Kamis, 21 Feb 2019 12:02 WIB - Ryan Suhendra
Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapat
sentilan lagi terkait komitmen penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu. Amnesty tawarkan terobosan penyelesaian.
Sejumlah pegiat HAM
menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/1/2019).
Mereka menuntut pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM. (Foto:
ANTARA/ Akbar N)
KBR, Jakarta - Kedua pasangan calon presiden dan
wakil presiden mendapat sentilan lagi terkait komitmen penuntasan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu. Calon petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin
disinggung soal rekomendasi dari Komnas
HAM yang tak kunjung dijalankan.
Sedangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno diragukan program konkretnya. Hal tersebut dibicarakan dalam acara
bedah visi dan misi Capres-Cawapres di Kantor Komnas HAM, Rabu (20/2/2019).
Ketua Komnas HAM Taufan Damanik dalam kesempatan itu
mengeluhkan, delapan rekomendasi penegakan HAM yang tak jua ditindaklanjuti.
Padahal masukan Komnas HAM yang meliputi penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu, konflik agraria, intoleransi dan radikalisme itu diserahkan 11
Desember 2018 atau bertepatan peringatan hari HAM internasional.
"Bukan belum dijalankan, tetapi belum ada dialog lagi. Kita berharap Presiden mengundang kita untuk mendiskusikan lebih jauh lagi," kata Taufan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Komnas HAM, kata Taufan, dalam rekomendasinya juga
mendorong Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Jaksa Agung M. Prasetyo menyidik
sejumlah kasus pelanggaran HAM yang mangkrak.
"Dari langkah-langkah penyidikan itulah kemudian penyidik bisa menentukan sikap: apakah akan ke pengadilan atau mungkin ada langkah-langkah lain. Tetapi, juga ada ide tentang langkah nonyudisial. Kalau kami, Komnas HAM, berpendapat langkah nonyudisial itu satu paket dengan langkah yudisial. Jadi, yudisial dan nonyudisial tidak dapat terpisahkan."
Di luar itu, lanjut Taufan, pemerintahan Jokowi mestinya terpikir untuk
melakukan langkah darurat merujuk pada pemenuhan keadilan korban.
"Kami berharap Pemerintah sebetulnya bisa menambahkan kegiatan-kegiatan atau program-program yang lebih dari sekadar pelayanan kesehatan kepada korban-korban pelanggaran HAM berat yang lalu maupun setelah tahun 2000."
Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik. (Foto: ANTARA/ Dede R)
Merespons masukan Komnas HAM, Wakil Ketua Tim Kampanye
Nasional Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani mengklaim calonnya tetap berkomitmen
menegakkan HAM. Salah satunya, kata dia, dengan memastikan penuntasan
kasus-kasus pelanggaran HAM.
Ia mengungkapkan, tersendatnya penyelesaian kasus
pelanggaran HAM masa lalu lantaran tarik-ulur dari kelompok tertentu.
"Dalam diskusi internal kami, penyelesaian kasus HAM berat masa lalu di mana warna politik dan muatan ekonomisnya besar itu pasti akan menarik berbagai reaksi (dalam bentuk sikap). Baik dari perorangan, partai politik, dan kelompok masyarakat sipil," terang Arsul.
Hal lain yang juga bertentangan dengan saran Komnas HAM,
Arsul mengungkapkan, Jokowi cenderung bakal mengutamakan penyelesaian melalui
jalur nonyudisial.
"Opsi selain penyelesaian secara yudisial, penyelesaian secara alternatif lainnya tidak menutup kemungkinan menjadi opsi pilihan di masa yang datang. Hanya saja bentuknya saya belum tahu," tambahnya.
Hal tersebut berlawanan dengan prinsip pemenuhan keadilan
Komnas HAM yang mengharuskan penyelesaian non-yudisial mesti beriringan dengan
proses yudisial.
Suasana diskusi bedah visi dan misi dua pasangan calon presiden dan
wakil presiden di Kantor Komnas HAM, Rabu (20/2/2019). (Foto: KBR/ Ryan S)
Sorotan terhadap visi-misi bidang HAM calon pasangan
nomor urut 02 muncul ketika Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional,
Habiburokhman mengutarakan ide mengisi posisi Jaksa Agung dengan orang di luar
Partai Politik. Menurutnya, sosok independen dan profesional bisa didapat
ketika mengambil ahli dari luar parpol.
Kata dia, latar belakang tersebut sangat menentukan
komitmen penanganan kasus pelanggaran HAM.
"Bagaimana institusi Kejaksaan Agung itu bisa benar-benar independen. Dengan cara apa? Jaksa Agung kita pastikan bukan orang dari partai politik. Jadi, kita harus tunjuk Jaksa Agung yang profesional," ujar Habiburokhman di Kantor Komnas HAM, Jakarta.
Pernyataan itu langsung ditangkis Direktur Amnesty
Internasional Indonesia, Usman Hamid. Menurutnya, independensi dan integritas
Jaksa Agung tak ditentukan muasalnya dari partai politik atau bukan.
"Kita pernah punya seorang Jaksa Agung dalam urusan pelanggaran HAM Berat berasal dari Parpol. Pertama, Baharuddin Lopa, ia punya afiliasi dengan PPP tapi yang dilakukannya di kasus Tanjung Priok diteruskannya ke penyidikan hingga membawa pelakunya ke pengadilan," ungkap Usman.
"Jangan lupa juga Marzuki Darusman dari Partai Golkar. Partai yang pernah berkuasa di orde baru di mana kejahatan kemanusiaan itu dipersoalkan. Tapi yang dilakukannya juga mengajukan berkas itu hingga ke pengadilan," lanjutnya.
Usman mengingatkan, kerja Jaksa Agung untuk membawa kasus
ke pengadilan kadangpula terhambat syarat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.
Beleid ini mengatur, pengadilan HAM Adhoc kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya
bisa dibentuk melalui keputusan presiden.
3 Tawaran
Terobosan Direktur Amnesty Indonesia
Karena itu ia menawarkan tiga terobosan penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pertama, dengan membentuk tim gabungan
yang terdiri atas penyelidik Komnas HAM, penyidik Kejaksaan Agung dan, penyidik
adhoc eksternal.
"Dalam keadaan tertentu, penyelidik Komnas HAM bisa diperintahkan oleh Jaksa Agung untuk penangkapan, penahanan, penyitaan barang bukti sampai dengan penggeledahan. Jadi, solusi itu bisa."
Selanjutnya, bisa dengan pembentukan tim ahli yang
independen dan berintegritas oleh Presiden. Tim ini, nantinya punya kewenangan
mengkaji bolak-baliknya berkas perkara antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Ini sekaligus jadi jalan tengah guna menentukan langkah selanjutnya.
Solusi ketiga, adalah keberanian dan ketegasan dari sosok
yang kelak mengisi posisi Jaksa Agung. Menurutnya, Jaksa Agung perlu punya
nyali untuk meningkatkan perkara yang sudah diselidiki Komnas HAM ke tingkat
penyidikan.
"Dengan begitu, Jaksa Agung bisa memanggil paksa seseorang, menahan, menggeledah, dan seterusnya. Apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup, Jaksa Agung menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3)," tegas Usman.
Ia menilai, solusi terakhir tersebut juga sebagai upaya
memberikan kepastian hukum kepada korban guna beroleh hak.
"Karena Jaksa Agung tidak pernah menerbitkan kepastian hukum misalnya berupa SP3 kalau memang itu tidak ada (bukti), korban juga tidak bisa menggunakan haknya untuk mengajukan praperadilan."Editor: Nurika Manan
0 komentar:
Posting Komentar