Heyder Affan - Wartawan BBC News Indonesia - 16 Oktober 2019
Walau
menanggung 'dosa turunan' karena orang tuanya adalah tapol '65 lantaran dicap
PKI, keluarga penyintas berusaha saling menguatkan dan rajin menawarkan
perspektif baru tentang kasus itu kepada generasi muda.
BBC NEWS INDONESIA
Usianya
menjelang 17 tahun, ketika dia mengetahui ayah-ibunya adalah eks tahanan
politik 1965 - rahasia yang disembunyikan rapat-rapat oleh kedua orang
tuanya selama belasan tahun.
"Saya syok, saya marah. Kenapa
saya? Kenapa harus keluarga saya?" cetus Pipit Ambarmirah, perempuan
kelahiran 1981.
Lebih dari 25 tahun kemudian, ketika
saya menemuinya di rumahnya di pinggiran Yogyakarta, awal Oktober lalu, ingatan
itu masih tergambar jelas dalam benaknya.
Tidak lama setelah rahasia masa lalu
orang tuanya terbongkar, hidupnya seperti berubah.
"Tiba-tiba saya merasa menjadi
orang yang berbeda," ujarnya.
ARSIP DEBORAH ONI
PONIRAH
Nyaris setiap tahun dicekoki film
propaganda G30S/PKI versi pemerintah Orde Baru, Pipit yang beranjak dewasa
mendapat gambaran menyeramkan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), utamanya
terkait pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI di Lubang Buaya, Jakarta.
Konsekuensinya, "saya pun ikut
membenci PKI."
Dalam atmosfer seperti itulah, Pipit
dihadapkan kenyataan pahit bahwa ayah dan ibunya pernah dibuang ke Pulau Buru
dan ibunya ditahan di kamp Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, karena dicap
sebagai anggota PKI - tanpa pernah diadili.
Di benaknya saat itu, kedua orangtuanya
- Leo Mulyono dan Deborah Oni Ponirah - mirip momok menakutkan, seperti yang
digambarkan dalam film G30S/PKI.
"Saya syok, saya kemudian menarik
diri, saya merasa rendah diri."
'Saya ditangkap
karena menari Genjer-Genjer'
Deborah Oni Ponirah, kelahiran 1948, biasa disapa Ibu Oni,
adalah ibu kandung Pipit. Saat berusia sekitar 17 tahun, Oni adalah tipikal
remaja yang aktif berorganisasi, utamanya di bidang tarik suara dan menari.
Ketika suasana politik memanas, dan isu ancaman kudeta oleh
apa yang disebut sebagai Dewan Jenderal berhembus kencang di Yogyakarta pada
pertengahan 1965, Oni, yang saat itu baru saja lulus SMP, tertarik ikut-ikutan
di organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) - onderbouw PKI.
Yogyakarta dan sekitarnya, seperti tercatat dalam sejarah,
dikenal sebagai wilayah yang secara politik dikuasai PKI.
BBC NEWS INDONESIA
Dalam lautan perang urat syarat antara kelompok kiri dan
kanan, Oni seperti terhanyut di dalamnya. Kala itu, dia ikut dalam berbagai
kegiatan kesenian, yang di antaranya difasilitasi PKI.
"Saat itu bulan Agustus (1965), saya mulai latihan tari
Genjer-Genjer untuk pentas di alun-alun (yogyakarta)," ungkapnya kepada
BBC News Indonesia, awal Oktober lalu, di kediamannya.
Lagu Genjer-Genjer, yang kerap dinyanyikan bersama tarian,
populer pada 1950-an dan 1960-an.
Tapi setelah peristiwa yang disebut G30S,
lagu ini dianggap identik dengan PKI dan sempat dilarang diputar pada masa Orde
Baru.
Lagu berbahasa Using, yang diciptakan
Muhamad Arif, seniman Banyuwangi pada 1940-an, dianggap sebagai lagu milik
Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah peristiwa G30S.
BBC NEWS INDONESIA
Propaganda Orde Baru menyebut Genjer-Genjer adalah lagu PKI
dan "lagu pembunuhan" enam jenderal di Lubang Buaya, Jakarta, seperti
digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
Belakangan terungkap, lagu
itu diciptakan pada masa pendudukan Jepang, 1942, untuk menggambarkan
penderitaan dan kemiskinan rakyat.
Tentu saja, Oni tak berpikir sampai ke sana. Dia semata-mata
melakoninya karena menyukai dunia seni. Dan lebih dari 50 tahun kemudian, Oni
mencoba mengingat-ingat lagi kejadian itu, dia tetap tak tahu-menahu tentang
motivasi di balik pementasan itu.
"Saya tidak tahu untuk apa (tarian), mungkin saya
bodoh... Pokoknya kalau ada yang ngajak soal kesenian, saya ikut,"
ungkapnya, mengenang.
ARSIP DEBORAH ONI PONIRAH
Dengan rambut yang masih dikuncir dua ke belakang, saat itu,
dia pun tak memahami apa yang terjadi pada dini hari dan subuh pada 1 Oktober
1965 di Jakarta - pembunuhan tujuh jenderal TNI-AD.
