Reza Gunadha | Rifan Aditya
Kamis, 24 Oktober 2019 |
16:35 WIB
Presiden Joko Widodo (kedua
kanan) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) menyalami Menteri
Pertahanan Prabowo Subianto seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di
Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10). [ANTARA FOTO/Wahyu Putro]
Suara.com - Peneliti asing menilai, keputusan
Presiden Jokowi untuk
menunjuk Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI
terbilang kontroversial.
Dikutip dari The New York Times, Rabu
(23/10/2019), Profesor National War College Washington, Zachary Abuza
mengatakan, "Prabowo Subianto memiliki catatan panjang pelanggaran hak
asasi manusia saat menjadi komandan Kopassus di Timor Timur."
Prabowo disebut sebagai seorang mantan jenderal yang
dipecat dari militer karena melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Keputusan Jokowi memilih Prabowo menjadi menhan dianggap sebagai
langkah kontroversial kedua, setelah sebelumnya sang presiden menyetujui revisi
UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam laporan yang dimuat media asal Amerika ini juga
tertulis, pengangkatan Prabowo mengindikasikan Presiden Jokowi ingin membatasi
kebebasan publik dan mempertahankan koalisi.
Dengan membatasi kebebasan publik, Zachary Abuza menilai
Jokowi menginginkan semua agenda ekonomi rezimnya bisa berjalan lancar.
Padahal, kata dia, Prabowo selama bertahun-tahun dilarang
memasuki Amerika Serikat karena kasus pelanggaran HAM di Timtim dan kasus tahun
1998.
Abuza juga mengungkit kekalahan Prabowo dalam pemilu
bulan April lalu dan tahun 2014. Pada saat itu, Prabowo menuduh KPU melakukan
penipuan yang meluas.
"Sebagai kandidat presiden, dia menjadi pemimpin
bagi kelompok Islamis dan memobilisasi kelompok-kelompok Islamis. Prabowo
meminta mereka untuk turun ke jalan untuk memperebutkan hasil pemilu, merusak
aturan hukum," kata kata Abuza.
Sementara itu menurut Evan Laksmana, seorang peneliti
senior di Center for Strategic and International Studies di Jakarta,
berpendapat Jokowi sengaja menunjuk Prabowo sebagai menhan untuk menerapkan
strategi kabinet saingan.
"Ini pertaruhan besar. Ini adalah strategi
penyeimbangan klasik yang banyak digunakan oleh para pemimpin Jawa," kata
Laksmana.
Sebelumnya, Aaron Connelly, seorang peneliti di
International Institute for Strategic Studies, juga mengkritik pengangkatan
kembali Siti Nurbaya Bakar dan Yasonna Laoly sebagai menteri.
Melalui akun Twitternya, Aaron mengatakan,
"Mengangkat kembali Siti Nurbaya Bakar sebagai menteri kehutanan dan
lingkungan hidup serta Yasonna Laoly sebagai menteri hukum dan HAM menunjukkan
bahwa Jokowi sama sekali tidak peduli dengan protes mahasiswa."
0 komentar:
Posting Komentar