20/10/2019 - Anggi Alwik
Juli Siregar*
Jatam.org
Pemilihan umum serentak tahun 2019 sudah selesai. Pilpres
dimenangkan oleh Jokowi-Ma’ruf dengan memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50
persen. Hari ini, 20 Oktober 2019, Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan
dilantik di Gedung DPR/MPR. Di sisi lain, elite politik sibuk dengan agenda
politiknya masing-masing.
Ada yang membicarakan soal Koalisi dan Oposisi, ada juga
yang membahas soal siapa saja calon-calon menteri yang akan bergabung di
Kabinet Jokowi jilid II nanti untuk membantunya di Pemerintahan selama lima
tahun ke depan.
Bahkan sebelumnya, ada salah seorang petinggi partai yang
bertemu dengan salah satu Gubernur untuk membahas Pilpres 2024. Luar biasa,
bukan? Tahun baru saja belum, sudah membicarakan Pilpres 2024. Dasar politikus!
Bagi saya, generasi yang lahir di tahun 90-an, hal ini
semua tak penting untuk dibahas. Itu hanya sebatas hal-hal teknis dan perayaan
setiap lima tahun saja. Menang, ya harus dilantik. Kalah, ya coba lagi. Hal
yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana pemenang tersebut bisa menepati
janji-janjinya selama kampanye.
Pemenang harus bisa melindungi setiap bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia, sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia yang tertuang
di dalam alinea ke-4 UUD 1945.
Saya melihat pemilihan umum kali ini tak terlepas dari
dukungan dan peran para oligarki, ditambah dengan buruknya sistem pemilu. Lebih
kasarnya, bahwa pemenang pemilu tahun ini adalah oligarki itu sendiri.
Bagaimana tidak, Presidential Threshold 20
persen sehingga tidak ada pilihan calon lain untuk ikut kontestasi Pilpres.
Rakyat hanya disodorkan dua nama calon saja. Belum lagi mahalnya biaya Pemilu.
Saya justru lebih tertarik membahas soal keterlibatan
oligarki di pemilihan umum serentak tahun ini. Berbicara pemilu tahun ini,
ataupun tahun-tahun sebelumnya, pemenang pemilu, baik Parpol, DPR/DPD, Pilkada,
ataupun Pilpres, bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa Pemilu (Pilpres) tidak
bisa dilepaskan dari cengkeraman oligarki.
Oligarki dan
Kekuasaan
Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan
politiknya secara efektif dipegang oleh sekelompok elite kecil dari masyarakat,
baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal
dari kata Yunani, yaitu Oligoi yang berarti “beberapa” atau
“segelintir” dan arche yang berarti “memerintah”.
Sementara itu, menurut Jefry Winters, oligarki adalah
pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya materiel
yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan
posisi sosial ekslusifnya.
Sedangkan Paul M. Johnson menerangkan bahwa oligarki
adalah sebuah sistem pemerintahan yang seluruh kekuatan politiknya berada di
tangan sejumlah kecil orang-orang kaya yang membentuk kebijakan publik lebih
untuk kepentingan finansial mereka sendiri.
Itu melalui subsidi langsung terhadap
perusahaan-perusahaan mereka, melalui kontrak-kontrak pemerintahan yang
timpang, dan tindakan-tindakan proteksi yang bertujuan untuk menghancurkan
saingan bisnis mereka. Tindakan tersebut dilakukan dengan sedikit atau bahkan
tidak memikirkan kepentingan seluruh rakyat.
Kalau kita melihat sejarah, oligarki sudah ada sebelum
masehi. Oligarki tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga ada di berbagai
negara di belahan dunia.
Berawal sekitar 1100 dan 800 SM, sekelompok orang mulai
berbagi kekuasaan di beberapa negara kota di Yunani. Kekuatan politik dibagi
antara aristokrat-aristokrat (cerdik pandai) yang mewarisi kekayaan dan kuasa
dari keluarga mereka yang raja-raja. Perlahan, kelompok berkuasa ini berganti.
Oligarki berkembang pada kekuatan politik dan individu-individu kaya tertentu.
(Paul Gowder, 2014:1-67)
Oligarki terjadi di Amerika Serikat pada periode
industrialisasi abad ke-19. Para oligarki ini mendapatkan julukan robber
barons karena menggunakan cara-cara yang licik berupa monopoli,
penghancuran kompetitor, perbuatan curang, dan cara-cara korup seperti menyuap
aparat pemerintah. (Hal Bridges: 1-13)
Selain itu, oligarki juga terjadi di Afrika Selatan di
bawah sistem apartheid di mana minoritas kulit putih berkuasa.