Yang selalu dia ingat, "ada penangkapan" terhadap
teman-teman di sekolah dan di kampungnya di Yogyakarta, kira-kira sebulan
setelah G30S.
"Guru saya juga diambil dan dibawa ke Wirogunan,"
katanya. 'Diambil' di sini berarti ditangkap dan kelak sebagian besar mereka
yang dituduh komunis itu ditahan tanpa diadili dan tanpa ada kejelasan kapan
akan dibebaskan - juga ada yang dibunuh.
Dan petaka itu akhirnya menimpa dirinya ketika langit
Yogyakarta berubah gelap. Jarum jam saat itu menunjuk pukul sembilan malam, 25
November 1965.
Pintu rumah orang tuanya di Kampung Suryo, Yogyakarta,
diketuk seseorang. Sebelumnya, pagi harinya, orang tuanya telah memberitahunya
bahwa pimpinan rukun tetangga dan seorang anggota CPM (polisi militer)
mencarinya.
BBC NEWS INDONESIA
"Mereka membawa saya pakai (mobil) jeep,"
ungkapnya, dalam kalimat yang datar. "Saya sendirian."
Oni meminta izin untuk membawa jaket, tetapi ditolak, karena
menurut penjemputnya, "nggak usah bawa apa-apa, soalnya hanya
diperiksa, lalu pulang."
Ucapan ini ternyata omong kosong belaka. Oni, yang saat itu
masih berusia 17 tahun, harus kehilangan masa remajanya, karena sejak malam itu
hingga 14 tahun kemudian dia harus mendekam di berbagai rumah tahanan, di
antaranya di kamp Plantungan di Kendal, Jateng, hingga dibebaskan pada 1979.
Tapi peristiwa horor yang sulit dilupakannya adalah saat
dirinya diinterogasi di salah-satu lantai di Gedung Jefferson di Jalan
Diponegoro, Yogyakarta.
ARSIP DEBORAH ONI
PONIRAH
Pada hari kedua liputan, BBC News Indonesia mengajak Oni dan
suaminya, Leo Mulyono (eks tapol yang dihukum sekitar 10 tahun, tanpa diadili,
di Pulau Buru), ke teras depan gedung bekas perpustakaan milik pemerintah AS,
yang terlihat tidak terawat itu.
Pasangan suami istri yang menikah pada 1980 itu tidak
keberatan diajak ke gedung yang menjadi lokasi interogasi orang-orang yang
dituduh anggota PKI pada pasca Oktober 1965.
Diinterogasi tiga orang ("dua diantaranya bawa
tongkat," katanya), Oni dicecar pertanyaan "apakah dirinya tahu
Lubang Buaya?" dan "apakah dia anggota Gerwani?".
Disinggung pula kehadirannya dalam tarian massal
Genjer-genjer - yang terakhir ini, dia tidak membantahnya.
ADITYA
IRAWAN/GETTY IMAGES
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), didirikan 1950,
disebutkan memiliki hubungan yang kuat dengan PKI, tetapi di sisi lain
organisasi itu dianggap pula sebagai organisasi independen. Setelah 30
September 1965, Gerwani dilarang oleh rezim Orba.
Setelah berakhirnya rezim Orba, bermunculan narasi baru
tentang Gerwani yang dalam perjalanannya dianggap menaruh perhatian pada masalah-masalah
sosialisme dan feminisme, termasuk reformasi hukum perkawinan.
Kembali lagi ke Oni. Dihajar berulang kali dengan tongkat
kayu hingga berdarah di salah-satu telinganya, Oni tetap menolak paksaan untuk
mengaku sebagai anggota Gerwani.
"Saya memang bukan Gerwani, dan belum pernah dicap
apa-apa," dia mengulang lagi jawabannya saat itu.
ULET
IFANSASTI/GETTY IMAGES
Nyaris ditelanjangi, Oni termasuk beruntung, setelah muncul
seseorang pria tua - yang diingatnya sebagai "bapak jaksa" - di
ruangan interogasi dan segera menyelamatkannya. "Jangan, dia masih kecil,
dia tidak tahu apa-apa."
Oni tak melupakan kalimat ini. Dia akhirnya 'selamat'.
Belakangan, setelah dibebaskan 14 tahun kemudian, Oni berusaha menemui sang
jaksa tersebut, tapi tidak pernah kesampaian. "Saya mau mengucapkan terima
kasih."
Mengapa Oni dan Leo merahasiakan status eks tapol 65?
Ayah Pipit, Leo Mulyono, kelahiran 1945 di Blora, Jateng,
merahasiakan petaka yang dialaminya di hadapan anak-anaknya. Alasannya, dia
khawatir anak-anaknya terimbas "dosa PKI" yang ditimpakan rezim Orde
Baru kepadanya.
"Saya tidak cerita, karena takut situasinya saat itu.
Dulu ada kebijakan 'Bersih Lingkungan'," kata Leo, yang pernah menjadi
anggota CGMI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi
mahasiswa yang terkait PKI, pada pertengahan 1960-an.
