1 Oktober 2019
©Arsip/BAL
Mengakhiri peringatan peristiwa Gerakan 30 September
(G30S), BALAIRUNG kembali mengunggah arsip mengenai dinamika politik dan hukum
pada saat itu dan setelahnya. Pada kesempatan ini, BALAIRUNG membahas tahanan
politik Orde Lama dan Orde Baru, hingga upaya rekonsiliasi nasional.
Artikel ini dimuat Majalah BALAIRUNG NO. 22/TH.IX/1995
dalam rubrik Berita Tema yang mengulas tema-tema tertentu. Demi keterbacaan
artikel, kami melakukan penyuntingan minor yang meliputi diksi dan bahasa
sebelum mengunggah di laman ini. Berikut adalah artikelnya.
Di seputar tahun 1960-an ketika usia sudah mencapai
kepala enam, konon Presiden Soekarno dihinggapi rasa cemas. Ia merasa revolusi
Indonesia stagnan. Padahal revolusi yang berkobar pada 17 Agustus 1945 belumlah
selesai. Revolusi harus berjalan terus selama tujuannya belum tercapai.
Namun, Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada 1959 untuk
mengakhiri tidak beresnya politisi dalam mempraktikkan demokrasi liberal juga
tidak menolong. Bahkan, dekrit menimbulkan kevakuman politik. Saat itulah, pada
22 Juli 1959 untuk pertama kalinya, Indonesia mempunyai peraturan hukum bernama
Penetapan Presiden (Penpres) yang mengatur segera dibentuknya DPR sebagai
pengganti konstituante.
Penpres dianggap sebagai hukum revolusi tidak lama
setelah muncul konsep demokrasi dan ekonomi terpimpin. Keluarlah PNPS No.
11/1063 yang terkenal sebagai Undang-Undang Subversi. Produk hukum ini sengaja
diciptakan sebagai alat untuk menghalalkan segala cara mencapai tujuan revolusi
sebagai cara menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Jadi, setiap orang yang tidak
menghendaki susunan masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan ajaran Manipol
dengan demokrasi terpimpinnya. Maka, menurut Penpres ini, mereka digolongkan
pada anasir-anasir subversi yang dapat dikenakan tindak pidana subversi.
Uniknya, Penpres produk Orde Lama itu akhirnya dioper dan
dipakai oleh pemerintah Orde Baru. Padahal, berdasarkan TAP MPRS No.
XIX/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif di luar
produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945, produk berbentuk Penpres itu
harus ditinjau kembali. Penpres itu tidak dicabut, karena bagi Orde Baru
ternyata Penpres itu berguna sebagai alat untuk menjatuhkan sisa-sisa pelaku
G30S/PKI.
Sejarah membuktikan bahwa Penpres itu akhirnya memangsa banyak
korban, bukan hanya PKI, tetapi juga dari kalangan Islam atau gerakan
separatis. Pada masa Orde Baru, tahanan politik atau narapidana politik menjadi
istilah yang sering dipakai untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.
Menurut Prof. Dr. Ichlasul Amal, istilah Tapol-Napol itu
khas Orde Baru.
“Di masa Orde Lama, Mochtar Lubis atau Natsir pernah ditahan Soekarno, tetapi mereka tidak disebut sebagai Tapol-Napol. Tidak ada batasan yang jelas dan kriteria yang pasti seseorang disebut Tapol-Napol.” Ujar Staf pengajar Fisipol UGM ini lebih lanjut melihat kontradiksi dari batasan Tapol-Napol.
“Pengadilan pidana politik itu sebenarnya tidak ada. Pengadilan hanya mengadili perkara kriminal. Keyakinan politik itu sendiri tidak dapat diadili. Tetapi, kalau keyakinan itu diwujudkan dalam suatu tindakan yang merusak, maka tuduhan itu yang harus diadili,” tambahnya.
©Arsip/BAL
H.J.C. Princen bahkan menilai konstitusi Indonesia bukan
hanya melindungi keyakinan politik, tetapi juga tindakan politik sepanjang
tindakan tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
“Jika seseorang ditahan atau dihukum karena tindakan politiknya, itu lebih karena sifat tindakan itu, misalnya ia menggunakan kekerasan hendak membunuh presiden, dan bukan karena hakekat keyakinan politiknya,” ujar Princen.
