Selasa, 19 Februari 2019
Menghidupkan
cerita dari balik penjara 65/66
[AUDIO] NADA SAMBUNG TELEPON
DAMAR: Halo, Bu Uchi masih ingat suara saya?
UCHIKOWATI: Ya, siapa ya?
DAMAR: Damar.
UCHIKOWATI: Oh Damar. Apa kabar? Aku (kemarin)
bilang sama ibu-ibu: masih inget nggak, Damar KBR? Oh, yang wawancara kita
pertama kali ... (tertawa). Kemarin juga kami ke KBR, tapi saya nggak ikut, ada
ibu-ibu lain.
DAMAR: Kenapa enggak datang?
UCHIKOWATI: Iya. Saya kelelahan banget. Soalnya
konsernya cuma 1,5 jam tapi persiapannya berbulan-bulan. Terus bagi-bagi tugas,
ibu-ibu (yang datang) itu kan rumahnya yang dekat kota.
***
Tujuh tahun berlalu. Pada 2012 saya sempat menulis cerita
tentang paduan suara para penyintas tragedi 65/66 bernama, Dialita. Utji Kowati
Fauzia tadi, salah satu anggotanya.
Saya pikir mereka sudah lupa. Tapi salam yang diganti peluk
oleh Utji Kowati pada akhir Januari 2019 lalu, menyadarkan saya bahwa, mereka
kuat dalam ingatan.
"Kebahagiaan bagi kami, bapak dan ibu, juga teman-teman bisa hadir untuk menyaksikan rilis album kedua yang diproduksi Rumah Bonita dan Dialita," kata Utji Kowati sebagai ketua paduan suara memberikan sambutan.
Persis, tak ada yang berubah kecuali waktu. Bu
Uchi—begitu saya memanggilnya, masih sehat. Sementara Tuti Martoyo, Utati
Koesalah, dan ibu-ibu lain terlihat segar, juga riang. Meski, kebanyakan mereka
sudah berusia di atas kepala enam. Itu mengapa paduan suara ini dinamai
Dialita, kependekan dari Di Atas Lima Puluh Tahun.
Sebagian besar anggota paduan suara yang dibentuk 2011
ini memang keluarga penyintas tragedi 65/66. Tapi sejumlah lainnya ada pula
yang sama sekali tak punya sangkutan sejarah dengan tragedi berdarah tersebut.
Kamis malam 31 Januari di Goethe Haus Jakarta, mereka
meluncurkan album kedua: Salam Harapan. Seperti yang pertama, 12 lagu kali ini
mendapat sentuhan dari musisi-musisi muda. Di antaranya Petrus Briyanto Adi,
Junior Soemantri, Endah Widiastuti, Bonita juga Andie Jonathan Palempung.
"Mendengar cerita bagaimana lagu-lagu ini dikumpulkan... Andai saya punya waktu lebih banyak [...] Ini juga ajakan buat adik-adik seputaran musik atau sejarah kita, saya pikir ini sumber pengetahuan, informasi dan kekayaan yang, perlu kita gali. Ini salah satu jalan terang buat Indonesia lebih baik,"
- tutur Petrus Briyanto Adi yang akrab disapa Adoy.
Tata cahaya berpusat ke panggung, satu per satu anggota
Dialita mengisi deret kursi yang disusun dua lajur. Warna-warni kebaya keluaran
Sri Kendes menyala: magenta, merah, ungu, tosca juga orange.
Saya mengamati seisi ruang dari bangku paling depan:
kursi nyaris penuh, ada 300 lebih penonton. Beberapa wajah tampak tak asing,
terlihat komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, penyintas 65/66 Tedjabayu di
bangku sisi kiri saya, juga pegiat kemanusiaan yang pernah menggawangi Komnas
HAM Hari Wibowo.
Tuti Martoyo duduk paling kanan, di bagian suara sopran.
Dari bangku penonton, perempuan usia 75 itu terlihat sesekali meluruskan
punggung ke senderan kursi, lalu melepas sandal wedges-nya. Ia tak kuat berdiri
lama-lama. Saat bernyanyi saja, tangan kanannya harus bertumpu pada tongkat
berkaki tiga yang, menopang beban tubuhnya.
Tapi begitu konduktor memberi aba-aba, meski dengan penuh
upaya, Tuti lekas berdiri.
