Oleh Adi
Renaldi - 28 Oktober 2019, 3:43pm
Presiden Joko Widodo makin terlihat tak peduli pada
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di periode kedua. Mobilisasi anggota
ormas membantai terduga simpatisan PKI akan terus jadi beban sejarah.
SOSOK ANWAR CONGO (MEMAKAI HELM TENTARA), DICUPLIK DARI SALAH SATU
ADEGAN DOKUMENTER TRAGEDI PEMBANTAIAN 1965 THE ACT OF KILLING.
"Mungkin ya banyak hantunya," kata Anwar Congo sembari melempar pandangan ke sekeliling. "Karena di sini tuh banyak manusia yang dihabisi, yang mati yang tidak wajar."
Sejenak kemudian, di atas sebuah gedung pertokoan, Anwar
memeragakan cara menjagal manusia paling efisien dalam sejarah paling kelam di
Indonesia. Seutas kawat yang diikat di sebuah tiang dililitkan ke leher orang,
sebelum ditarik menggunakan sebilah papan.
Untuk mengeksekusi ribuan orang, cara tersebut amat
efektif. Sebab tak ada darah yang tertumpah.
"Kalau kita main pukul, itu kan darah banyak," kata Anwar. "Karena darah itu banyak, membersihkannya kan [jadi] bau." Setiap kali beres mengeksekusi, Anwar dan kawan-kawannya bernyanyi dan menari cha-cha, merayakan tugas negaranya.
Dialog dan adegan tersebut adalah salah satu pembuka di
film The Act of Killing (atau Jagal untuk versi judul
Bahasa Indonesianya) garapan Joshua Oppenheimer, yang bercerita tentang
pembantaian ribuan orang yang dituduh anggota dan simpatisan Partai Komunis
Indonesia (PKI) sepanjang 1965-1966.
Tangan Anwar mungkin bertanggung jawab mencabut nyawa
seribuan orang. Sebab dia termasuk pimpinan anggota organisasi paramiliter
Pemuda Pancasila, yang baru dibentuk sesaat setelah Suharto memegang tampuk
kekuasaan.
Jumat (25/10) pekan lalu, Anwar mengembuskan napas terakhir di rumah sakit Madani,
Medan, Sumatra Utara. Usianya 78 tahun. Dia meninggal karena komplikasi
penyakit yang dideritanya, kata istri Anwar Salma Miftah Salim.
"Dia tidak bilang apa-apa soal penyakitnya seminggu sebelum meninggal," kata Salma kepada media lokal. "Dia cuma bilang kecapekan, setelah pulang dari Jakarta menemui cucu."
VICE STAFF
Joshua kabarnya juga turut menyampaikan belasungkawa,
setelah mendapat kabar dari Salma. Dikutip dari The Jakarta Post, Joshua mengatakan dia tak bisa menahan
tangis saat mengingat kembali pertemanannya dengan Anwar yang kadang adalah
sosok lucu dan imajinatif.
"Tapi betapa hidupnya menyedihkan, atas pilihan-pilihan buruk yang dia pilih, berapa keluarga yang telah dihancurkannya, dan bagaimana rasa bersalah itu menghancurkannya. Aku juga menangis sebab dia bisa saja menjadi orang yang baik—tapi apa lacur."
Kabar kematian Anwar Congo segera ditanggapi beragam oleh
pengguna Twitter sepanjang akhir pekan lalu. Sebagian mengaitkan ironi
peristiwa ini dengan kehadiran Presiden Joko Widodo membuka musyawarah besar Pemuda
Pancasila di Jakarta akhir pekan lalu.
Anwar sudah pergi, tapi luka akibat pembantaian itu akan
terus diingat bangsa ini. Luka yang akhirnya melahirkan hantu komunisme, yang
terus menghantui dan menimbulkan paranoia. Berbagai upaya untuk meluruskan
fakta sejarah, upaya menuntut pertanggungjawaban negara, dan mengirim
permintaan maaf untuk para korban dan keluarga terus dilakukan, tapi belum
membawa hasil.
Sesaat setelah dirilis pada 2012, film tersebut menuai
kontroversi sekaligus penghargaan. Dia memenangkan berbagai penghargaan
termasuk Aung San Suu Kyi Award di Human Rights Human Dignity International
Film Festival. Film itu juga masuk nominasi Academy Award untuk kategori Best
Documentary Feature pada 2014.
Tapi di Indonesia, justru dia menjadi korban paranoia.
Berbagai acara pemutaran The Act of Killing - di Indonesia didistribusikan
dengan judul Jagal - menghadapi tekanan aparat dan pemerintah, kendati tidak
ada larangan resmi. Di Blitar, Jawa Timur, aparat tak memberi izin pemutaran film Jagal yang diadakan oleh
Post Institut. Tak ada alasan pasti terkait penolakan izin tersebut.
Beberapa saat setelah film Jagal rilis, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Juli 2012 juga merilis temuan pelanggaran HAM berat dalam sebuah pogrom yang
sistematis terhadap anggota dan simpatisan PKI 1965-1966. Setelah melakukan
penelitian selama empat tahun, Komnas HAM menemukan adanya bukti terjadinya
sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk
pemusnahan dan pembunuhan.