Maka, bagi direktur Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi ini,
istilah Tapol-Napol sebenarnya tidak dikenal dalam sistem politik dan hukum
Indonesia. Setiap negara, lanjut Princen, memang berhak menjaga dirinya dari
usaha-usaha yang bermaksud untuk meruntuhkan negara serta menjajah negara dan
bangsa. Oleh karena itu, adalah wajar apabila negara membuat seperangkat aturan
yang bersifat preventif dan represif mengenai bahaya yang mengancam
kelangsungan hidupnya. Tetapi, hadir permasalahan terkait dengan aturan-aturan
yang mengekang demokrasi dan hak asasi manusia.
“Nyatanya di Indonesia kekuasaan negara sedemikian besarnya, dan dapat memaksakan kehendaknya sehingga menghambat demokrasi,” tambahnya.
Sistem Politik
Orde Baru
Fenomena kemunculan Tapol-Napol sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari sistem politik Orde Baru secara keseluruhan. Meskipun PKI dan
para pendukungnya berhasil disingkirkan setelah kegagalan perebutan kekuasaan
oleh G30S/PKI, namun kekhawatiran akan terjadinya konflik politik yang tajam
masih tetap saja ada. Hal yang paling dikhawatirkan oleh pemimpin Orde Baru
adalah munculnya konflik-konflik “ideologis” seperti masa sebelumnya, terutama
yang berasal dari ekstrim kanan dan ekstrim kiri.
Setiap orang atau golongan yang tidak mematuhi aturan
yang telah digariskan dapat dijadikan sebagai tahanan/narapidana politik.
Sampai tahun 1970-an, isu yang paling menonjol adalah
mengenai PKI. Menurut catatan Amnesti Internasional, sebanyak 1.014 orang yang
sempat ditahan berkenaan dengan G30S/PKI. Dari jumlah itu, hampir separuh telah
dijatuhi hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup atau hukuman 20 tahun. Dari
400 perkara yang telah diputuskan di pengadilan, kira-kira 150 orang telah
dijatuhi hukuman mati. Data terakhir menunjukan bahwa jumlah yang sudah dihukum
mati sebanyak 67 orang. Dari jumlah itu yang sudah dieksekusi sebanyak 18
orang, yang telah diubah –menjadi seumur hidup, 20 tahun atau dibebaskan–
sebanyak 3 orang. Sehingga yang tersisa dan menunggu perkembangan ada 46 orang.
Menjelang tahun 1980-an, muncul Tapol dari kalangan
Islam. Kemunculan Tapol ini tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran pemimpin
Orde Baru akan kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal. Kelompok ini
dicurigai menggunakan sentimen agama sebagai daya tarik dalam menuntut berbagai
hal yang menonjolkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini dapat mengganggu pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Masa-masa
ini adalah masa rekayasa besar-besaran terhadap organisasi masa dan kelompok
Islam yang menyebabkan letupan-letupan dalam masyarakat. Buktinya, muncul
penentangan yang kemudian disertai dengan penangkapan dan penahanan. Menurut
catatan Panjimas, secara acak sejak 1985 sampai 1987, tercatat 180 narapidana
politik Islam terpuruk di dalam ruang sempit sel penjara.
Mulai dari Usroh, Darul Islam, Tanjung Priok, Komando
Jihad, Penyebaran selebaran gelap, LP3K, khotbah, mencuri bahan peledak,
peledakan gedung BCA, Talang Sari Lampung, dan berbagai kasus lain. Selain yang
telah dibebaskan, kini sekitar 30 orang masih meringkuk di lembaga
permasyarakatan dengan masa tahanan –sebagian– seumur hidup untuk mereka yang
berunsur komando jihad dan sebagian lagi antara 18 tahun hingga 20 tahun bagi
mereka yang gerakannya dikenal komando jihad, Lampung, GPK Aceh, dan aksi bom
bis Pemuda di Malang.
