Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Erlina Fury Santika
Minggu, 30 September 2018
16:38
Penulis: Erlina Fury Santika
Editor: Muhammad Zulfikar
Editor: Muhammad Zulfikar
Kegiatan para penyintas G30S
1965 di Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist.
TRIBUNJAKARTA.COM - Setiap tanggal 30 September,
bangsa Indonesia tak pernah lupa akan kejadian 53 tahun silam.
Peristiwa pembantaian massal, yang disebut Gerakan 30
September (G30S) pada tahun 1965 itu menyisakan trauma terhadap beberapa orang.
Suarbudaya Andi Rahadian, seorang pendeta dari Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist merupakan satu dari sebagian orang yang membantu rekan-rekan terdampak G30S.
Suarbudaya Andi Rahadian, seorang pendeta dari Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist merupakan satu dari sebagian orang yang membantu rekan-rekan terdampak G30S.
Suar mengatakan, gerejanya sudah mulai melakukan
pendampingan kepada rekan-rekan terdampak atau penyintas peristiwa tahun 1965 sejak
tahun 2013 silam.
Para penyintas adalah mereka yang dahulu ditangkap dan
dijadikan tahanan lantaran diduga terhubung dengan kelompok yang dicurigai
menjadi penggerak peristiwa tersebut, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).
Terkait pendampingan itu, Suar menjelaskan pihaknya kerap
mengunjungi para penyintas dan melakukan pengecekan kesehatan.
Suar menjelaskan, rata-rata usia para penyintas kini 70
tahun.
Selain melakukan kunjungan dan pengecekan kesehatan, Suar
dan rekan-rekan gereja juga mengambil cerita, data, foto kegiatan-kegiatan
mereka di masa lalu, selama di tahanan.
"Dokumentasinya kami kumpulkan untuk kami tabulasikan sebagai bank data kisah-kisah para penyintas '65," jelas Suar saat dihubungi TribunJakarta.com, Minggu (30/9/2018).
Lebih lanjut, Suar menceritakan kisah-kisah para penyintas.
Suar menjelaskan, bahwa rata-rata penyintas justru bukan
dari orang yang terlibat langsung pembantaian massal itu.
Satu di antara penyintas G30S 1965 wafat dan dimakamkan (Dokumen pribadi Suarbudaya Andi Rahadian)
Beberapa penyintas, lanjutnya, ada yang ditangkap hanya
karena menonton pertunjukkan seni ataupun tergabung di kelompok musik.
"Kebanyakan dari mereka dituduh. Ada yang cuma datang ke acara pertunjukkan musik yang kebetulan diselenggarakan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Orang yang datang ke pertunjukkan itu ditangkap," terang Suar.
"Ada yang cuma ikut jadi anggota drum band, yang kebetulan terkait dengan Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat itu bukan PKI. Itu cuma dekat dengan PKI," sambungnya
Para penyintas itu ditahan dan dicabut hak sipilnya
selama orde baru.
Padahal menurut Suar para penyintas itu bukanlah
narapidana.
"Mereka ditangkap (dan dipenjara) di Pulau Buru belasan tahun, dicabut hak-hak sipilnya, disiksa, dipenjara, dan sebagainya. Jadi mungkin ada puluhan ribu orang yang tidak terkait dengan PKI," terangnya.
"Mereka bukan narapidana. Mereka kan nggak pernah diadili. Orang yang disebut narapidana kan yang sudah divonis bersalah dan menjalani hukuman. Dan orang-orang ini tidak tepat disebut napol atau narapidana politik karena puluhan tahun tidak pernah mendapat keputusan pengadilan," jelasnya
"Orang-orang ini kebanyakan tidak ada hubungannya dengan PKI sama sekali," tegasnya.
Suar menerangkan, selama masa hidup para penyintas dan
keluarga besar penyintas kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Tak hanya itu, mereka juga diminta melapor dan kartu
identitasnya (KTP) ditandai sebagai tahanan politik usai lepas dari tahanan
pada masa orde baru.
Namun sejak reformasi, pelaporan itu sudah tidak
dilakukan lagi.
"Bahkan selama bulan September itu biasanya setiap minggu harus laporan, itu berpuluh-puluh tahun terjadi," jelasnya.