“Banyak korban yang diusir lalu dirampas kemerdekaannya, atau diperbudak," ujar ketua Komnas HAM kala itu Nur Kholis. Kejahatan-kejahatan ini pun diduga dilakukan secara meluas dan sistematis. Sebab kejahatan terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia dalam kurun waktu bersamaan.
Laporan Komnas HAM tersebut diserahkan kepada Kejaksaan
Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditindaklanjuti. Namun tak ada
hasil berarti.
Saat Joko Widodo berkampanye pada pemilihan presiden
2014, pegiat HAM sempat merasakan angin segar dalam penuntasan pelanggaran HAM
di Indonesia. Saat berkampanye, Jokowi sempat menyitir sedikit soal peristiwa
1965, dan berjanji bahwa pemerintahannya nanti akan membuat perbedaan nyata
dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Pada 2016, Jokowi sempat memerintahkan pencarian kuburan
massal korban pembantaian 1965. Namun kelompok konservatif mengecam hal
tersebut, dan menuduh itu sebagai "upaya rekonsiliasi” yang nantinya akan
“membangunkan macan tidur." Pada November 2017,
sebanyak 16 titik kuburan
massal itu ditemukan di Purwodadi, Jawa Tengah.
Toh janji politikus selalu tinggal janji. Bahkan ketika
pengadilan internasional telah memutus Indonesia bersalah. Pada 2017, The
International People’s Tribunal di The Hague memutus pemerintah Indonesia
bersalah atas penghilangan nyawa 500.000 hingga sekira 1 juta orang dalam
tragedi 1965. Hakim Zak Yacoob lantas memerintahkan pemerintah Indonesia untuk
"meminta maaf kepada seluruh korban, penyintas dan keluarga mereka atas
kejahatan terhadap kemanusiaan dan semua kejahatan terkait peristiwa 1965."
Pemerintah tetap bergeming. Menteri Pertahanan Ryamizard
Ryacudu berkali-kali mengatakan bahwa pemerintah tak akan pernah meminta maaf
terkait peristiwa 1965.
"Pakai logika saja, yang memberontak [saat G30S] itu siapa. Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?" tegas Ryamizard.
Meski pemerintah AS telah mendeklasifikasi
laporan-laporan dan berkas terkait pembantaian 1965 pada 2017. Pusat
Deklasifikasi Nasional AS telah memproses ribuan berkas dari Kedutaan Besar AS
di Jakarta yang setidaknya menyatakan bahwa pejabat pemerintah AS kala itu
mendukung dan mengetahui bahwa militer berada di belakang pembantaian itu.
“Para pejabat AS tahu bahwa tentara melakukan pembantaian terhadap orang tak bersenjata yang bahkan tidak terlibat dalam Gerakan 30 September,” kata Brad Simpson, sejarawan dari University of Connecticut yang turut dalam proyek deklasifikasi, dikutip The Washington Post.
Dalam wawancara kepada The Washington Post pada 1990,
Robert J. Martens, salah seorang staff politik Kedutaan AS mengaku bahwa
pihaknya memberikan daftar orang yang disinyalir sebagai anggota dan simpatisan
PKI kepada pemerintah Indonesia saat pembantaian terjadi. Daftar itu disusun
pejabat AS.
“[Daftar] Itu sangat membantu militer,” kata Robert. “Militer mungkin membunuh lebih banyak orang, dan mungkin ada lebih banyak darah di tangan saya, tapi itu tidak terlalu buruk.”
Pemerintah belum secara terbuka mau meminta maaf dan
meluruskan sejarah, mungkin tidak dalam lima tahun ke depan, tapi setidaknya
kita tahu bahwa isu komunisme adalah komoditas politik paling ampuh untuk
menyerang lawan.
Tak terhitung lagi berapa hoaks berbau komunis yang
disebarkan untuk menyerang Jokowi saat pilpres 2014 dan 2019. Tapi bukannya
meluruskan isu miring itu, Jokowi justru menggunakan sentimen anti-komunisme
untuk menarik massa dari golongan konservatif dengan pernyataan “Tunjukkan pada saya mana PKI, saya akan
gebuk!”
Dari sekian pejabat tertinggi di pemerintahan, mungkin
cuma Abdurrahman Wachid alias Gus Dur yang berani menyatakan permintaan maaf secara terbuka terhadap korban 1965.
Lima bulan setelah dia dilantik menjadi presiden, Gus Dur meminta maaf atas
keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembantaian 1965. Pernyataan Gus Dur
mengagetkan banyak pihak, terutama saat isu PKI dan pembantaian 1965 sudah
nyaris terlupakan.
Dengan perginya Anwar, seharusnya kita mengingat lagi
secuil demi secuil sejarah yang nyaris kabur akibat propaganda Orde Baru.
Seperti kata Joshua, beberapa saat setelah mendengar perginya Anwar.
"Aku harap kesalahan dan kebaikan Anwar adalah bagian dari upaya Indonesia untuk mengakui apa yang terjadi di masa lalu," tutup Joshua.
0 komentar:
Posting Komentar