ULET
IFANSASTI/GETTY IMAGES
Ayah Leo, Siryatman, adalah pimpinan PKI di tingkat kampung
di Blora, Jateng. "Bapak saya hilang setelah Oktober 65 dan tidak pernah
diketahui kuburannya," katanya, lirih.
Leo sendiri menjadi anggota CGMI saat awal kuliah di Akademi
Seni Rupa Indonesia, ASRI Yogyakarta, pada pertengahan 1965. Dia juga kenal
dekat dengan para seniman yang tergabung dalam Sanggar Bumi Tarung dan Lembaga
Kebudayaan Rakyat atau Lekra di kota itu.
Dalam huru-hara di Yogyakarta setelah 30 Oktober 1965, saat
usianya beranjak 20 tahun, dia sempat ditahan di berbagai rumah tahanan,
termasuk di Ambarawa, sebelum dibuang ke Pulau Buru, Maluku, lebih dari 10
tahun.
"Di Pulau Buru, nama saya tidak dipakai, tapi pakai
nomor 3041," akunya. Dia ditempatkan di barak dua.
Dia lantas teringat, anak sulungnya, Pipit, pernah bertanya
seputar G30S ketika masih di bangku SMP. Leo menahan diri dan meminta anaknya
"mengikuti sejarah yang diajarkan di sekolah."
BBC NEWS INDONESIA
Oni, sang ibu, lebih menjelaskan lebih detil bahwa saat itu
Pipit bertanya 'Pak, PKI itu jahat banget ya?'. "Tapi bapak tidak mau
bercerita sebelum Pipit nantinya tahu sendiri."
'Bertemu sesama anak penyintas, saya menjadi kuat'
Belakangan, ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian,
UGM, Pipit akhirnya mengetahui bahwa ayah-ibunya adalah eks Tapol 65, melalui
kesaksian teman-teman orang tuanya. Tapi awalnya dia tidak berani bertanya
langsung kepada orang tuanya.
Setelah rezim Orba runtuh dan Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur menjadi presiden, Pipit lebih leluasa bertanya kepada ayah dan ibunya
tentang 'masa lalunya' itu. Sikap penolakannya pun berangsur-angsur menghilang.
Interaksi ayahnya dengan para aktivis mahasiswa yang menaruh
perhatian terhadap penyintas '65, juga perlahan-lahan membentuk cara berpikir
baru pada diri Pipit dalam melihat kejadian itu.
BBC NEWS INDONESIA
"Jadi saya tidak bertanya lagi, karena bapak
mengisahkannya kepada mahasiswa," ujarnya
Semula tidak mau-tahu terhadap nasib penyintas '65, Pipit
kemudian memilih melibatkan diri dalam isu tersebut, setelah bertukar pikiran
dan mendengarkan langsung pengalaman sesama anak penyintas.
"Saya bertemu sesama anak korban (penyintas) '65, kami
seperti senasib," kata Pipit kepada BBC News Indonesia. "Di situ saya
malah menjadi dikuatkan. Saya tidak sendirian menjadi anak korban."
Belakangan, melalui aktivitasnya di Fopperham (Forum
Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia), yang bergerak pada isu HAM dan
penanganan korban konflik 1965, Pipit berkenalan dengan Supriyadi, yang juga
anak penyintas '65, lalu menikah.
'Saya dipanggil anak kafir, anak PKI'
Setelah dibebaskan dari Pulau Buru pada akhir 1979, ayah
Pipit, Leo Mulyono, merasa "asing" saat kembali ke kampungnya di
Yogyakarta.
Dia teringat momen ketika digelar pemotretan untuk pembuatan
kartu tanda penduduk (KTP), dia diminta pindah ke tempat khusus lantaran latar
belakang eks tahanan politik.
"Ini mas Leo bekas tapol," katanya menirukan
ucapan salah-seorang pengurus RT setempat. Ucapan itu didengar banyak orang,
sehingga mereka menjadi tahu 'masa lalunya'.
"Semua orang kampung jadi tahu semua," katanya
agak masygul.
Oni Ponirah, ibunda Pipit, setelah bebas, juga merasa
"banyak orang-orang di kampungnya yang menjauhinya".
"Banyak teman-teman, tetangga, tidak akrab lagi seperti
dulu," ungkapnya. Tentu saja, dia marah atas situasi seperti itu.
Burhan 'Kampak', Ketua Front Anti Komunis Indonesia, FAKI,
di Yogyakarta: 'Kalau mau dibina, masa lalu kita anggap selesai'
Burhan 'Kampak', kini berusia 79 tahun, masih bersemangat
ketika menyinggung apa yang disebutnya sebagai peristiwa "membunuh atau
dibunuh" di Yogyakarta pasca Oktober 1965.
Memimpin Front Anti Komunis Indonesia, FAKI, di Yogyakarta,
sosoknya menjadi sorotan, setelah majalah Tempo edisi awal Oktober 2012 menulis
tentang "Pengakuan algojo 1965".