[AUDIO] MUSISI MENYANYIKAN SALAM HARAPAN
Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar mewah mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat Sentosa
Mekar mewah mekarlah melati
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat Sentosa
-
"Lagu Salam Harapan dibikin di dalam penjara Bukit Duri. Di situ ibu-ibu saling mendukung. Karena di dalam penjara itu sangat susah dan sangat menderita sekali. Jadi untuk saling menguatkan," ungkap Tuti sambil meluruskan punggung ke kursi.
Huru-hara politik 65/66 mengakibatkan setengah juta lebih
rakyat jadi korban tewas, sementara ribuan orang dipenjara. Soeharto—yang saat
itu Jenderal Angkatan Darat—memerintahkan perburuan orang-orang yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) juga para pengikut Soekarno.
Narasi yang santer, salah satu partai beken pada
Pemilu 1955 itu dituding sebagai dalang pembunuhan para jenderal pada 30
September 1965. Kendati, tuduhan ini tak pernah bisa dibuktikan.
Belakangan referensi lain mengungkap, tragedi kemanusiaan
65/66 terjadi akibat konflik di internal angkatan darat.
Bukit Duri, Jakarta jadi bagian kecil dari simpul
bangunan yang memenjara tahanan politik perempuan. Titik lain, ada Kamp
Plantungan di Kendal, Penjara Bulu di Semarang, juga di Malang, Jawa Timur. Di
dua lokasi terakhir, jumlah yang ditahan mencapai 500 orang lebih.
Di penjara-penjara itulah, puluhan lagu tercipta. Jadi
pelipur sepi, penyemangat, kadang pula penggembira. Puluhan tahun berselang,
lagu-lagu itu terserak, beberapa coba kembali dikumpulkan.
"Kami punya stok sekitar 25-30an lagu. Dan ini kami kumpulkan sejak tahun 2000," kata Uchi saat menjawab pertanyaan penonton. Lagu berjudul 'Salam Harapan" adalah salah satunya.
Tak mudah membikin lagu dalam penjara. Terbatasnya alat
tulis dan kertas, membuat tahanan perempuan mengingatnya dalam kepala. Pilihan
lain, menulis lirik dan notasi pada tanah juga tembok sel.
Salam Harapan misalnya, ditulis di sela kerja paksa di
penjara Bukit Duri. Lirik lagu ditulis Murtiningrum. Lantas di bawah pohon
kersen Penjara Bukit Duri, Zubaidah menyusun notasinya. Ini jadi salah satu
lagu wajib tiap kali ada tahanan berulang tahun.
Senandung tersebut didengar Utati Koesalah pada September
pagi di tahun 1967. Saat itu ia berulang tahun ke-23. Utati masih ingat betul
ketika serombongan perempuan sesama tahanan politik diam-diam menyelinap ke
Blok B penjara Bukit Duri.
"Begitu pintu gembok kamar dibuka, itu masing-masing sudah siap menuju kamar. Biasanya yang ulang tahun pun belum siap. Belum bangun. Masih kucek-kucek (terkekeh) Tapi sudah berderet teman-teman di depan pintu, langsung menyanyikan lagu itu," Utati mengenang.
Sama sekali ia tak menyangka, kawan-kawannya—tak semua
memang, bikin kejutan perayaan sederhana. Sekuntum bunga jengger ayam warna
merah tua, turut diulurkan sebagai ucapan selamat.
"Haru, sedih, gembira. Tertawa karena seneng kan, kok ada yang ingat. Kadang-kadang yang berulangtahun tidak ingat," tutur Utati.
"Ada yang menyanyikan lagu, isinya kan memberikan semangat kepada kita untuk bertahan, sehat. Karena semuanya tidak punya apa-apa di situ, ya punyanya hanya Salam, salam penuh kasih.. agar tetap tabah di situ. Tetap punya harapan," lanjutnya lagi.
Lebih separuh abad, kado berupa pembatas buku berpola
bunga pun masih ia simpan. Isteri mendiang Koesalah Soebagyo Toer ini masih
ingat, bahan pembuatnya ....
"Sisa kain kecil-kecil. Apa strimin, apa.. Kami kan saling kerja tangan itu untuk membeli sabun, gula dan lain sebagainya. Dari situ kain kecil kan akan terbuang, nah itu kami jahit."
