Kompas.com - 21/10/2019, 12:45 WIB
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Fabian Januarius Kuwado
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Fabian Januarius Kuwado
(Kiri-kanan) Fatia Maulidiyanti (Desk International
KontraS), Rivanlee Anandar (Tim Riset KonstraS), dan Yetty (Ikatan Keluarga
Orang Hilang Indonesia) di gedung KontraS, Jakarta, Jumat (7/12/2018).
(CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan ( Kontras) mengkritik pidato pelantikan Presiden Joko Widodo
yang tidak menyinggung soal agenda penegakan hak asasi manusia (HAM).
Pidato Jokowi itu dibacakan dalam Sidang Paripurna
pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di gedung Nusantara, Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Kepala Biro Riset Kontras Rivanlee Anandar memprediksi,
dalam lima tahun ke depan pemerintah tidak akan memiliki inisiatif untuk
menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
"Konsekuensi dari tidak terbahasnya HAM dalam pidato pelantikan, tidak akan muncul inisiasi positif dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu serta menggunakan alasan stabilitas keamanan untuk abai terhadap HAM," ujar Rivanlee saat dihubungi, Senin (21/10/2019).Rivanlee mengatakan, tidak adanya topik agenda HAM dan penegakan hukum semakin menegaskan sikap pemerintah selama ini. Menurut dia, pemerintah mengabaikan kritik masyarakat sipil terhadap praktik aparat yang represif, tidak adanya upaya penuntasan kasus HAM, okupasi lahan serta kekerasan terhadap aktivis dan jurnalis.
Di sisi lain, segala persoalan HAM yang tercantum dalam
Nawacita tidak lagi menjadi fokus Presiden Jokowi di periode pemerintahan yang
kedua.
"Sepertinya bagi Presiden, HAM adalah konsep yang mengawang-awang, terlalu tinggi dan sulit dicapai. Padahal negara memiliki andil besar dalam terpenuhinya hak asasi manusia," kata Rivanlee. "Konsep 'tanpa beban' ternyata dimaknai Presiden sebagai dasar untuk bertindak sesuai kehendak diri tanpa mempertimbangkan kepentingan publik," kata dia.Seperti diketahui, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tercantum dalam Nawacita, visi misi pada pemerintahan periode 2014-2019.
Dalam dokumen itu disebutkan pula delapan kasus
pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik. Kedelapan kasus
tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi
II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi
1965.
0 komentar:
Posting Komentar