Callistasia Wijaya - Wartawan
BBC News Indonesia | 11 Oktober 2019
Sejumlah penyintas yang dituding sebagai anggota atau
simpatisan Partai Komunis Indonesia mengangkat penyiksaan dan pengalaman pahit
yang mereka alami sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Di Nusa Tenggara Timur, setidaknya 800 orang
meninggal dalam pembunuhan dalam kejadian lebih dari 50 tahun lalu itu, seperti
dilaporkan peneliti James Fox yang dikutip dari buku 'Keluar dari
Ekstremisme'.
BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
Penelitian yang dilakukan oleh organisasi
Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) menyebutkan mereka yang
mengalami pengalaman mengerikan -dari perkosaan sampai penyiksaan- berupaya
mengatasi apa yang mereka lalui ini melalui doa juga menenun.
Salah satu cara yang sempat dicoba dilakukan
adalah pintu rekonsiliasi seperti yang pernah diupayakan oleh Agus Widjojo,
yang saat ini adalah Gubernur Lemhanas.
BBC Indonesia bertemu dengan sejumlah
penyintas dan berikut kisah mereka.
Peringatan: Artikel
ini berisi cerita kekejaman.
Senyum, yang memamerkan gigi-giginya yang merah karena
sirih pinang, kerap menghiasi wajah Melki Bureni saat menceritakan tentang
cucu-cucunya juga aktivitasnya sehari-hari.
Tuturnya halus, namun jelas, dan pendengarannya masih
baik, meski rambut putih telah menghiasi kepala perempuan berusia 71 tahun itu.
Di usianya yang senja, Melki menghabiskan hari-harinya
dengan menenun.
Dari memintal benang, mewarnai, hingga menenun, ia bisa
menghabiskan waktu tiga bulan untuk membuat selembar kain tenun.
Melki dituding sebagai anggota Gerwani saat usianya 17 tahun. BBC
INDONESIA/DWIKI MARTA
Melki mengalami peristiwa yang sangat gelap menyusul
gerakan 30 september 1965.
Menenun adalah caranya menghadapi peristiwa suram lebih
dari setengah abad lalu.
Dituding Gerwani
Sekitar 10 menit perjalanan mobil dari kediaman Melki
Bureni di Merbaun, Kupang, terletak sebuah kuburan massal dengan enam orang di
dalamnya.
Saat menunjukkan kuburan massal itu pada tim BBC News
Indonesia, senyum Melki lenyap.
Duka, trauma, dan rasa malu yang dipikulnya selama 54
tahun yang lalu menyeruak dan air mata mulai membasahi pipinya.
Disekanya air mata itu dengan kain tenun yang mengelilingi
lehernya, namun lagi dan lagi, air mata menetes.
Ia bercerita usianya baru 17 tahun saat dituding sebagai
anggota Gerwani di tahun 1965, sebuah peristiwa yang mengawali serentetan
peristiwa kelam di hidupnya.
Pemeriksaan terhadapnya kemudian dilakukan oleh sekelompok orang, yang
kata Melki, merupakan gabungan aparat dan masyarakat. BBC INDONESIA/ DWIKI
MARTA
Saat itu ia hanyalah seorang penari kampung yang sering
diminta tampil di hajatan-hajatan.
Namun, saat operasi penumpasan terhadap orang-orang yang
dituduh PKI berlangsung, ia dituding sebagai anggota Gerwani karena pernah
mendapat pelatihan menyulam dari seorang perempuan, yang disebutnya berasal
dari Jakarta.
Siapa perempuan itu? Melki menyebut dia juga tidak tahu.
Pemeriksaan terhadapnya kemudian dilakukan oleh
sekelompok orang, yang kata Melki, merupakan gabungan aparat dan masyarakat.
Ia diperintahkan untuk melucuti pakaiannya karena
dicurigai memiliki cap Gerwani.
"Katong buka ini beha, celana, berdiri telanjang dibilang supaya cari cap Gerwani di pantat ko di mana. Telanjang. Tapi saya pasrah saja.. mau bergerak dong (mereka) 'potong'," kata Melki.
"Saya bilang demi Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu yang bagaimana. Hanya jarum dan benang bola (untuk menyulam) masih ada di rumah."
Saat itu, Melki mengatakan, nyawanya selamat karena ada
seorang warga laki-laki yang membelanya.
Meski begitu, mimpi buruk itu tak juga berakhir.
Sesaat setelah kejadian itu, paman Melki, seorang guru,
dan empat petani yang tinggal di sekitar rumahnya, ditangkap karena dituduh
sebagai anggota PKI.
Padahal, Melki yakin, orang-orang itu hanya asal-asalan
dituding karena ada kecemburuan sosial di antara para warga.
Ia pun diminta oleh aparat desa menjadi saksi penguburan
massal.
Hingga kini Melki tidak tahu di mana ayahnya dimakamkan. BBC INDONESI/
DWIKI MARTA
Saat itu sore hari, sekitar pukul 15.00, Melki
menyaksikan tubuh-tubuh yang hancur siap ditanam ke dalam lubang tanah.
