Cerpen Alfian
Dippahatang | Jawa Pos, 20 Oktober 2019
EMPAT tahun sebelum bebas, petang itu di Moncongloe, ia
berselonjor dan tampak letih. Ia banting tulang mengerjakan proyek perkebunan
milik tentara. Cangkul telah ia biarkan tergeletak. Karena bertelanjang dada,
keringat yang bercucuran seakan membuat tubuhnya mengilap. Ia menerima cerek
berisi air yang saya tawarkan kepadanya. Ia buru-buru membuka mulut, mereguknya
tanpa memakai gelas. Saya menyilakan untuk ia habiskan. Setelah dahaganya
terpenuhi, ia berterima kasih dan mencoba mencairkan suasana dengan basa-basi.
Kamp pengasingan yang ditempati Mardi berbatasan dengan
perkebunan milik keluarga saya. Hari itu, saya dalam perjalanan mengunjungi
orang tua dan adik saya, Karman, yang belum pulang dari kebun. Seseorang datang
memberi kabar, ada dua toko bangunan di Makassar membuka lebar lowongan kerja.
Kabar bahagia itu ingin segera saya sampaikan kepada Karman, sebab ia sudah
lama bercita-cita ingin merasakan pengalaman kerja selain berkebun.
Pertemuan saya dengan Mardi pun terus berulang. Saya jadi
keseringan membawakannya air minum dan makanan. Semuanya tak butuh alasan.
Intinya, Mardi membuat saya jatuh cinta.
***
Tahun 1977, Mardi resmi bebas dari kamp pengasingan.
Lepas dari kerja paksa. Tetapi, menyandang gelar eks tapol membuat hati
keluarga, terutama Karman, tak kunjung melunak. Ia terus menyuarakan
penolakannya dengan segala sisi pertimbangan. Ia menyuruh saya melupakan Mardi.
Karman pun sudah meninggalkan pekerjaannya di toko bangunan karena tak tahan
disuruh-suruh dan merasa takdirnya hanya mengelola kebun.
“Lapangan kerja untuk eks tapol susah karena identitas
yang melekat pada dirinya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri saat
akhir-akhir bekerja di toko. Mau dikasih makan apa Kakak sama Mardi? Malah
keluarga kita akan dianggap tak bersih lingkungan. Kita akan tercemar.”
“Tercemar apa? Jaga ucapanmu.”
“Kakak pasti lebih tahu.”
“Mardi itu tak bersalah.”
“Tak mungkin ditangkap kalau tak bersalah. Kakak kan
guru, mestinya bisa lebih jernih berpikir.”
“Ini tak ada hubungannya dengan diri saya sebagai guru.
Kejadian ini terjadi karena kepentingan politik. Ia bisa bekerja di kebun
keluarga dan membantu kebutuhan hidup saya nantinya.”
“Saya tetap tak setuju. Masih banyak lelaki yang bisa
membimbing Kakak.”
“Banyak lelaki, tetapi ia telah jadi pilihan saya.”
“Keluarga kita tak akan leluasa bergerak jika Kakak
bersama Mardi. Saya yakin itu. Tolong jangan siksa kami dengan pilihan Kakak.”
“Apakah lelaki lain lebih baik dari Mardi?”
“Ya.”
Karman menjawab dengan tegas dan yakin.
“Belum tentu. Kau tak bisa menjamin.”
“Ruslang. Kakak mengenalnya, kan? Hatinya baik. Guru
agama pula.”
Saya benar-benar heran. Ruslang, sepupu dua kali saya
yang juga belum menikah, selalu dikait-kaitkan dengan kesendirian saya. Ruslang
memang cukup terbuka dan baik hati kepada adik saya, tetapi kebaikannya tak
pernah saya tanggapi.
Umur saya tahun ini memasuki kepala empat. Saya ingin
menikah. Saya ingin menimang anak. Saya selalu sedih jika ditanya murid-murid
saya mengenai anak. Ruslang hanya bisa saya anggap sebagai keluarga.