(Wiiliam A. Darity: 1747)
Bagaimana dengan Indonesia? Di masa Orba, Jefry Winters
mengatakan bahwa Soeharto sebagai Oligarki Kesultanan. Sultan di sini merujuk
pada sistem kerajaan di Jawa. Ada 3 (tiga) elemen utama dalam mendefinisikan
rezim kesultanan.
Pertama, penguasa-penguasa kesultanan memerintah secara
pribadi dan menjalankan kebijakan ekonomi politik yang penting. Mereka
meningkatkan kekuatan dan kewenangan dengan cara mencegah pembentukan
lembaga-lembaga independen ketimbang mendirikannya. Lembaga-lembaga yang ada
tersebut berada di bawah subordinasi dari hak prerogatif penguasa kesultanan.
Kedua, penguasa-penguasa kesultanan mengelola kontrol
strategis atas akses terhadap kekayaan dan menempatkan sumber daya sebagai
bagian kunci dari basis kekuasaan mereka. Hubungan antara oligarki satu dengan
oligarki lainnya bersifat simbiotik.
Ketiga, penguasa-penguasa kesultanan berusaha mendirikan
dan mempertahankan penguasaan atas kekuatan koersif yang ada dalam negara atau
rezim. Ini termasuk mengendalikan angkatan bersenjata, intelijen polisi, aparat
peradilan, dan kadang membayar paramiliter, preman, dan bandit-bandit. (Jefry
Winters: 135)
Setelah Soeharto lengser, oligarki yang semula terpusat
pada Soeharto terpencar dan membangun porosnya sendiri-sendiri. Lalu, muncul
oligarki-oligarki lokal yang membangun sentra-sentra kekuasaan di daerah, baik
provinsi maupun kabupaten, hingga tingkat nasional. (Nelson Nikodemus Simamora:
6)
Jumlahnya makin banyak dan sering kali tidak memiliki
keterkaitan antara tingkatan satu dengan tingkatan lainnya. Vedi R. Hadiz dan
Richard Robison menyebut oligarki-oligarki baru itu sebagai “predator
kekuasaan”.
Mereka saling memangsa, berebut jalan untuk mencapai
posisi yang lebih tinggi dalam politik Indonesia. Sebab makin dekat dengan
kekuasaan, makin besar pula kemungkinannya mempertahankan kekayaan.
Ditambah program liberalisasi IMF tersebut, para oligarki
menjadi makin terintegrasi dengan sistem kapitalisme global setelah berhasil
mengambil kembali unit-unit usahanya dari pemerintah.
Oligarki-oligarki lama kembali dan munculnya
oligarki-oligarki baru di berbagai daerah, Indonesia kini dihadapkan pada
permasalahan klasik yang telah bermutasi dengan lebih banyak aktor dan jalinan
yang lebih kompleks. Mereka makin leluasa mengembangkan kekayaannya, hingga saat
ini. (Nelson Nikodemus Simamora: 6)
Bagaimana Cara
Melawan Oligarki?
Menurut Jefrey Winters, oligarki yang dijalankan kaum
oligarki telah menguasai perpolitikan Indonesia di era Reformasi. Kali ini
tanpa adanya kediktatoran Soeharto yang membatasi ruang gerak oligarki.
Tetapi, kalau dilihat, partai-partai besar sekarang ini
hanya dikuasai satu atau segelintir orang saja. Arena pertarungan politik
dibuat sedemikian rupa, sehingga hanya dengan restu dan campur tangan mereka,
politik bisa berjalan dengan biaya besar.
Biaya besar ini bukan hanya dalam kerangka kontestasi di
pemilu. Dari awal untuk bisa masuk dalam ruang kontestasi pemilu saja, sebuah
partai harus menyiapkan biaya minimal Rp35-60 miliar. Ini belum termasuk biaya
kampanye, sehingga juga belum menjamin partai bersangkutan memperoleh suara
signifikan.
Di sinilah yang saya katakan di atas bahwa biaya Pemilu
itu sangat mahal. Hanya pemilik modal dan konglomerat yang hanya bisa membuat
partai dan ikut kontestasi dalam Pemilu.
Saya melihat kenyataannya bahwa pemilu di Indonesia yang
dilakukan lima tahun sekali ini hanya sekadar pertarungan antar-oligarki
belaka, tidak lebih. Ini terlihat dalam sebuah film dokumenter produksi
Watchdoc berjudul Sexy Killer.
Dari film dokumenter itu, kita bisa melihat fakta-fakta
bagaimana pemilu dimanipulasi atas nama kepentingan rakyat. Padahal,
sesungguhnya pertarungan antar-elite/oligarki itu hanya untuk mengamankan
kepentingan/kekayaan mereka belaka.