Burhan disebut sebagai salah-seorang algojo, tukang jagal
orang-orang PKI di Yogyakarta dan sekitarnya.
BBC NEWS INDONESIA
Dalam wawancara khusus
dengan BBC, Minggu (06/10) lalu di kediamannya, Burhanuddin ZR, mengutarakan
dirinya siap "bersaudara setanah air" dengan eks Tapol 1965, jika
mereka tidak lagi menyebarkan komunisme.
"Kalau dia masih
mau dibina (menerima Pancasila, NKRI), mereka menjadi saudara setanah air. Masa
lalu sudah selesai," kata Burhan.
Berikut petikan
wawancaranya:
Sebagian besar
penyintas kasus 65, anak keturunannya masih mendapatkan stigma dan
diskriminasi, bahkan dosa turunan?
Kalau dia masih mau
dibina, menjadi saudara setanah air,masa lalu ya sudah selesai.
Tapi kalau tidak bisa
dibina, tetap mengadakan perlawanan, saya binasakan. Titik, tidak ada komanya.
Tidak sedikit
orang-orang yang tidak bersalah, tidak tahu-menahu tentang G30S, dibunuh atau
ditahan, pada pasca Oktober1965, termasuk di Yogyakarta?
Pembunuhan kita
lakukan karena dalam keadaan perang, karena mereka (PKI) mau merebut
kekuasaan.
BBC NEWS INDONESIA
Tapi ada
pengadilan (terhadap pimpinan teras PKI), tapi tidak semuanya, karena
anggotanya sekian juta orang. Berapa tahun akan selesai?. Yang
diadili tokoh-tokohnya, yang lainnya 'ya sudah'.
Para penyintas 65
meminta pemerintah menyelesaikan kasus kekerasan pasca 1965. Para pegiat HAM
juga meminta mengakui dan menyesalkan?
Soal minta maaf, itu
tidak benar. Kita yang benar kok diminta minta maaf pada yang salah. Harusnya
mereka yang mengakui kesalahannya.
Barulah kalau minta
maaf, kita maafkan. Sudah selesai. Tapi dia tidak minta maaf, selalu mengatakan
yang benar.
Anda seringkali
mengatakan ada indikasi kebangkitan PKI. Apa buktinya?
Mereka bersuara,
anak-anak atau keturunannya tokoh PKI ngomong, padahal tidak tahu
persoalan (kasus 65) . Kalau dia sudah dewasa saat peristiwa itu
terjadi, baru tahu kenyataannya.
Sekarang ada upaya
untuk membelokkan sejarah. Ini yang harus diwaspadai.
BBC NEWS INDONESIA
Itu keinginan mereka.
Mereka mau mencuci diri. Keluarganya yang ditahan dan sebagainya sebagai orang
yang tidak bersalah, lalu dia menganggap sebagai korban. Jadi dia berusaha
memutarbalikkan sejarah. Kami tidak mau kenyataan sejarah itu diputarbalikkan.
Anak keturunannya
tidak kami anggap bersalah, kalau dia sudah berhenti tidak melakukan kegiatan
untuk menyebabrkan informasi yang salah perihal peristiwa G30S PKI.
Mereka menyuarakan
perspektif sejarah yang selama ini tidak diberi tempat dalam sejarah...
Kalau benar, kita
dukung. Kalau tidak benar, akan kita hadapi. Apa yang mereka hadapi, akan kita
bubarkan. Pemutaran film Senyap, film Buruh, itu tidak benar.
Komunis itu keyakinan,
ideologi, dan dia memutarbalikkan peristiwa G30S yang tidak senyatanya,
dan membenarkan tindakan PKI saat itu.
Rekonsiliasi antara
penyintas dan orang-orang yang disebut sebagai pelaku, sudah pernah digelar.
Apa komentarAnda?
Bagus kalau
rekonsiliasi yang murni, jujur, itu baik.Tapi di balik itu jangan ada satu
kegiatan yang merugikan kami yang dulu melawan komunis.
Rekonsiliasi sudah
terjadi secara alamiah sekitar 80an, semua tahanan Komunis oleh Kopkamtib
dilepaskan, dikembalikan ke masyarakat.
TIMUR MATAHARI/AFP
Kami menerima welcome,
silakan (balik ke masyarakat), asal tidak melakukan kegiatan untuk
mengembangkan komunis.
Semua
proses rekonsiliasi berjalan alamiah. Kalau tidak kenapa ET
dihilangkan. Tapi kenapa mereka tidak boleh masuk TNI?
Kenyataannya masih ada keturunan PKI diam-diam menyebarkanluaskan kebencian
terhadapo negara.
Tapi bukankah Anda
tahu mereka ditahan, dibuang, dan dibunuh tanpa diadili?
Bagus kalau memang tak
bersalah, tapi saya yakin kalau tidak bersalah tanpa alasan,
pemerintah tidak melakukan penyekapan. Saya yakin, itu cerita mereka
untuk menyucikan diri.
Ada penyintas berumur
17 tahun, dan dituduh terlibat G30S dan ditahan lebih dari 14
tahun. Bukankah ini tidak manusiawi?