***
Orang tua saya jika bicara selalu menyakitkan. Mereka
telah kukuh memberi batasan bahwa saya tak boleh menikah dengan Mardi. Padahal,
lelaki yang kini membuat saya jatuh cinta itu hanya korban politik. Saya
percaya itu. Mardi dan lainnya tak bersalah.
Rekan saya, Embas, sesama guru di tempat saya mengajar,
mengalami nasib serupa –juga dituduh terlibat gerakan kiri karena sering
mengumpulkan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, ia hanya
menjalankan tugas karena dipercaya bisa memimpin dan mengayomi penduduk.
Berembuk membicarakan masalah-masalah lingkungan malah dianggap membahayakan
negara.
Keluarga saya tetap tak percaya meski saya menceritakan
kisah ini, yang nyata-nyata terjadi begitu dekat di sekitar saya.
***
Sepulang mengajar, saya menyambangi Mardi yang menumpang
tinggal di rumah Matto, kawannya di Gowa ini. Ia baru selesai mandi dan
terlihat segar. Kendati ia mencoba tegar, raut pilu memang masih terpampang
nyata di wajahnya. Ia masih susah menerima kenyataan. Saya berusaha mencurahkan
perhatian agar ia bisa tenang.
“Dari Embas, rekan kerjamu yang juga ditangkap, kau
mungkin sudah diberi tahu banyak siapa saya sebelum dikirim ke Moncongloe.”
“Ya, saya mencari tahu yang bisa saya ketahui tentangmu
selama kalian ditahan. Saya juga sudah mendatangi dan melihat keadaan Embas.”
“Saya, Matto, dan Embas akrab karena punya kesamaan
ideologi dan kesamaan profesi. Embas banyak memberi informasi mengenai dirimu.
Katanya, kau berbudi baik. Saya senang mendengar pujian
itu.”
“Ia bilang apa lagi padamu?”
Meski rasa ingin tahu saya cukup besar, saya mencoba
tetap tenang bertanya.
“Banyak. Intinya, ia memujimu.”
“Semoga tak terdengar berlebihan.”
“Saya kira tidak.”
“Kau benar-benar bebas. Saya senang melihat tanganmu
lepas dari cangkul.”
“Kau menerima keadaan saya seperti ini suatu keajaiban.”
“Tak usah berkata seperti itu. Tak baik didengar.”
“Saya ingin mengatakan sesuatu. Boleh?”
Wajah saya langsung serius. Jantung saya terasa berdenyut
lebih kencang.
“Jangan bilang kau menyerah melihat keadaan keluarga
saya!”
Saya mencoba berspekulasi. Mardi sepertinya memang ingin
meluapkan hal tersebut.
“Ya…”
Dada saya tiba-tiba sesak.
“Hanya seperti itu batas kesanggupanmu?”
Tak terasa, air mata saya meluncur ke pipi. Usia juga
takluk di hadapan kesedihan.
“Setelah apa yang telah saya lakukan padamu, kau menambah
luka di dada saya.”
“Saya juga kasihan melihat diri saya seolah hina dina dan
tak ada baik-baiknya. Dianggap pelaku kejahatan itu menyakitkan. Padahal, kau
tahu, saya hanya korban. Ini bukan kehendak saya dan saya tak pernah
membayangkan ini bakal terjadi.”
“Tetapi, saya yakin kau bisa berjuang melunakkan dada
keluarga saya yang keras.”
“Tak mudah, Nanni. Itu butuh waktu berlipat-lipat. Status
saya juga masih seorang suami, meski saya merasa sudah tak dipedulikan lagi
oleh istri saya. Saya mungkin dianggap mati sehingga tak perlu dicari-cari.
Saya akan pulang ke Takalar, mencari yang tersisa di hidup saya walau kini saya
seperti ampas tebu yang tak berguna.”
“Saya akan menemanimu.”
“Tak usah. Murid-murid butuh sosok guru sepertimu yang
berpikiran terbuka.”
