Nisaa Yura | 8
February 2019
(Niko Attar)
Watak Orde Baru adalah contoh ideal hegemoni kebenaran
yang masih langgeng hingga saat ini. Tatkala orang jahat disulap menjadi
“baik”, dan orang jahat mendapatkan justifikasi atas kejahatannya.
Jakarta, 7 Februari 2019. Pembangunanisme, militerisme,
pelemahan politik oposisi, pemberangusan kebebasan berserikat serta praktik KKN
merupakan ciri utama Orde Baru. Sampai akhirnya lebih dari 20 tahun yang lalu,
muncul reformasi sebagai bentuk perjuangan untuk menumbangkan rezim otoriter
tersebut. Memperbincangkan konteks Indonesia hari ini menjadi penting dan
relevan menjelang Pemilihan Umum 2019, terutama dalam melihat apakah reformasi
telah berhasil melepaskan bangsa ini dari belenggu Orde Baru, dengan mewujudkan
esensi demokrasi yang sesungguhnya yaitu Hak Asasi Manusia, Keadilan, dan
Kesejahteraan Rakyat.
Sebagai ruang refleksi, dialog bertajuk Membincangkan
Indonesia: Membongkar Orde Baru, Melihat Amanat Reformasi yang diadakan di
gedung YLBHI ini menghadirkan berbagai narasumber untuk merefleksikan
sistem dan karakter Orde Baru sekaligus melihat tuntutan dan pranata reformasi
dalam konteks situasi Indonesia hari ini.
Jurnalis senior Maria Hartiningsih menyatakan bahwa
lepasnya belenggu kebebasan pers dan membaiknya indeks kebebasan pers pasca
reformasi tidak lantas menghadirkan esensi kebebasan pers yang sesungguhnya.
Hari ini kebebasan pers acap mendapatkan ancaman, tidak hanya dari negara
tetapi juga dari kelompok-kelompok masyarakat yang kerap melakukan kekerasan.
Meski ada beberapa kemajuan, di antaranya UU Pers dan isu
perempuan yang sudah semakin mainstream, namun pers sendiri terus
menghadapi tantangan dalam menjalankan fungsinya di dalam demokrasi.
”Pers tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai watchdog, tetapi bermain di dalam pusaran kekuasaan", ujarnya.
Lebih lanjut, Maria menyatakan bahwa Pemilihan Presiden
hari ini berjalan secara tidak sehat, sehingga tidak memberikan sumbangan bagi
pendidikan politik publik.
Politik hari ini justru menyebabkan terjadinya pembelahan
wartawan, aktivis, dan berbagai kelompok lainnya. Dalam konteks pers, media
banyak didirikan oleh politisi atau pengusaha yang berafiliasi dengan partai
politik, sehingga mengakibatkan media kehilangan kepercayaan masyarakat.
“Pada kondisi di mana kapitalisme, kekuasaan dan teknologi berkelindan, yang terpenting (adalah) dagangan terjual dan meraup keuntungan besar. Berita palsu yang mengandung hasutan, atau berita bohong yang kemudian disebarkan oleh orang-orang yang berada di ruang dan gaung yang sama kemudian menjadi komoditas politik untuk saling menjatuhkan,” papar Maria merefleksikan situasi media hari ini.
Dalam konteks gerakan buruh, Ilhamsyah dari Konfederasi
Persatuan Buruh Indonesia menyatakan bahwa meskipun secara formal ada
kebebasan bagi buruh untuk berserikat, namun dalam praktiknya, hak-hak ini
masih sering dihalang-halangi pemenuhannya.
“Union Busting masih menjadi pola untuk menghabisi serikat buruh,” ujarnya.
Ilhamsyah mengingatkan bahwa Orba tidak identik dengan
aktor tapi dengan sistem yang dirancang sedemikian rupa. Orba mengeluarkan Tap
MPR No. 25 Tahun 1966 dan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
sebagai landasan kekuasaan.
Tak hanya itu, pilar Orde Baru turut diperkuat dengan dwi
fungsi ABRI serta 5 paket UU Politik – yaitu UU tentang Pemilu, UU tentang
Ormas, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD,
UU tentang Partai Politik, dan UU tentang Referendum.
