Pendukung golongan putih atau Golput membentangkan poster pada Pemilu 1971. (Foto : Kaskus).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengawas Pemilu
(BAWASLU) menyeru masyarakat menggunakan hak pilih. Sosialisasi mencegah
golongan putih atau golput. Sedangkan, masing-masing tim pemenangan calon
Presiden, terus merengkuh sebanyak mungkin pemilih. Meski begitu, setiap pemilu
angka golput cukup tinggi. Data KPU pada
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dari 190,3 juta sedangkan yang menggunakan
hak suara 133 juta pemilih.
Sehingga jumlah yang tak memilih atau golput
mencapai 57 juta lebih pemilih atau mencapai 24,89 persen pemilih.
Tak terkecuali pada Pemilu dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Bahkan, ada
sebagian yang secara terbuka menyatakan golput alias tak memungut suara dalam
Pemilu.
Gerakan golput pertama kali muncul di Indonesia pada
1971, menjelang penyelenggaraan Pemilu pertama Orde
Baru (Orba). Ketika itu, Golput hanya salah satu dari gelombang protes
terhadap rezim Orba. Max Lane dalam Unfinished Nation (2014: 112)
menjelaskan bahwa Golput muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap campur
tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik. Selain juga bentuk
penolakan terhadap cara-cara kekerasan yang dilancarkan untuk memenangkan
partai pemerintah, Golkar.
“Bagi Saya pada waktu itu, dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik. Apa gunanya pemilu kalau orang tak bebas berserikat dan berpolitik? Partai yang bisa dipilih hanyalah partai yang ‘disediakan’ pemerintah,” tulis pimpinan gerakan Golput waktu itu Arief Budiman, dalam “Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005” (2006: 105).
Jika ditelisik, Golput bukan sebatas tidak menggunakan
hak suara atau tidak memilih. Golput juga tak bisa dipersamakan dengan
alasan-alasan apolitis untuk tidak memilih, seperti berlibur atau tetap bekerja
misalnya. Menurut Arief Budiman, Golput bagian dari gerakan boikot pemilu.
Istilah Golput sendiri diambil dari anjuran para pemboikot Pemilu untuk
mencoblos bagian putih dari kertas suara. Bukan mencoblos tanda gambar partai
politik.
Partai Politik peserta Pemilu 1971. (Foto : Kaskus).
“Dengan demikian suaranya jadi tidak sah. Bagi para pemboikot, menjadi Golput hukumnya wajib,” tandas Arief Budiman (2006: 105).
Golput pada 1971 memang tak berhasil membendung
kemenangan partai pemerintah. Golkar menang dan Soeharto semakin kokoh. Namun,
bagaimanapun gerakan itu telah memberikan tekanan moral dan politik.
Boikot sebagai Senjata Perlawanan
Golput hanyalah salah satu model dari gerakan boikot. Di
luar itu, masih banyak contoh gerakan boikot yang mampu mengubah keadaan. Siapa
sangka sejarah kemerdekaan Irlandia bermula dari gerakan yang kemudian terkenal
dengan nama boikot ini.
Ketika itu ada seseorang kapten bernama Charles
Cunningham Boycott. Ia merupakan kaki-tangan Lord Erne, seorang tuan tanah
guntai (absentee landlord) di Kecamatan (country) Mayo,
bagian barat daratan irlandia yang dikuasai Inggris.
Ia sangat tidak disukai oleh rakyat. Para penggarap lahan
di bawah Sang Kapten mogok kerja, menolak kebijakan pencaplokan lahan
serta harga sewa. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 September 1880. Dari
peristiwa inilah istilah boikot muncul.
Gerakan ini merembet. Pedagang atau pemilik tolo menolak
melayani Boycott dan keluarganya. Kantor pos menolak mengantarkan surat-surat
kepadanya. Kekuasaan dan kekuatan Boycott menjadi tidak ada artinya. Ia dan
keluarganya terpaksa melakukan semua pekerjaan sendiri.
Tidak ada buruh atau pekerja yang mau bekerja untuk
keluarganya. Dikirimlah relawan pro-Inggris lengkap dengan kawalan serdadu.
Tapi tetap saja, kedatangan mereka tak banyak membantu. Keluarga itu pun tak
betah dikucilkan sedemikian rupa. Akhirnya, Kapten Boycott pun hengkang dari
Mayo dan pulang ke Inggris. Rakyat pun bersuka cita.
Di belahan bumi yang berbeda dan pada waktu yang
berlainan, boikot kembali menunjukkan keampuhannya. Gara-gara boikot, rezim
otoriter, despotik, licik, dan fasis, Ferdinand Marcos terjungkal dari
kekuasaannya. Ia dan istrinya, Imelda, sampai diungsikan menggunakan helikopter
tentara Amerika menuju Hawaii. Waktu itu pemilu Filipina, 7 Februari 1986,
sedang dilangsungkan. Seperti sebelum-sebelumnya, rezim Marcos kembali
melakukan kecurangan, pemalsuan, dan manipulasi suara.
Gerakan dimulai dari 30 perempuan operator sistem
komputer Pemilu yang menolak menghapus jumlah suara untuk memenangkan rezim
penguasa. Mereka keluar ruangan secara serempak dan melakukan protes dengan
membawa disket-disket komputer dan lembaran-lembaran kertas sebagai bukti sah
kecurangan. Menyusul tindakan boikot tadi, ratusan ribu warga membanjiri
jalan-jalan di Ibukota Manila. Mereka mengepung tank-tank lapis baja tentara
dan menuntut agar kemenangan Aquino diakui. Akhirnya, rezim tangan besi itu pun
runtuh.