“Saya tetap mengajar di sekolah meski nantinya tinggal
bersamamu di Takalar.”
“Kau harus adil.”
“Maksudmu?”
“Keluarga membutuhkanmu, meski saya juga demikian.”
Mardi terus berusaha mencairkan suasana hati saya yang tahun
ini mestinya menunjukkan diri sudah matang, makin dewasa, dan lebih dari cukup
untuk memiliki suami.
***
Sore hampir selesai. Saya menyambangi ibu yang mulai
melipat baju yang sedari tadi ia jahit ketiaknya.
“Tak ada penghulu yang bakal menikahkanmu, Nanni!”
Ibu langsung memberi garis batas. Ia sudah membaca maksud
hati saya.
“Jangan keras kepala seperti itu. Hargai saya. Saya harap
kau mendengarkan saya,” tegas ibu.
Saya tak bermaksud membantah harapan keluarga, termasuk
ibu saya. Tetapi, saya ingin mereka tahu bahwa saya telah bertemu lelaki yang
bisa membimbing saya. Mardi bisa bekerja keras untuk saya.
“Ia hanya korban, Bu.”
Tak henti saya meyakinkan ibu saya.
“Ruslang. Kenapa kau tolak kebaikannya?”
Saya diam. Telinga saya panas mendengar nama itu. Ibu
tetap tak mengerti bahwa orang-orang yang diasingkan di Moncongloe hanya
korban.
“Meski Mardi berkali-kali menghadap di hadapan saya,
hubungan kalian tak bakal saya restui. Ia tak bisa dapat pekerjaan layak lagi
dengan statusnya.”
Ibu memang sudah begitu keras memberi batasan.
“Mardi itu orangnya pandai, Bu. Ia seorang guru. Ia bisa
diajak bertukar pikiran. Ia siap kerja keras menggarap lahan keluarga jika ibu
memberi kesempatan.”
“Dulu mungkin ia seorang guru, tetapi sekarang kan tidak
lagi.”
“Apa ayah tidak mau menjadi penghulu buat kami?”
Saya masih tetap bersikeras.
“Kau ini sudah gila ya? Ayahmu tak akan melakukannya.
Ternyata, manjur juga guna-guna lelaki pilihanmu itu. Sadar, Nanni. Sadar.
Keluarga kita ini bersih. Kita susah payah membangun nama keluarga agar
terhindar dari gelombang yang jahat ini.”
Ayah saya seorang penghulu yang menikahkan lumayan banyak
orang di Gowa. Saat ini hanya ayah saya yang bisa membuat hubungan kami sah
secara agama. Namun, sah di mata hukum juga seperti mustahil saya peroleh.
Mardi masih setia menetap di rumah Matto. Tetapi, ia
sudah merasa tak enak berlama-lama menumpang. Saya berusaha menenangkannya agar
bertahan dan memintanya bersabar lagi menunggu hasil dari keluarga saya. Saya
yakin masih bisa membujuk keluarga.
***
Saya dan Mardi tiba di tempat kami pertama kali berjumpa.
Kami ingin mengenang peristiwa masa lalu yang membuat kami bersatu. Tak lama,
saya mengeruk tanah. Mardi pun ikut melakukannya. Kami cium aroma tanah
Moncongloe yang pernah ditetesi keringat Mardi sendiri dan keringat orang-orang
yang disiksa.
“Tanah ini bersaksi pada kita, Mardi.”
“Kehidupan saya hancur, tetapi kedatanganmu memberi
harapan.”
Saya ingin menanggapi, tetapi saya tahan karena ingin
sejenak hanyut dengan perkataan Mardi.
(*)
Alfian
Dippahatang. Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 3 Desember.
Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Bahasa Indonesia
Universitas Hasanuddin. Buku kumpulan cerpennya, Bertarung dalam Sarung (2019),
masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Terpilih sebagai salah satu
penerima Residensi Penulis 2019 oleh Komite Buku Nasional ke Prancis.
0 komentar:
Posting Komentar