Tidak bersalah kan
menurut penilaian dia. Saya tidak percaya kalau dia tidak bersalah. Lalu dia
ditahan dan dipenjara.
Mesti melalui
interogasi dan yang melakukan interogasi ini tidak sembarangan orang untuk bisa
menilai bahwa orang ini telah melakukan kegiatan anti NKRI lewat pemberontakan
G30SPKI.
GETTY IMAGES
Kalau PKI berontak,
maka semua anggotanya akan mendukung. Entah umur 17 tahun atau
umurnya 20 tahun.
Tidak mungkin kalau
dia tidak mengetahui apapun. Dia anggota partai. Ada yang bukan anggota PKI
tapi anggota IPPI, Ikatan pemuda pelajar Indonesia yang underbouw PKI.
Apakah Anda sudah siap
melakukan rekonsiliasi dengan eks tapol 1965?
Saya beritahu ya,
ada keluarga di sini, dulu komunis, keluaran Pulau Buru.
Cucunya ikut saya. Saya pelihara sampai SMP.
Ibunya dosen guru
besar Fakultas Farmasi UGM, ayahnya seorang dokter, dia ikut saya.
Bayangkan dia cucu orang komunis.
Saya dengan
eyang-eyangnya (kakek-neneknya) sudah berhubungan baik, karena
mereka sudah tidak ikut-ikutan.
Saya bersahabat. Tiap
tahun anak-anaknya datang ke sini untuk silaturrahmi.
Saya bisa menerima,
asal tidak melanjutkan dan saya melihat dia tidak lagi melanjutkan. Itu saya
anggap cucu saya.
___
Oni lantas teringat salah-seorang tetangganya yang
disebutnya ikut berperan "melaporkan" kepada aparat militer sehingga
ditahan belasan tahun tanpa diadili. "Rasanya saya marah."
Walaupun awalnya marah, dan berusaha menanyakan ulang
tentang dugaan itu, toh keinginan Oni tidak pernah kesampaian, sehingga
tetangganya itu meninggal dunia. Lalu dia sekeluarga juga pindah ke tempat yang
baru. "Saya kemudian tidak berurusan lagi."
Cap ET (eks tapol) pada KTPnya dan suaminya juga membuat
dapur rumahnya sulit mengepul. Rencana suaminya bekerja ke luar negeri akhirnya
menjadi berantakan lantaran inisial ET.
"Bapak (Leo) akhirnya kerja serabutan, padahal tambah
anak dan tambah kebutuhan," ungkapnya, getir.
Oni juga sulit melupakan apa yang dialami anak sulungnya,
Pipit, yang seringkali dicemooh 'anak kafir, anak PKI' ketika di bangku SMP.
Suatu saat, Pipit mengeluhkan hinaan seperti itu kepada bapaknya.
Rumekso Setyadi, peneliti di Syarikat Indonesia: 'Kepahlawan
Orba dibangun dari heroisme melawan komunis'
Sejumlah aktivis muda NU menindaklanjuti dan
mengembangkan nilai-nilai rekonsiliasi yang dikenalkan Presiden
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terkait kasus kekerasan 1965 pada awal 2000an.
Dimotori Imam Aziz dan rekan-rekannya di
Yogyakarta, anak-anak muda NU membentuk organisasi bernama Masyarakat
Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat.
Dalam perjalanannya, mereka melakukan penelitian,
pendampingan terhadap penyintas, dan berusaha menjembataninya dengan
orang-orang NU - yang sebagian disebut sebagai pelaku, tetapi juga sekaligus
korban.
BBC NEWS INDONESIA
"Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun
demi tahun para korban, kalau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal
satu atau dua orang," kata Rumekso Setyadi, salah-seorang peneliti di
Syarikat pada awal 2000.
Berikut petikan wawancaranya dengan BBC News Indonesia dengan
Rumekso Setyadi:
Syarikat Indonesia adalah salah-satu lembaga yang mengawali
membangun rekonsiliasi dengan penyintas 65. Apa hal terbaru yang dilakukan Anda
dkk?
Ini yang masih kita terus rawat, walaupun tahun demi
tahun para korban, kalau dulu kita mengenal 10 orang, sekarang tinggal satu
atau dua orang
Secara struktural negara belum mampu menyelesaikan itu
semua, walaupun pada 2015, sudah ada upaya yang sangat baik, ketika
Menkopolhukam Luhut Panjaitan menginisiasi Simposium Tragedi 1965.
BBC NEWS INDONESIA
Itu mirip dengan
ending besar Syarikat yang kita bayangkan, yaitu kita mempertemukan
semua orang yang terlibat pada waktu itu, bercerita tentang narasi sejarah
menurut versinya masing-masing, dan ini dibuka ke publik.
Dan kalau bisa menjadi
dokumen sejarah negara, maka sejarah yang dibuat oleh pemerintah adalah
sejarah dari sejarah masing-masing versi, tidak hanya satu versi.
Apa yang terjadi
apabila kasus 65 tidak diselesaikan dan dibiarkan?