Masih tentang kesaktian boikot. Tepatnya, aksi boikot bus
umum selama setahun penuh di Montgomery. Peristiwa ini berhasil menjadi salah
satu kunci dan pemicu maraknya gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat (AS).
Boikot ini berawal dari keberanian dua orang perempuan AS kulit hitam. Keduanya
melakukan protes terhadap kebijakan rasis terkait penumpang bus kala itu.
Dimana penumpang kulit hitam wajib memberikan tempat duduknya kepada penumpang
kulit putih yang tidak mendapatkan tempat duduk. Keduanya adalah Rosa Parks,
seorang tukang jahit , dan Claudette Colvin, gadis remaja belasan tahun.
Protes Colvin terjadi 9 bulan lebih awal dibanding Parks.
Ia menolak memberikan tempat duduknya kepada seorang penumpang berkulit putih.
Akibatnya, ia dilempar keluar bus dan ditangkap polisi. Begitupula dengan
Parks, ia ditangkap dan ditahan oleh kepolisian karena tidak mau memberikan
tempat duduknya kepada penumpang kulit putih. Akhirnya, pada 13 November 1956,
dengan Colvin sebagai saksi kunci, Mahkamah Agung Amerika Serikat menghapus
untuk selama-lamanya undang-undang tentang pemisahan tempat duduk penumpang bus
umum berdasarkan warna kulit.
Sejarah, kisah atau cerita ihwal keberhasilan boikot ini
dapat kita temukan dan baca dalam buku “Tindakan-tindakan Kecil
Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan dapat Mengubah
Dunia,” karya Steve Crawshaw dan John Jackson.
Sastrawan Parmoedya Ananta Toer, menarasikan gerakan
boikot dalam novelnya. Dalam “Jejak Langkah,” Minke, tokoh utama, seolah
mendapatkan ilham terkait boikot. Gerakan efektif yang mampu dilakukan rakyat
paling lemah sekalipun. Melalui Hendrik Frischboten, Minke mendapatkan
penjelasan bahwa boikot adalah perwujudan kekuatan dari golongan lemah.
Kekuatan Boikot ini pernah dicontohkan oleh semua pedagang Tionghoa di
Hindia-Belanda yang menolak mengambil barang dagangan dari perusahaan dagang
besar Eropa. Akibatnya, banyak perusahaan yang gulung tikar.
Buku Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto :
Price Area).
Minke juga terinspirasi dari berita penolakan Legiun
Mangkunegaran yang akan diberangkatkan ke Bali dan Lombok. Mereka menolak
berlayar dan itu berarti menolak memerangi saudaranya sendiri di Bali dan
Lombok. Satu lagi, cerita pembangkangan petani Samin juga mempertebal keyakinan
Minke bahwa boikot bisa menjadi momok bagi kolonial. Petani Samin melakukan
boikot dengan menolak membayar pajak dan tidak mau membuka atau membuat jalan.
Satu sen pun Gubermen tidak pernah dapatkan dari mereka.
Minke pun menulis beberapa tajuk berkenaan dengan boikot
ini. Dengan penuh optimis ia menulis (2002: 397), “Semua bangsa terperintah
Hindia bersatu, pem-boycottan total terhadap Gubermen, apa Belanda takkan
gulung tikar, angkat kaki?”
Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa boikot tak akan
berjalan tanpa adanya organisasi. Petani-petani Samin pun menurut Minke juga
berorganisasi dengan caranya sendiri. Lalu mereka membangkang.
Dr. Pamela Allen dalam bukunya “Membaca Lagi dan
Membaca Lagi: Reinterpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995” mengatakan bahwa
dalam “Jejak Langkah” Minke mulai mencari pendekatan efektif untuk
mengembalikan perlawanan kepada rakyat (2004: 47). Yaitu melalui tiga strategi:
organisasi massa, boikot, dan penghapusan praktik budaya Jawa yang feodal. Jika
benar-benar digerakkan, ketiganya akan membuat Belanda angkat kaki.
Salah seorang pendiri bangsa dan tokoh pergerakan, Tan
Malaka, juga tidak ketinggalan menyebut strategi gerakan bernama boikot ini.
Dalam “Aksi Massa” bagian atau bab “Perkakas Revolusi Kita,” Tan
menyebut pemogokan dan pemboikotan sebagai bagian dari aksi massa. Ia terencana
dan tidak lahir dari fantasi kosong. Ada kesadaran bersama yang menyatukannya.
Dan tentu ada organisasi massa. Tan menyebutnya dengan partai revolusioner.
Partai yang akan membawa aksi massa mencapai cita-citanya.
Pemboikotan nasional Indonesia yang hebat dan keras,
menurut Tan, sangat dibenci dan dimusuhi oleh imperialis Belanda yang buas. Ia
membayangkan bagaimana lemahnya kaum penjajah ketika berjuta-juta buruh
meletakkan pekerjaannya. Baik karena menuntut keuntungan ekonomi maupun
politik.
Selain meletakkan kerja, boikot pajak menurutnya juga salah satu
senjata ekonomi politik yang sangat sakti untuk menggoyang kekuatan Belanda.
Tidak lupa, Tan juga mewanti-wanti kalau hak-hak asasi
manusia yang asali seperti mogok (menolak penjualan tenaga sendiri), boikot
(menolak kerja bersama, membeli atau menjual barang-barang) dan hak
berdemonstrasi (mengumumkan cita-cita) bisa jadi akan lenyap selama-lamanya
dari bangsa Indonesia. Kapan? Yaitu ketika di belakang tiap-tiap orang
Indonesia berdiri seorang serdadu imperialis yang bersenjata. Dari sini kita
bisa membayangkan, siapa kemudian yang menggantikan serdadu imperialis itu hari
ini.
Sumber: TeraKota
0 komentar:
Posting Komentar