Saban ritual ulang tahun, lagu Salam Harapan tak pernah
luput disandingkan dengan “Tetap Senyum Menjelang Fajar”. Pasangan lagu ini
selalu dinyanyikan bersama sebagai ungkapan kasih sekaligus penyemangat, agar
para tahanan tetap tegar merawat harapan.
[AUDIO] SITA NURSANTI MENYANYIKAN TETAP SENYUM MENJELANG
FAJAR
Bukan bunga indah mewangi
Atau dupa harum setanggi
Tetapi salam penuh kasih
Kuhantar padamu kini
Harapanku padamu teman
S'moga kau tetap tegar
Atau dupa harum setanggi
Tetapi salam penuh kasih
Kuhantar padamu kini
Harapanku padamu teman
S'moga kau tetap tegar
-
Puluhan tahun setelah itu, Sita Nursanti menyanyikan
untuk penonton di Goethe Haus Jakarta. Saya bergidik. Sesekali coba melirik,
yang lain sedang khidmat menyimak.
Nasib lagu bikinan Zubaidah ini tergolong mujur.
Sekalipun tak seorang pun mengingat judulnya, karena masih banyak yang hafal
lirik serta nadanya, lagu ini panjang usia. Untuk memudahkan, akhirnya bait
terakhir ‘tetap senyum menjelang fajar’ dipilih jadi judul.
Ke
banyakan lagu di album kedua lahir dari rahim Penjara
Bukit Duri. Di lokasi ini pula, kerinduan Utati Koesalah malih rupa menjadi
lagu berjudul Ibu.
Lagu berumur puluhan tahun itu berhasil ia bawa keluar
penjara berkat secarik kertas bekas bungkus roti tawar. Ia menulis itu pada
tahun pertamanya di penjara, bermodal pensil pinjaman Kepala Blok.
Lirik lagu menggambarkan kegusaran saat Utati muda
memikirkan ibunya. Tak pernah lintas dalam benak, anak sulung ibu bakal
dijebloskan ke penjara.
Wajah sang ibu terbayang berkali. Pelan-pelan nada lagu
pun bergema. Iramanya sendu. Malam pengujung Januari lalu, musisi muda Endah
Widiastuti melantunkannya dengan syahdu.
[AUDIO] ENDAH WIDIASTUTI MENYANYIKAN LAGU IBU
Terkenang s'lalu kasihmu yang sejati
Cintamu yang abadi ikhlas dan murni
Teringat s'lalu belai sayangmu ibu
Kata dan nasihatmu terngiang s'lalu
Kuterbayang wajahmu ibu
Harapanku padamu sehatlah s'lalu
Cintamu yang abadi ikhlas dan murni
Teringat s'lalu belai sayangmu ibu
Kata dan nasihatmu terngiang s'lalu
Kuterbayang wajahmu ibu
Harapanku padamu sehatlah s'lalu
-
"Bagaimanapun sejarah itu kan selama ini tidak pernah kedengaran. Ditutup. Dengan kami menyanyi, menceritakan lagu-lagu yang dari dalam (penjara Bukit Duri), yang muda kan jadi mengerti bahwa ada kejadian seperti itu. Mudah-mudahan mereka mengerti,"
- harap Utati seraya menutup sambungan telepon saya pekan
lalu.
Utati, ditahan 11 tahun lamanya, tanpa peradilan. Ia
ditangkap, hanya karena aktif berkesenian di Pemuda Rakyat—organisasi yang
terafiliasi dengan PKI. Tapi malam itu, ia, juga perempuan penyintas lain lega,
lagu-lagu dari balik penjara bisa diterima.
Jerih berbulan pun terbayar.
"Kami haru, sekaligus bangga, ternyata lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita ini bisa diterima generasi muda. Saya sungguh …. terharu, karena suara Dialita ternyata didengar, lagu-lagu kami semoga bisa diterima oleh masyarakat luas bukan hanya generasi muda. Yang dulu kami belum berani menyanyikannya, termasuk lagu-lagu yang dibungkam, tapi ternyata sekarang lagu ini bisa diterima dan digemari anak-anak muda.. terima kasih semua," tutur salah satu anggota Dialita, Elly Runtu.
[AUDIO] TEPUK TANGAN PENONTON PERTUNJUKAN
-
Reporter
|
:
|
Damar Fery Ardiyan
|
Editor
|
:
|
Nurika Manan
|
0 komentar:
Posting Komentar