuk tidak mengindahkan aparat
kepolisian tersebut. Kami terus mempersiapkan diri untuk memutar film. Namun
pihak keamanan mulai mengancam kami.
“Jika kalian tidak bubar dari sini, maka semua alat-alat kalian akan kami bawa ke kantor polisi,” katanya, kali ini lebih serius.
Kami memang kepala Malas Tahu, tapi
tentunya karena kami yakin tujuan kami baik dan benar. Kami berkeras dengan
kegiatan pemutaran film ini. Kegiatan ini harus jalan!
Tapi akhirnya dengan berbagai upaya negosiasi
dari aparat, pada akhirnya kami harus mengalah. Tapi bukan anak muda Papua
kalau tak punya rencana kedua, ketiga, jika rencana pertama tak berhasil.
Jauh-jauh hari saya dan teman-teman di Papua
yang sudah terbiasa menghadapi pembubaran, penangkapan, pengusiran oleh aparat
kepolisian Indonesia ini telah memprediksi bahwa akan ada intervensi di tengah
pemutaran film.
Diam-diam kami menyiapkan dua tempat kegiatan
lain dengan agenda yang sama. Tujuannya, yang pertama untuk memecah konsentrasi
polisi, yang kedua menyiapkan tempat lain jika tempat pertama dibubarkan.
Ternyata rencana kami berjalan dengan lancar.
Setelah ‘mengalah’ kepada polisi, kami memobilisasi penonton dari Expo ke
sebuah tempat yang memang sangat kami rahasiakan dari publik.
Seperti yang diharapkan, acara pemutaran di
tempat yang kedua berjalan dengan lancar tanpa sepengetahuan pihak aparat
keamanan dan bahkan jumlah penonton yang datang menyaksikan bagaimana negara
Indonesia membantai rakyatnya sendiri, mencapai ratusan.
Antusiasme audiens menonton film tentang 65 di asrama mahasiswa di Waena,
Kota Jayapura.
Apa yang terjadi malam itu, buat kami adalah
kejadian yang lucu, dan sering kami kumpul saat bercerita pada kawan. Ada satu
kejadian yang selalu sa trabisa lupa, ada seorang kawan melawan
saat aparat melakukan pembubaran, Ia berkata,
“Kami bukan orang Indonesia (pada saat itu), namun kami merasa peduli dengan bangsa indonesia yang dibunuh tanpa penyelesaian kasus pelangaran HAM sampai hari ini”.
Papua bergabung dengan
Indonesia lewat referendum yang kontroversial pada tahun 1969.
Hingga hari ini, orang Papua masih turun ke
jalan untuk mempertanyakannya.
Lalu, kalau kami saja di Papua peduli dengan
kasus 1965, sampai harus kucing-kucingan dengan aparat, mengapa masyarakat dan
negara Indonesia tidak?
Jayapura, 5 September 2018
* Harun Ona Rumbarar, Pegiat film di Papuan Voices.
Sumber: Ingat65
0 komentar:
Posting Komentar