Selain Tapol dari G30S/PKI dan Islam, banyak Tapol juga
berasal dari gerakan separatis. Dari catatan Amnesty Internasional, ada 80-an
orang yang ditahan. Mulai dari Gerakan Aceh Merdeka sebanyak 24 orang yang
rata-rata dipenjara seumur hidup, 20 tahun sampai 6 tahun, Gerakan Papua
Merdeka sebanyak 16 orang yang kebanyakan seumur hidup dan penjara 6 tahun
hingga 12 tahun. Sedang lainnya dari Gerakan Timor Timur Fretilin.
Akhir-akhir ini justru muncul Tapol jenis baru yang
berasal dari mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, gerakan pro demokrasi
ataupun gerakan buruh.
Secara keseluruhan, menurut data yang diperoleh BALAIRUNG
dari Yayasan Penghayat Keadilan, ada 263 tahanan politik di seluruh Indonesia.
Angka ini belum termasuk yang ditahan di berbagai rumah tahanan militer di
Irian Jaya, Timor Timur, Aceh, dan Lampung. Dari jumlah itu sebagian
diantaranya telah berusia lanjut dan sakit-sakitan.
Hegemoni Negara
Tapol-Napol berbeda dengan tahanan/narapidana perkara
kriminal biasa. Hal ini dikarenakan kasusnya adalah politik, maka dasar yang
membuat mereka ditahan atau dipidana tidak dapat dilepaskan dari alasan-alasan
politis tertentu.
Selama ini yang dituduhkan kepada mereka adalah mereka hendak
menggulingkan pemerintah yang sah atau mengganti ideologi Pancasila dengan
ideologi lain.
Dari mantan Tapol-napol yang berhasil dihubungi BALAIRUNG
seperti Oei Tjoe Tat, Pramoedya Ananta Toer, HCJ Princen, Oemar Dhani, A.M.
Fatwa, H.M. Sanusi –kesemuanya menolak tuduhan itu.
A.M. Fatwa misalnya mengingatkan agar dalam menilai
Tapol Islam harus dikaitkan dengan peristiwa politik yang melingkupinya waktu
itu. Peristiwa politik masa itu, menurut Fatwa, memang menyudutkan kepentingan
muslim. Dan hal-hal itu yang melahirkan keberanian menentang (lihat: Seputar
Tapol Islam).
Pramoedya bahkan lebih pedas, menilai bahwa para Tapol
itu dijebloskan ke penjara kebanyakan tanpa melalui suatu proses pengadilan.
“Saya sendiri mengalaminya. Ditahan selama 14 tahun. Sampai sekarang tidak ada tuduhan dan pengadilan apa-apa bagi saya. Salah saya apa? Tahu-tahu saya diambil lalu dipenjara,” ujarnya.
Bagi Pram, keadaan waktu itu memang diwarnai oleh
pertentangan ideologi yang tajam dan saling berhadap-hadapan.
“Saya dituduh LEKRA, padahal di LEKRA saya hanya anggota kehormatan. Saya bukan orang organisasi. Terus mengenai realisme sosialis dapat saya jelaskan begini. Saya sebetulnya tidak tahu banyak. Waktu itu saya disuruh berbicara di Universitas Indonesia tentang realisme sosialis. Dari literatur di perpustakaan saya, saya susun makalah mengenai hal itu. Saya hanya menulis makalah, karena memang diminta berbicara mengenai hal itu. Lantas orang lalu menuding saya menyebarkan ajaran realisme sosialis. Itu bukan garis LEKRA,” tambahnya.
©Arsip/BAL
Oei Tjoe Tat, bekas menteri dalam pemerintahan Soekarno,
yang ditahan karena dituduh melakukan kup terhadap Soekarno, bahkan balik
bertanya.
“Siapa pun tahu bahwa saya dikenal sebagai salah satu pengikutnya, sebagai fellow travellernya yang setia. Lantas sungguh aneh kalau kemudian saya dituduh subversif terhadap pemerintah Soekarno dimana saya termasuk salah seorang anggota kabinetnya. Apakah dengan ini yang mau dicapai adalah mendiskreditkan Soekarno, dimana saya termasuk pengikutnya? Rasanya terlalu janggal pula.”
Bagi Oei Tjoe Tat, yang justru lebih menggelisahkan
adalah nasib ribuan orang yang ditahan, lalu dibuang ke Pulau Buru. Padahal
mereka tidak tahu menahu tentang politik pada masa itu.