"(Tubuh itu) luka-luka karena dipotong dengan parang… Perutnya semua lari keluar," kata Melki.
Mayat-mayat itu hanya dibungkus dengan tikar.
Saat itu hatinya remuk, namun kata Melki, dia dilarang
menangis.
"Anjing saja (kalau) kita sayang waktu dia mati kita bisa usaha. Ini manusia...," ujar Melki.
Tak hanya sang perangkat desa, Melki mengatakan, sejumlah lelaki di
desanya di Merbaun terus melakukan pelecehan terhadap dirinya. BBC INDONESIA/
DWIKI MARTA
Ia diminta membawa bendera merah putih untuk kemudian
ditancapkan pada kuburan massal itu.
Bayang-bayang peristiwa itu masih menghantuinya, saat
satu pekan kemudian ayahnya ditangkap.
Ia menyaksikan bagaimana ayahnya diangkut dengan mobil
bersama beberapa orang lainnya ke sebuah daerah perbukitan di Merbaun.
Di balik sebuah batu, Melki mendengar suara tembakan.
"Tembakannya enam kali," ujar Melki.
Ia percaya timah panas itu telah menghabisi nyawa
ayahnya, yang hingga kini tidak dia ketahui dikuburkan di mana.
Dalam periode terkelam di hidupnya itu, Melki bercerita
ia diperkosa oleh seorang perangkat desa.
Ia tidak bisa berteriak minta tolong karena posisinya
saat itu yang dituduh Gerwani.
Petikan puisi 'Hartaku' karya Tasya Doek yang terinspirasi kisah hidup
Melki Bureni di buku 'Bintang Berekor di Langit Timur' terbitan Lembaga
Kreatifitas Kemanusiaan. BBC INDONESIA / CALLISTASIA WIJAYA
Tak hanya sang perangkat desa, ia mengatakan, sejumlah
lelaki di desanya terus melakukan pelecehan terhadap dirinya.
"Yang (laki-laki) tua-tua bikin katong seperti anjing."
Demi melindungi diri dari pelecehan yang terus menerus
diterimanya dari sejumlah pria di kampung, di usianya yang belum genap 18
tahun, ia terpaksa menerima pinangan seorang laki-laki berusia 42 tahun.
'Biar Tuhan yang
adili semua'
Kini setengah abad lebih peristiwa 65 berlalu dan Melki
telah melanjutkan hidup, meski sakit di hatinya abadi.
"Hanya rasa sakit hati di dalam ini yang kita simpan saja. Biar Tuhan yang adili semua. Oma punya penghiburan di situ saja," ujarnya.
"Tuhan yang bantu oma untuk tetap kuat."
"Hanya rasa sakit hati di dalam ini yang kita simpan saja. Biar
Tuhan yang adili semua. Oma punya penghiburan di situ saja," ujarnya. BBC
INDONESIA / DWIKI MARTA
Menurut buku Memori-Memori Terlarang, Perempuan Korban
dan Penyintas Tragedi 65 di Nusa Tenggara Timur, Gerwani mulai beraktivitas di
kota Kupang sekitar tahun 1961.
Kegiatan-kegiatan yang sering diadakan adalah pelatihan
keterampilan, seperti menjahit dan memasak.
Beberapa penyintas mengatakan tidak ada kegiatan yang
berkaitan dengan politik.
Buku yang diterbitkan di tahun 2012 itu menjelaskan
banyak orang yang namanya terdaftar sebagai penerima bantuan dari PKI, seperti
beras, alat pertanian, hingga tanah, yang kemudian dianggap sebagai anggota
PKI.
Banyak pula nama yang terdaftar sebagai anggota PKI
dicantumkan karena sentimen-sentimen dan masalah pribadi, sebagaimana
dijelaskan dalam buku yang diedit Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah itu.
Sementara proses rekonsiliasi politik dan hukum berjalan
di tempat, para penyintas memulihkan diri mereka sendiri melalui agama.
Banyak pula nama yang terdaftar sebagai anggota PKI dicantumkan karena
sentimen-sentimen dan masalah pribadi, sebagaimana dijelaskan dalam buku yang
diedit Mery Kolimon dan Liliya Wetangterah itu. GETTY IMAGES
Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan doa yang diusung
Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), sebuah organisasi yang terdiri dari
pendeta-pendeta dan calon pendeta.
Sejumlah penyintas, seperti Melki, rutin mengikuti
kegiatan 'Sahabat Doa' yang diinisiasi JPIT, di mana para lansia dapat berbagi
dan saling menguatkan dengan sesama penyintas.
Ketua Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang juga
peneliti kasus 65, Pendeta Paoina Bara Pa, mengatakan proses pemulihan dimulai
saat para penyintas mengungkapkan pengalaman pahit mereka.
Untuk membuat para korban mau berbicara tentu tidak
mudah, karena trauma yang telah mereka pendam bertahun-tahun.