"Dari tahun 1968 atau sejak tahun dimana mereka dilepaskan dari tahanan, mereka dikenakAn wajib lapor. KTPnya dulu ditandai sebagai tahanan politik," terang Suar.
"Di era reformasi sudah tidak seperti itu. Tapi di awal reformasi 1999-2000 masih ada begitu," tambahnya.
Akibat dari pelaporan dan pembedaan identitas itu, Suar
menjelaskan para penyintas dulunya kerap mengalami kesulitan mencari kerja,
melanjutkan kuliah, bahkan ada yang batal menikah.
Sebab, lanjutnya, banyak yang menolak jika berurusan
dengan orang-orang yang dianggap tahanan politik.
"Mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan melanjutkan studi karena stigma dari kampus. Bahkan ketika mau menikah, calon istri atau suami, dan calon keluarganya menolak karena mereka dianggap keturunan tahanan politik," jelasnya
Seiring waktu, para penyintas bangkit dari keterpurukan dengan berbagai macam
strategi.
Beberapa di antaranya, terang Suar, ada yang mendapatkan
kepercayaan diri, mengganti identitas dan pindah ke luar kota.
Para penyintas itu tak jarang juga merekayasa cerita
hidupnya agar bisa diterima masyarakat sekitarnya.
"Ada yang mereka mendapatkan kepercayaan diri kembali, dilayani oleh gereja. Di Indonesia ada banyak komunitas gereja yang diam-diam menangani kelompok penyintas 65," terang Suar
"Ada juga yang pindah kota, pindah tempat tinggal, mengganti identitas sehingga latar belakangnya tidak ketahuan. Supaya tidak terlacak masa lalunya," jelasnya.
"Mereka ada juga yang mengarang cerita hidup baru. Sehingga masyarakat tahunya latar belakangnya apa. Padahal sesungguhnya mereka pernah ditahan karena dikait-kaitkan dengan kasus '65," tambahnya.
Masih ada stigma
negatif
Suar, yang juga pengurus forum '65, meyakini stigma
negatif masih kerap diberikan kepada para penyintas '65.
Ia bahkan menyebut pemberian stigma negatif era sekarang
lebih kuat.
"Stigma kepada penyintas '65 itu semakin kuat hari-hari ini karena ide tentang kebangkitan PKI dihembus-hembuskan," terangnya.
Iapun mengambil contoh pengepungan di kantor LBH Jakarta
setahun silam.
Pada saat itu para penyintas 65 berkumpul mengadakan
reunian.
Saat reuni diadakan, sekira 1000 orang berkumpul
mengepung LBH Jakarta.
"Pertemuan-pertemuan yang sifatnya reuni di antara penyintas '65 itu dituduh sebagai pertemuan yang bersifat politik dan hubungan dengan kebangkitan PKI, sehingga memancing kemarahan masyarakat dan masyarakat yang tidak tahu apa-apa digiring ke isu itu untuk diserbu," papar Suar.
Hal itulah yang menurut Suar, membuat para penyintas
masih trauma hingga saat ini.
Para orang tua itu takut untuk berkumpul lagi.
"Karena takut digrebek, takut dituduh macam-macam. Apalagi pasca-peristiwa LBH Jakarta," ungkapnya.
"Jadi saya rasa, orang-orang tua ini pada masa tuanya bukannya mendapatkan rehabilitasi, apalagi perlakuan yang baik, justru malah makin mendapat stigma," tambahnya.
Suar meyakini peristiwa 1965 menyisakan luka yang belum
sembuh.
Masyarakat, lanjut Fuad, harus diberikan edukasi terkait
peristiwa 1965 itu.
"Jadi jelas, luka itu belum sembuh. Bangsa ini punya PR untuk menyelesaikan problem di masa lalu," ucap Suar.
"Ini perlu upaya membuka kebenaran. Sebenarnya apa yang terjadi tahun 1965-1966 pada generasi muda. Dan hoaks-hoaks kebangkitan PKI itu jelas harus diluruskan oleh media massa. Karena itu memang berpotensi menimbulkan konflik horizontal," tandasnya.
0 komentar:
Posting Komentar