Selama ini negara yang menafsirkan sejauh mana seseorang
terlibat dalam tindakan subversi. Dalam kasus Tapol-Napol separatis, selama ini
orang dituduh gerakan makar adalah mereka orang-orang yang dituduh hendak
melepaskan diri dari wilayah Indonesia. Pemerintah sama sekali tidak disinggung
kesalahannya yang menyebabkan timbulnya gerakan atau tindakan semacam itu.
Collin Mc. Andreas, lewat bukunya Central Government and Local Development
in Indonesia (1986) misalnya, melihat kemunculan gerakan separatis itu
sebagai letupan perasaan tidak puas terhadap pemerintah.
“Janji-jani kemakmuran tidak juga muncul. Apalagi adanya jurang yang lebar antara daerah dan pusat atau kebijakan yang merugikan daerah. Hal ini menyebabkan kekecewaan yang berpuncak pada gerakan radikalisasi. Maka penanganan gerakan ini jangan hanya melihat kebijakan-kebijakan yang selama ini turut menciptakan ketegangan,” tulis Mc. Andreas.
Trauma Nasional
Tragedi politik 1965, demikian juga peristiwa Lampung,
Tanjung Priok, GPK Aceh, Timor Timur telah menoreh “luka” yang mendalam bagi
sebagian besar rakyat Indonesia. Garis persaudaraan, kekerabatan,
pertetanggaan, pertemanan acapkali renggang karena perbedaan politik. Bahkan
dampaknya terus membekas hingga kini, bukan hanya pada mantan Tapol/napol saja,
tetapi juga pada keturunan mereka.
Bahkan isu ini terus-menerus diperkuat oleh
penguasa. Misalnya, lewat kebijakan litsus (Penelitian Khusus) dan keterpengaruhan
yang digunakan untuk meneliti sejauh mana seorang warga negara, terutama
keturunan mantan Tapol/Napol bersih secara ideologis.
Hal ini terjadi ketika
mereka hendak menjadi pegawai negeri, tentara dan anggota parlemen. Keturunan
mantan Tapol/Napol ini dicurigai hanya karena lingkungan atau kerabatnya
pernah terlibat kegiatan politik yang berlawanan dengan pemerintah. Sedangkan
hukum yang berlaku secara jelas dan tegas menyatakan pidana hanya bisa
dikenakan pada si pelaku.
Oemar Dhani yang pernah ditahan karena terlibat G30S/PKI
kepada BALAIRUNG mengungkapkan efek penahanannya pada kehidupan keluarganya.
“Anak saya mau masuk pegawai negeri susah. Bahkan untuk pacaran saja susah. Anak saya (sembari menunjuk anak laki-lakinya) putus pacaran gara-gara mertuanya malu, bapaknya pernah terlibat PKI. Ya sepertinya kita ini kok harus selalu dikasihani,” ujarnya.
Oemar Dhani tidak sendirian. Banyak kasus dapat disebut.
Seperti surat pembaca DeTIK (No. 30/5 Oktober 1993) tentang pernikahan dengan
calon suami seorang ABRI yang gagal. Setelah pihak suami mengetahui calon
istrinya anak seorang eks Tapol, pernikahan tersebut lantas dibatalkan.
Pengalaman traumatik kita dengan Peristiwa Tanjung Priok,
Madiun, DI/TII, PRRI/Permesta, Peristiwa Dili dan sebagainya, terus menerus
dihidupkan lewat memori. Para pejabat selalu melontarkan “bahaya komunisme”
atau “bahaya fundamentalisme Islam” dalam retorika politiknya.
Bahwa
komunisme/fundamentalisme masih kuat, oleh karena itu harus diwaspadai sebagai
bahaya laten. Kekejaman komunis PKI, radikalisme Islam juga selalu
diulang-ulang supaya orang tidak melupakannya. Namun, sangat disayangkan
kekejaman lain terus berlangsung, seolah bukan peristiwa yang patut
diperhatikan seperti penggusuran hak-hak buruh dan sebagainya.
Tentang reproduksi bahaya yang terus menerus ini, Princen
mempunyai komentar yang menarik.