"Korban ini orang yang hati-hati untuk bicara dengan siapapun. Anak-anaknya saja mereka tidak bicarakan," ujar Paoina.
Menurut Paoina, seringkali para penyintas malah
mempersalahkan diri mereka sendiri.
"Saya bilang oma-oma tidak salah, tidak pernah melakukan kejahatan yang pantas menerima kondisi ini...Kekuatan kami adalah pendeta perempuan, itu pintu yang paling baik," kata Paoina.
Sebagian para penyintas tragedi 1965 adalah orang-orang yang dulu aktif di sejumlah organisasi di bawah naungan PKI, seperti Lekra, Sarbuksi, atau Barisan Tani Indonesia. (Foto atas: Seseorang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap oleh aparat
militer Indonesia setelah 1 Oktober 1965). BETTMANN/GETTY IMAGES
Dalam proses merangkul para penyintas, Paoina
menceritakan pengalamannya yang tak terlupakan.
"Ada seorang oma di (Kabupaten) Sabu-Raijua yang teriak hampir satu jam. Dia mengatakan 'kalau saya mati pun saya sudah lega karena saya sudah bisa tumpahkan, berbagi, karena saya tahu saya tidak bersalah'," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan Melki Bureni setelah
menceritakan kisahnya.
"Oma bersyukur karena katong bisa keluarkan apa yang didendamkan dalam hati. Ini kerja Tuhan," ujarnya.
Melki Bureni berbicara di acara peluncuran Buku Bintang Berekor di
Langit Timur, di Goethe Haus, Jakarta, tahun 2018. JARINGAN PEREMPUAN INDONESIA
TIMUR (JPIT)
Melki Bureni tak ragu membagikan kisahnya pada orang
lain.
Tahun lalu, ia merupakan salah satu penyintas 65 yang
berbicara di Peluncuran Buku Bintang Berekor di Langit Timur, di Goethe Haus,
Jakarta, tahun 2018.
Sebuah puisi berjudul "Seorang Budak Merindukan
Naungan" karya Melki diterbitkan dalam buku itu.
... Aku akan
berbicara dalam kesesakan jiwaku
Mengeluh dalam
kepedihan hatiku
Apabila aku
berpikir
Tempat tidurku akan
memberi aku penghiburan...
'Belum siap
rekonsiliasi'
Ke mana orang-orang seperti Melki Bureni dapat pergi
menuntut keadilan?
"Mereka bisa pergi untuk mengadakan perenungan diri sendiri," ujar Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo dalam wawancaranya dengan Rebecca Henschke.
"Karena hal semacam itu, untuk mereka yang tidak bersalah, semua apa yang kita inginkan dari orang per orang, satu per satu sampai sejuta orang, bisa terwujud melalui pintu rekonsiliasi."
Namun, kata Agus, para penyintas tidak bisa menuntut
haknya secara individual.
"Kalau mulai dari penuntutan 'Saya ingin dikembalikan hak milik, dikembalikan harga diri saya', nggak bisa kalau satu per satu. Semua masuk rekonsiliasi dulu. Dari rekonsiliasi, setelah itu bisa diatur oleh kebijakan pemerintah," ujar Agus.
Agus adalah anak dari Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo
Siswomiharjo, yang menjadi korban 30 September 1965.
Ia terlibat aktif dalam rekonsiliasi dan penguakan
sejarah 65 dan di tahun 2016 ia menjabat sebagai adalah Ketua Dewan Pengarah
Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan".
Sejumlah anggota militer Indonesia menangkap dan membawa belasan pemuda
yang diduga menjadi anggota PKI di Jakarta, 10 Oktober 1965. BETTMANN/GETTY IMAGES
Meski begitu, Agus menekankan masyarakat belum siap
dengan rekonsiliasi terkait kasus 65.
Baik pihak yang dulu terlibat PKI, maupun pihak militer,
kata Agus, belum bisa merefleksikan apa yang terjadi secara utuh.
Di sisi lain, Melki tidak bicara muluk-muluk ketika
ditanya apa yang dia harapkan dari negara terkait peristiwa itu.
Ia mengatakan hanya berharap kuburan massal dapat diberi
penanda agar keluarga dari orang-orang yang dibantai dapat berziarah dengan
layak.
"Biar anak cucu (korban) bisa tahu bapak mereka ada di sini," katanya.
Upaya rekonsiliasi gereja dan para penyintas 1965 di Nusa
Tenggara Timur dibahas di salah satu artikel dalam buku Keluar Dari
Ekstremisme: Delapan Kisah "Hijrah" Dari Kekerasan Menuju Binadamai
oleh PUSAD Paramadina.
Miris. Nyawa seolah mainan kemanusiaan. Jika ini terjadi sepanjang zaman maka bisa disimpulkan bahwa manusia sebenarnya hanyalah makhluk yang relatif mirip hewan dalam hal kebuasan untuk mempertahankan eksistensinya.
BalasHapus