Ini luar biasa dari
para korban 1965. Mereka selalu menjaga harapan. Kalaupun tidak diselesaikan
pada saat sekarang, mereka masih punya harapan mungkin diselesaikan
pada generasi berikutnya.
Hal ini bisa terjadi
karena jarak keterlibatan dengan peristiwa, terutama aktor-aktor dalam
peristiwa itu, masih sangat dekat.
BBC NEWS INDONESIA
Dan para penyintas
selalu menjaga harapan itu tetap ada, walaupun sebenarnya para penyintas itu
harusnya menuntut. Harapan itu ada pada kita atau generasi yang merasa ada yang
salah dengan bangsa ini.
Tuntutan para korban
itu harus ketemu dengan harapan dari semua elemen yang ada di Indonesia. Tidak
hanya di generasi NU yang itu pun tidak mainstream, alias yang alternatif.
Ini harus menjadi
harapan oleh semua orang Indonesia. Baru ini bisa diselesaikan. Tanpa itu
diselesaikan, dan harapan itu tidak pernah menjadi harapan semua orang
Indonesia, ya, nonsense. Saya kira ini akan menjadi diskursus saja di tiap
periode.
Jika penyelesaian
struktural masih sulit dilakukan saat ini, apa langkah pemerintah yang masih
bisa dimungkinkan?
Menurut saya,
melakukan klarifikasi sejarah, bahwa sejarah yang ditulis oleh Orde Baru itu
hanya memunculkan sejarah heroisme membasmi atau melawan komunis. Kepahlawan
Orde Baru dibangun dari bangunan heroisme melawan komunis.
Sehingga, tidak ada
narasi di luar kepahlawanan. Tidak ada narasi siapa korbannya.
Nah, yang kita
butuhkan, adalah narasi dari mereka yang dianggap salah dan kalah ini dalam
sejarah kita. Apakah tidak boleh suara atau sejarah mereka ada dalam sejarah
nasional kita?
Seharusnya sejarah kita merangkum dari semua aspek dan individu
yang ada.
Salah-satu kegiatan yang digelar Syarikat, 12-13
September 2015. BBC NEWS INDONESIA
Sejarah nasional kita
dibangun dengan monolitik. Hanya satu suara yaitu yang menang.
Sekarang minimal setelah
pasca Orde Baru yang terjadi tidak harus dengan kontra narasi, bahwa narasi
Orba harus dibalik dari yang dulu menjadi pahlawan, kemudian dibalik menjadi
pecundang atau pesakitan.
Tetapi struktur narasi
dan mental sejarah Orba, masih hidup. Yang seharusnya, pasca Orba, apa
yang menjadi kejahatan Orba itu sama diperlakukan apa yang
dulu terjadi di tahun 65 yang oleh Orba disebut sebagai
kejahatan PKI. Yang ditandai tidak ada yang berubah dari narasi sejarah Orde
Baru.
Tapi revisi kurikulum
oleh tim yang dibentuk oleh otoritas kependidikan kita, yaitu pusat kurikulum,
justru dipermasalahkan, karena dianggap sebagai narasi yang mengaburkan
sejarah.
Artinya tidak ada yang
berubah. Struktur Orba masih ada. Struktur sebagai pahlawan dari 65.
Padahal
Orba setelah Reformasi dianggap sebagai orde yang salah atau orde yang gagal.
Masih adanya
penolakan terbuka dan kadang dibumbui aksi kekerasan terhadap narasi
sejarah alternatif terkait kasus 65, apa artinya ini?
Kalau yang kita ajak
bicara adalah orang yang mendapatkan keuntungan pasca 65, saya kira mereka
menjadi anti rekonsiliasi.
Dimotori Imam Aziz dkk di Yogyakarta, anak-anak muda
NU membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat -
disingkat menjadi Syarikat. BBC NEWS INDONESIA
Mereka masih menguasai
diskursus tentang sejarah nasional kita bahwa heroisme itu mesti dibangun.
Heroisme itu
menganggap bahwa kepahlawanan untuk membasmi atau menumpas 65 itu adalah suatu
kewajiban yang itu harus dipertahankan, yang itu juga tidak boleh didegradasi,
kalau bisa malah dirayakan.
Semakin dirayakan akan
semakin bagus. Makanya makin dirayakan dengan memutar film-film dengan narasi
waktu itu, itu akan memperkuatnya. Makanya indikatornya, ketika narasi sejarah
Orba lahir kembali, artinya Orde Reformasi ini sebenarnya pengulangan lagi.
Walaupun sudah ada
diskursus narasi sejarah alternatif yang lain, tetapi itu pun tidak kemudian
membesar, untuk menggeser narasi negara. Karena narasi negara punya aparatus,
punya sistem pendidikan, punya pendidikan negar yang selalu bisa diulang.
Dan punya
simbol-simbol untuk kepahlawanan, membangun narasi dengan upacara bendera di
mana heroisme dibangun di sana. Saya kira kalau itu bersangkutan dengan 65
dan kemudian heroisme itu masih diawetkan dengan cara apapun, itu menjadi
indikator bahwa Orba itu tidak hilang. Tapi masih berkembang di masyarakat.