Dalam berbagai debat calon presiden yang digelar selama
lima kali, kedua pasangan kandidat sama sekali tidak pernah menyentuh hal-hal
yang berkaitan dengan rakyat. Soal tambang batu bara, misalnya, kedua calon
tidak pernah membahasnya karena faktanya pemilik tambang-tambang batu bara
tersebut merupakan elite-elite yang berada di belakang Jokowi maupun Prabowo.
Berdasarkan film dokumenter tersebut, ada sekitar 3.500
lubang bekas tambang batu bara di Kalimantan. Disebutkan pula sekitar 290
pemilik tambang tidak memberi jaminan lingkungannya dengan baik. Bahkan
kubangan tambang batu bara di tengah hutan itu telah menelan banyak korban
jiwa. Sepanjang 2018, sekitar 30 orang meninggal dan umumnya adalah anak-anak.
Timbul di benak kita, siapa pemilik saham tambang batu
bara yang merusak lingkungan dan merenggut banyak korban jiwa itu?
Film dokumenter tersebut menyebutkan, dari tim
Jokowi-Ma’ruf Amin, ada nama Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman), Fachrul Razi (pensiunan jenderal TNI), dan Suadi
Marasambessy. Mereka bergabung dalam tim Bravo 5. Selain mereka, ada nama Hary
Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Andi Syamsuddin
Arsyad, dan Oesman Sapta Odang.
Sementara itu, di kubu Prabowo-Sandiaga Uno, pertama-tama
adalah kedua orang itu. Karena mereka adalah pemain lama dalam bisnis energi.
Kemudian, ada nama Hutomo Mandala Putra atau Tommy
Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, Ferry
Mursydan Baldan, dan Zulkifli Hasan.
Menariknya, meski para elite itu berbeda kubu, tetapi
secara bisnis mereka saling terkait. PT Saratoga Investama milik Sandiaga Uno,
misalnya, melepas sahamnya sebagian senilai Rp130 miliar kepada PT Toba Bara
milik Luhut Pandjaitan.
Dari film itu, diketahui bahwa perusahaan Luhut itu
memiliki 50 lubang bekas tambang. Total luas lahan tambang batu bara Luhut
mencapai 14 ribu hektare.
Di samping tambang batu bara, Luhut juga punya 6
perusahaan lain, yakni Toba Coal and Mining, Toba Oil and Gas, Toba Power, Toba
Perkebunan dan Kehutanan, Toba Industri dan Toba Property and Infrastructure. Anak
usaha ini terbagi menjadi 16 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor.
Selain Luhut, Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo
itu juga memiliki perusahaan PT Multi Harapan Utama, PT Saratoga Investama, dan
PT Adaro Energy yang sahamnya dimiliki oleh saudara Erick Tohir, Dan diketahui,
Erick Tohir merupakan Ketua Tim Kampanye Nasional untuk Jokowi-Ma’ruf Amin.
Dari fakta ini semua, saya kira kita sedang
dipertontonkan oleh dua kubu besar oligarki yang sedang ingin mempertahankan
kekayaannya dengan cara menjadi penguasa.
Menurut Jeffrey Winters, kenyataan demikian menunjukkan
dinamika politik Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki dengan
kepentingan kekuasaan agar mengamankan kekayaan.
Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana caranya melawan
oligarki?
Melawan apalagi menghancurkan oligarki tersebut sangatlah
sulit, butuh waktu yang lama. Bahkan hukum sebagai panglima pun tidak bisa
berbuat banyak, hukum tidak bisa membatasi pergerakan oligarki untuk masuk ke
ruang-ruang gelap kekuasan, karena oligarki bersekongkol dengan para elite itu
sendiri.
Oligarki dengan mudahnya bisa masuk dan mengontrol
parlemen, pemerintahan, peradilan dan media. Sehingga sangat mudah untuk
mengintervensi kebijakan negara.
Menurut Winters, melawan oligarki harus dimulai dengan
masyarakat yang memiliki organisasi dan pimpinan di luar struktur yang dikuasai
oligarki. Organisasi dan pimpinan politik inilah yang akan menjadi agen dan
alat dalam melawan oligarki.
Hemat saya, melawan oligarki harus diawali dengan
kesadaran diri sendiri, lalu mendorong rakyat/masyarakat lainnya untuk aktif
dan terlibat langsung di lembaga demokrasi/HAM. Bisa dengan sebuah
NGO/LSM atau membangun gerakan/politik alternatif rakyat, agar terlibat dalam
kontestasi politik yang tujuannya adalah keadilan sosial dan jelas
keberpihakannya kepada rakyat.
Saya percaya, kalau setiap individu/warga negara sadar
dengan hal ini, maka 10-15 tahun ke depan, oligarki akan mati dengan
sendirinya. Tetapi kalau tidak, bersiaplah untuk tetap geram kepada pemerintah.
Jangan diam! Lawan!
"Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawanku." (Che Guevara)
Penulis, Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar