11 September 2018
| Appridzani
Sumber foto: Dokumentasi pribadi oleh FX Domini B.B Hera ketika di
Malang, 4 Mei 2018.
Senin, 9 September 2018, para
pegiat sejarah di seluruh Indonesia berduka. Peter Kasenda, salah seorang
sejarawan produktif, telah berpulang. Hemat penulis, di generasi sekarang tidak
ada orang yang paling mengenal Bung Karno selain beliau.
Peter Kasenda, seorang peneliti cum dosen
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta kerapkali didengar oleh mereka yang
menyenangi sejarah. Namanya juga sering menghiasi poster-poster diskusi,
entah sebagai pembicara atau ketika ada acara yang membahas buku karyanya.
Tidak salah apabila kita menyebut beliau sebagai salah satu sejarawan yang
produktif.
Pak Peter, begitu beliau biasa
disapa, memang gemar mengkaji salah satu tokoh nasional yang begitu sentral di
Indonesia, Soekarno. Jika ditelisik lebih jauh, karya Peter Kasenda mengulas
proses pendewasaan pemikiran Soekarno (Soekarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 ,
Komunitas Bambu, 2010), hingga kisah wafatnya sang Pemimpin Revolusi tersebut (Hari-Hari
Terakhir Sukarno, Komunitas Bambu, 2013).
Oleh karena itu penulis memberi label
Peter Kasenda sebagai teman dekat namun berbeda generasi dari Bung Karno.
Sejak muda, Pak Peter kerapkali
menulis sejarah dari sudut pandang yang berseberangan dengan narasi besar rezim
Orde Ba(r)u. Seperti yang kita ketahui, produk sejarah yang diterbitkan oleh
Orde Baru begitu diskriminatif. Sejarah yang seharusnya dapat menguatkan
identitas nasional, acapkali dipergunakan untuk mendiskriminasi beberapa
kelompok yang dianggap subversif. Meminjam istilah McGregor, sejarah pada masa itu
merupakan sejarah yang berseragam.
Peter Kasenda mempunyai andil yang
begitu besar terhadap perkembangan historiografi Indonesia. Salah satu media
kritis bagi akademisi saat itu ialah Jurnal Prisma. Sebuah jurnal kritis yang kerap
mengangkat tema soal politik a la akademisi pada era Orde Baru. Pak Peter
turut menyumbang tulisan untuk jurnal tersebut. Bagi penulis, banyak diantara
tulisannya mempunyai pesan lebih daripada sekadar memperkenalkan siapa itu
Soekarno.
Meski dalam sebagian besar buku ia
menjadikan Soekarno sebagai subyek penelitian, namun ada hal yang lebih penting
daripada itu: sebuah alternatif historiografi Indonesia. Ia berusaha menjadikan
seorang tokoh Bung Karno sebagai sudut pandang utama untuk menjelaskan sejarah
menurut ideologi dan keyakinan politik panglima revolusi itu. Ini yang
menjadikan karya Peter Kasenda begitu menarik untuk dibaca.
Salah satu buku terbaik Peter Kasenda
menurut hemat penulis adalah Soekarno, Marxisme dan Leninisme (Komunitas
Bambu, 2014). Di buku ini penulis menarik kesimpulan bahwa Pak Peter merupakan
sejarawan yang begitu tekun dan ulet. Dapat dibayangkan, gagasan dan perdebatan
yang dimulai sejak awal 1999 setelah reformasi hingga tahun 2008 terangkum
dengan baik dengan analisis yang tajam.
Dalam buku itu, Soekarno ditampilkan
sebagai manusia sekaligus menjadi tokoh penentu kebijakan sesuai kondisi
objektif yang tergambar dengan baik dalam buku tersebut. Sebagai seorang
nasionalis sejati, Pak Peter mencoba mundur selangkah dan melihat peristiwa
utamanya gerakan 30 September sebagai suatu peristiwa politik yang mengorbankan
banyak jiwa, yang harus dibahas melalui narasi kritis.
Buku itu juga berupaya
mengklarifikasi pandangan umum masyarakat mengenai kedekatan tokoh PKI D.N.
Aidit dengan Soekarno. Keyakinan umum saat ini hanya mendasari argumentasinya
dengan langkah kebijakan Soekarno yang menguntungkan bagi PKI. Peter Kasenda
berusaha mengingatkan bahwa argumentasi tersebut tidak sepenuhnya benar. Pak
Peter memberikan ilustrasi mendetail terkait figur Soekarno yang ingin menjadi
seorang‘bapak’ yang mengayomi semua anak-anaknya (termasuk di dalamnya Angkatan
Darat).
Hal tersebut dibuktikan dengan kerja sama kompak antara Soekarno dan AD
untuk menggalang dukungan terhadap Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Juga mendukung
langkah SOBSI untuk menasionalisasi aset perusahaan Belanda di Indonesia pada
periode 1957-1958.
Keberhasilan tentara dalam menumpas
gerakan kontra revolusioner PRRI/Permesta membuat posisi tawar mereka menjadi
tinggi. Dukungan tentara untuk membubarkan Dewan Konstituante dan penguasaan
akar rumput basis massa oleh PKI membuat peta politik semakin kompleks. Hal ini
yang menjadikan Soekarno sebagai sosok penting pengambil kebijakan. Meski kedua
PKI dan Angkatan Darat memiliki kekuatan yang berpengaruh dalam percaturan
politik dalam negeri, Soekarno berusaha membuat keputusan yang tidak
menguntungkan salah satu pihak.
Di sisi lain, Peter Kasenda juga
mengkritik langkah kebijakan Soekarno yang nasionalis namun menaruh lebih
menitik beratkan pada Jawa. Soekarno membentuk daya tariknya dengan menggunakan
suatu gambaran yang menimbulkan pengabdian yang mendalam di segala lapisan
masyarakat, terutama golongan abangan Jawa dengan konsep Nasakom.
Modernisasi di tingkat struktur
politik dan kesadaran ideologi yang beragam turut mewarnai periode sejak
demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin. Disini, Peter mengkriti soal
keberpihakan nasionalisme Soekarno yang seolah hanya berlaku untuk salah satu
golongan (re: Jawa).
Setelah meletus peristiwa tragedi
malam 1 Oktober 1965 dan disusul oleh pembunuhan massal yang ditujukan kepada
orang yang dianggap komunis, kondisi bangsa kita begitu sengkarut-marut.
Seperti yang John Roosa tuliskan, beberapa orang kepercayaan Soekarno ditahan,
dihilangkan, bahkan diasingkan.
Soekarno sebagai pahlawan, founding
father, dan simbol Indonesia didiskreditkan oleh Orde Baru
dengan hanya memberi gelar sebagai ‘sang proklamator’. Identitasnya diburamkan,
perjuangan yang dirintis sejak muda seolah pudar, bahkan menjadi bahan cacian
mahasiswa pada tahun 1966. Penggelapan sejarah dan adanya fabrikasi fakta non
faktual inilah yang menjadi dasar pemikiran kritis Peter Kasenda.
Peter Kasenda menjadi salah satu
sejarawan yang paling mengenal Soekarno. Selain ia harus mendebat
argumentas sejarah sejarawan orde baru, ia juga mesti melakukan counter wacana
terhadap tulisan peneliti asing. Sejarawan asing tersebut diantaranya Lambert
Giebels dalam bukunya Pembantaian yang ditutup-tutupi, Victor Miroslav Fic, dan
yang paling serius yakni Antonie C.A Dakedengan karyanya Soekarno
File dan In the Spirit of The Red Banteng, Indonesian Communists Between
Moscow and Peking.
Ketiga sejarawan di atas sudah
mendapat kritik keras dari sejarawan Indonesia yakni Asvi Warman Adam mengenai
fabrikasi data yang tidak faktual. Akan tetapi apabila kita membaca ulang karya
Peter Kasenda, semua karyanya (entah disengaja maupun tidak) merupakan anti
tesis terhadap narasi sejarah yang sengaja untuk mendiskreditkan Bung Karno.
Sebagai kader Marhaenis yang pernah
terlibat aktif dalam Gerakan Mahasiswa Republik Indonesia (GMNI) ia mencoba
menggali ulang data dan fakta mengenai sejarah Putra sang Fajar. Narasi yang
dibangun olehnya juga tidak terputus dan hanya terfokus pada satu peristiwa,
narasinya lengkap, bersambung, dan faktual. Ia kerap menjadi narasumber dalam
acara-acara yang membahas tentang Soekarno. Bahkan menjadi rujukan utama para
wartawan, apabila terdapat seorang politisi yang termakan oleh narasi besar
Orde Baru. Seperti waktu Joko Widodo menyebut bahwa Soekarno lahir di Blitar.
Meskipun begitu, Peter Kasenda
tetaplah manusia yang tak luput dari kesalahan. Tanggung jawabnya sebagai
akademisi dengan memproduksi tulisan-tulisan yang berkualitas seolah menjadi
‘suri tauladan’ bagi generasi sejarawan era sekarang. Sumbangsih
historiografinya selalu menarik untuk dikaji, terlebih beliau selalu
menggunakan bahasa yang ringan untuk dipahami.
Selamat jalan Peter Kasenda,
tulisanmu akan abadi dan dikenang oleh penerus bangsa ini.
Sumber: Senandika.Web.Id
0 komentar:
Posting Komentar