---
"Kalau sudah besar, kamu akan mengerti. Makanya,
sekarang sekolah yang pintar, agar nanti mengerti semuanya," ungkapnya
menirukan kalimat Pak Leo.
Pipit pun mengisahkan pengalamannya. Setelah orang tuanya
dibebaskan dari tahanan, mereka dikenai wajib lapor dan mengikuti program
Santiaji Pancasila selama beberapa tahun.
Santiaji Pancasila adalah salah satu program indoktrinasi
bagi para tapol tahun 1965 karena dianggap memiliki paham yang menyimpang. Ayah
dan ibunya harus datang ke kantor kecamatan untuk mengikuti program itu.
"Waktu itu ibu saya nggak bisa berangkat,
karena dia melahirkan adik saya yang bungsu," ungkapnya. Rupanya,
ketidakhadiran ibunya melahirkan kemarahan pejabat terkait setempat.
Dengan terpaksa, ibunya kemudian berangkat melapor ke kantor
militer setempat,sambil menggendong adiknya yang baru dilahirkan.
Situasinya relatif berubah ketika Gus Dur menjadi presiden,
yang disebut Pipit "melegakan para penyintas" antara lain karena
kebijakannya mencabut tanda ET di setiap KTP eks tapol 65.
Namun demikian dalam perjalanannya, Pipit menerima laporan
bahwa KTP para penyintas 65 masih "ditandai" untuk membedakan dengan
KTP lainnya. "Jadi sebenarnya tetap dibedakan," katanya.
Dalam interaksinya dengan lembaga pendamping penyintas '65,
Syarikat Indonesia, Pipit mendapatkan informasi adanya buku bersampul kuning
yang berisi data para penyintas di sebuah kecamatan di wilayah Yogyakarta.
"Saya sempat syok," katanya. Dari data dari dalam
buku itulah, otoritas kecamatan melarang para penyintas untuk pindah ke tempat.
"Di buku itu, dari informasi yang saya peroleh, bukan
hanya mencatat nama penyintas, tapi juga menikah dengan siapa, anaknya berapa,
dan anaknya sekolah di mana," tambahnya.
"Berarti nama saya juga tercatat di buku itu,"
ujar Pipit. "Jadi apa yang berubah? Tidak ada yang berubah bagi
kami."
Kiprah perempuan penyintas: 'Itu healing buat saya'
Dihadapkan situasi seperti itu, Pipit memilih untuk terus
melangkah. Kira-kira 13 tahun silam, setelah sempat bergabung dengan organisasi
Syarikat Indonesia, Pipit mendampingi para ibu penyintas di Yogyakarta yang
berusaha mengorganisasi diri.
Momentumnya setelah Syarikat Indonesia menggelar acara
mempertemukan para penyintas 65 se-Jawa dan Bali di Yogyakarta.
Sri Muhayati, 78 tahun, (tidak terlihat) menujukkan
foto kedua orang tuanya. Ayahnya dibunuh pasa kekerasan Oktober 1965. Sri, saat
itu mahasiswa, dipenjajar lima tahun tanpa diadili karena dianggap mendukung
PKI. BBC NEWS
INDONESIA
"Dalam pertemuan itu para penyintas menyadari, mereka
sangat berbahagia saat saling bertemu, mereka seperti senasib
sependeritaan," katanya. Di sinilah cikal bakal terbentuknya Kiprah
Perempuan (kiper) yang dipimpinnya langsung.
Sejak awal dia melibatkan ibunya dalam setiap pertemuan
Kiper. Semula ibunya lebih banyak diam, namun lama-kelamaan akhirnya bisa membuka
diri.
"Dia mau terbuka, kemudian perlahan-lahan mau
menceritakan apa yang dialaminya, apa yang dirasakan, kesakitan, kebahagiaan,
kesenangan," tuturnya.
Ibu Oni pun mengaku dirinya banyak memperoleh manfaat
melalui interaksinya dengan sesama penyintas, termasuk menyalurkan
kesenangannya untuk menyanyi.
"Saya suka nyanyi. Kalau saya susah, saya nyanyi, nanti
terhibur sendiri," katanya. Dia juga merasa lebih gampang untuk
menyuarakan apa yang dia rasakan.
Tapi, anda sebagai anak dari penyintas 65, apa yang Anda
peroleh dari aktivitas di Kiper? Kali ini pertanyaan saya ajukan kepada Pipit.
"Itu healing (menyembuhkan) buat saya."
BBC NEWS INDONESIA
"Karena saya kemudian belajar banyak hal dari ibu-ibu
yang luar biasa ini," tambahnya.
"Di situ saya belajar tentang kekuatan mereka untuk bertahan
hidup."
"Saya juga banyak belajar bagaimana mereka bisa tanpa
putus asa dengan segala hal yang mereka alami, padahal tekanan mereka sangat
luar biasa," katanya lagi.