“Apakah rakyat Indonesia menderita amnesia sejarah, sehingga setiap waktu terus-menerus harus diingatkan? Padahal dengan terus memupuk dendam dan membuat sebagian anggota masyarakat larut dihimpit rasa bersalah, rendah diri dan akhirnya tidak dapat mengembangkan diri secara wajar,” ungkap Princen.
Rekonsiliasi
Nasional?
Pertanyaan kemudian, mungkinkah dilakukan rekonsiliasi
nasional, dengan memberi hadiah amnesti kepada para tahanan politik? Princen,
secara tegas menghendaki terjadinya rekonsiliasi, dimana sudah waktunya
pemimpin sekarang memaafkan “dosa-dosa politik” para lawan politiknya.
Sebagai bangsa yang berprikemanusiaan sudah seharusnya
memberi hukuman yang tidak melewati batas ketahanan seseorang. Berikanlah
kesempatan kepada mereka untuk meninggal tenah di rumahnya sendiri dan
dikelilingi oleh orang-orang yang mereka cintai,” tuturnya.
Tetapi bagi Ismail Hasan Mataerum, isu rekonsiliasi
terhadap para Tapol napol itu dinilai sebagai salah alamat. Menurut wakil ketua
DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan ini, tidak perlu ada rekonsiliasi, sebab
tidak ada perpecahan.
“Rekonsiliasi antara siapa dengan siapa. Yang benar adalah sikap maaf-memaafkan. Namanya silaturahmi. Jangan samakan dengan Tapol. Ujungnya silaturahmi antara individu dengan individu,” tambahnya.
©Arsip/BAL
Brigjend. Roekmini Koesoema Astuti punya pandangan
lain. Bagi anggota komisi Komnas HAM ini, rekonsiliasi terhadap para
Tapol/napol tidak penting, yang justru lebih mendesak adalah pembenahan
terhadap sistem politik.
“Adanya Tapol/napol itu karena mereka mau mengubah sistem Pancasila. Padahal, Pancasila yang kita anut itu sudah sempurna. Kalau sekarang ada penyimpangan bukan sistemnya yang salah tetapi mekanisme dan orang-orangnya yang salah,” katanya.
Karenanya, lanjut Roekmini, mekanisme itu
harus dibetulkan, bukan dengan mengganti sistemnya.
Dari perspektif politik, pembebasan Tapol-napol, jelas
merujuk kepada pemberian amnesti. Di Indonesia ada pengampunan dari presiden
untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap sekelompok orang yang terlibat
peristiwa pidana. Jadi segala tuntutan terhadap kelompok orang itu dihapuskan,
yang didasarkan kepada kebijaksanaan pemerintah atau presiden sebagai pemilik
hak prerogatif.
Dalam seminar mengenai Tapol yang diselenggarakan oleh
MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan), Marzuki Darusman, anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia mengungkapkan kesulitan pemberian amnesti ini.
Menurutnya pemberian amnesti bertalian erat dengan suatu tujuan untuk
menciptakan kondisi politik baru. Undang-undang tentang amnesti dan abolisi
tahun 1954 juga menegaskan bahwa hal ini dapat dilakukan presiden atas dasar
kepentingan negara.
Pertanyaannya, atas dasar kepentingan negara yang bagaimana
pada saat ini sehingga anjuran amnesti dianggap perlu diberikan? Dengan
demikian pemberian amnesti sukar dilakukan karena mengandung konsekuensi
pertanggungjawaban politik oleh presiden.
Marzuki Darusman mengusulkan amnesti dapat diberikan
kepada napol yang tidak secara langsung bertanggung jawab atas timbulnya
perbuatan tindak pidana keji yang berlatar belakang situasi dan kondisi politik
tertentu.
Pembebasan dengan cara lain adalah atas dasar
pertimbangan kemanusiaan.
Secara hukum, cara seperti ini tidak dilakukan melalui
amnesti, melainkan dengan grasi dan perlakuan secara khusus. Hal ini yang telah
diperjuangkan oleh banyak kalangan.
Ditulis ulang dengan
penyuntingan oleh Beby Pane dan Harits Naufal Arrazie
0 komentar:
Posting Komentar