“Sistem Orde Baru telah mempersiapkan seluruh perangkat hukumnya, baik untuk melegitimasi kekuasaannya maupun untuk menggebuk,” pungkas Ilhamsyah.
Melihat situasi reformasi hari ini, Ilhamsyah berpendapat
bahwa sistem yang menopang Orba masih kuat. TAP MPR dan penggunaan isu komunis
tidak kunjung goyah. Buruh, aktivis, hinga rakyat yang digusur dan memperjuangkan
hak mereka kerap dituduh sebagai komunis.
Hal ini diperkuat dengan keberadaan UU Ormas, yang
mengharuskan Pancasila sebagai satu-satunya asas Organisasi.
Ditilik dari sudut pandang militerisme, dominasi TNI
dalam kehidupan sipil masih terus terjadi. Lembaga teritorial tetap utuh,
bahkan hari ini ada permintaan agar perwira yang tidak punya pekerjaan untuk
ditempatkan ke dalam lembaga pemerintahan yang ada.
Sementara dalam konteks ekonomi dan investasi, cengkraman
modal justru semakin kuat. Di akhir Orba, akses investasi dibuka
lebar-lebar,
“Ketika Orba, ada batasan kepemilikan modal asing, sekarang 100% modal asing bisa menguasai asset,” ungkap Irwansyah. “Kenapa reformasi tidak bisa melahirkan pemerintahan yang betul-betul demokratis? Karena pemerintahan orba tidak memungkinkan lahirnya kekuatan oposisi.”
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam
menyatakan bahwa saat ini modalitas politik kita masih berangkat dari watak
koruptif Orde Baru. Watak Orba adalah kekuasaan yang mengabdi pada modal. Watak
tersebut terus mengkonsolidasikan kekuasaannya, di antaranya dengan membangun
kelompok vigilante dan melalui laku korupsi. Pola-pola tersebut pun
masih berlangsung sampai hari ini.
“Kalau orde baru memiliki wajah kekuasaan politik yang tunggal, maka hal itu juga terjadi saat ini,” ujar Anam. “Siapa yang punya kuasa, punya modal, dialah yang bisa mendominasi ruang politik”.
Dari segi hukum, Orba ditopang oleh kuasa peradilan. “Tidak ada pengadilan yang independen,” tegas Anam.
Masih
menurut dia, dalam catatan Komnas HAM, hari ini tidak ada kasus pelanggaran HAM
yang bisa diselesaikan karena kekuasaan tidak menginginkan kasus itu selesai
dengan berbagai cara.
Padahal menyelesaikan pelanggaran HAM sesungguhnya dapat
merefleksikan tata kelola negara kita; apakah masih berwatak kekuasaan atau
telah berkembang menjadi berwatak demokratis.
Watak kekuasan Orba juga hegemonik sebagai perumus
kebenaran. Menurut Anam, watak seperti ini terus berjalan sampai sekarang, di
mana orang yang punya kekuasaan bisa membangun kebenaran versinya.
“Dalam rezim pembuat kebenaran yang merumuskan kebenarannya sendiri, orang yang jahat menjadi baik, atau orang yang jahat menjadi dibetulkan kejahatannya” ungkapnya.
Berbagai refleksi di atas menunjukkan bahwa watak
kekerasan Orba masih mewujud jelas hingga pemerintahan hari ini. Baik UU Ormas,
oligarki kekuasan, praktik perampasan lahan, pelanggaran HAM, maupun dominasi
militer, mencerminkan bahwa negara masih saja dijalankan dengan gaya kekuasaan
lama.
Watak kekerasan itulah yang kemudian mengakibatkan
demokrasi kehilangan esensi, di mana rakyat tidak lagi memiliki pilihan calon
pemimpin yang benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat.
Bahkan yang muncul adalah para pelanggar HAM; seorang
calon yang memang pelanggar HAM, juga seseorang yang ditokohkan sebagai orang
baik dengan menggunakan watak Orde Baru demi menciptakan versi kebenarannya
sendiri.
Sumber: SorgeMagz
0 komentar:
Posting Komentar