Interaksinya dengan para ibu penyintas ini ("mereka
seperti ibu saya sendiri," katanya), makin menguatkan cara pandangnya
dalam melihat kasus 65 dengan menitikberatkan pada kepentingan korban.
"Saya seharusnya melakukan ini sejak dahulu,"
imbuh Pipit.
'Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya'
Di ujung wawancara dengan Pipit, ibunya, serta ayahnya, saya
menanyakan apakah mereka masih berharap kepada pemerintah untuk menyelesaikan
persoalan dugaan pelanggaran HAM berat pada pasca Oktober 1965.
Seperti diketahui, sampai sejauh ini permasalahan ini
seperti terkatung-katung, walaupun sudah menjadi salah-satu agenda penting
Reformasi 1998.
Penyelesaian di luar jalur hukum,
melalui pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR), yang pernah disiapkan
oleh pemerintah, menjadi tidak jelas setelah Mahkamah Konstitusi membatalkannya
sekian tahun silam.
Leo Mulyono (kanan) dan istrinya, Deborah Oni Ponirah. BBC NEWS INDONESIA
Belum lagi adanya penolakan dari kelompok-kelompok Islam,
dan sebagian unsur dalam TNI, yang membuat Simposium Nasional Tragedi 65
menjadi kehilangan momentum.
"Kami tidak tuntut apa-apa, hanya kepingin kami
dianggap seperti orang lain. Disamakan," kata ibu Oni, yang sudah memasuki
usia 72 tahun, dengan nada lirih.
"Kembalikan kami seperti warga negara pada umumnya.
Hilangkan cap-cap yang membuat kami seperti terhimpit. Wong kami
sanggup jadi warga negara yang baik," tambahnya.
Berkali-kali Oni menekankan bahwa dia tidak ingin
dikasihani, dengan pemberian bantuan, misalnya. "Kalau mau makan, ya,
harus bekerja. Saya enggak pengin dikasihani."
Tentang ketakutan sebagian masyarakat terhadap eks tapol,
Ibu Oni balik bertanya: "Yang ditakutkan itu apa? Sudah banyak yang mati
kok."
BBC
NEWS INDONESIA
Kini dia merasa tak perlu memikirkan apa yang bisa dilakukan
pemerintah terhadap dirinya dan penyintas lainnya. " Usia saya sudah 72
tahun, dan bapak (suaminya) sudah 75 tahun."
Adapun Leo - ayah Pipit - mengaku dirinya tak lagi memendam
dendam. Semua sudah saya lalui, katanya. Dia tak terlalu berharap pemerintahan
Jokowi mampu menyelesaikan kasus 65.
"Saya cuma ingin generasi muda mengetahui sejarah yang
benar terkait 65."
Di tempat terpisah, Pipit Ambarmirah mengaku
"banyak" harapan yang dia gantungkan kepada pemerintah. "Tapi
minimal pengungkapan kebenaran (terkait kasus 65)."
Dia mengharapkan pula agar pemerintah memberikan ruang-ruang
diskusi yang aman bagi penyintas untuk bercerita.
BBC NEWS INDONESIA
"Karena dengan ruang diskusi yang makin terbuka, itu
juga akan mengubah pandangan banyak orang," ujar Pipit.
Menurutnya, mereka yang selama ini tidak tahu tentang
kekerasan pasca Oktober 1965, karena mereka mengetahuinya hanya dari satu sisi
saja.
"Sisi yang 'ini' tidak boleh diceritakan, sehingga
mereka salah memahami peristiwa itu," katanya.
"Biarkan cerita-cerita ini (dari perspektif penyintas)
pada 65 juga didengarkan oleh masyarakat. Jadi ada banyak cerita. Selama ini
kan hanya satu cerita yang ditonjolkan."
Pipit, melalui Kiper, terus berusaha menyuarakan suara-suara
para ibu penyintas, lalu mendokumentasikannya, sebagai salah-satu perspektif
sejarah 65, terutama kepada generasi muda.
"Biar mereka tahu ada sejarah lain 65, yang itu
benar-benar terjadi dan dialami, dan memang belum ada penyelesaiannya."
"Saya juga menyiapkan anak-anak saya,
dia bakal menjadi bagian mendapatkan dosa turunan, kalau situasi belum berubah.
Dia harus siap untuk itu." BBC
NEWS INDONESIA
Di hadapan dua anaknya, yang masih duduk di bangku SD, Pipit
pun kadang-kala melibatkannya dalam kegiatan para ibu penyintas.
Itulah sebabnya, dia tak kaget ketika anak sulungnya
bertanya langsung kepada kakeknya yang pernah dibuang ke Pulau Buru.
"Kakek pernah dipenjara ya? Kenapa? Suharto jahat
ya?" Dari pertanyaan seperti itulah, Pipit kemudian memberikan perspektif
sejarah yang mungkin saja berbeda dengan yang akan diperoleh anak-anaknya kelak
di bangku sekolah.
"Saya juga menyiapkan anak-anak saya, dia bakal menjadi
bagian mendapatkan dosa turunan, kalau situasi belum berubah. Dia harus siap
untuk itu.
0 komentar:
Posting Komentar