Selasa, 19 Februari 2019 15:50 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani, meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta organisasi peduli HAM untuk mempertimbangkan pendekatan nonyudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tentunya opsi yang dicari harus dikonstruksikan agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Opsi nonyudisial tersebut lantaran terdapat resistensi dari kekuatan politik apabila pemerintah mengedepankan pendekatan yudisial sehingga tidak mudah untuk ditempuh.
Apabila pemerintah berkeras penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan dengan jalur yudisial, dikhawatirkan terdapat gangguan pada jalannya pemerintahan.
Ia menegaskan keputusan pembagian itu harus diambil oleh tim penyidik, dalam kasus pelanggaran HAM berat adalah Jaksa Agung, tetapi selama ini masih belum dibentuk.
Melalui diskusi itu, Komnas HAM menyebut publik dapat menilai, memahami mau pun merasa kecewa dengan pandangan masing-masing kubu terkait HAM.
Sumber: Antara
"Kami ingin mendorong teman-teman yang ada di Komnas HAM, di elemen-elemen masyarakat sipil yang perhatian dengan HAM ini, juga untuk tidak berkutat hanya dengan pendekatan yudisial saja," kata Arsul Sani dalam diskusi membedah visi-misi paslon presiden-wakil presiden terkait isu HAM di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa.Menurut Arsul Sani, capres Joko Widodo mendorong selain opsi penyelesaian yudisial, juga skema penyelesaian non yudisial yang bentuknya dapat didiskusikan bersama.
Tentunya opsi yang dicari harus dikonstruksikan agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Opsi nonyudisial tersebut lantaran terdapat resistensi dari kekuatan politik apabila pemerintah mengedepankan pendekatan yudisial sehingga tidak mudah untuk ditempuh.
Apabila pemerintah berkeras penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan dengan jalur yudisial, dikhawatirkan terdapat gangguan pada jalannya pemerintahan.
"Coba bayangkan. Pemerintah ambil jalan ini terus kemudian program-program pemerintah lainnya dalam tanda kutip diganjal di DPR. Kan terjadi goncangan juga," tutur dia.Menanggapi dorongan TKN tersebut, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan opsi nonyudisial sudah lama dibicarakan, tetapi terdapat perdebatan dibuat terpisah terdapat kasus diselesaikan secara nonyudisial/yudisial atau satu paket.
"Kalau Komnas memang dengan aktivis HAM mengatakan itu harus satu paket, tetapi caranya bagaimana kalau satu paket. Kami dorong sebetulnya tim penyidik dulu," kata Taufan.Dengan pembentukan tim penyidik, dapat diputuskan apakah akan dibawa ke pengadilan untuk kasus tertentu yang cukup bukti, sementara yang tidak cukup bukti diajukan proses nonyudisial.
Ia menegaskan keputusan pembagian itu harus diambil oleh tim penyidik, dalam kasus pelanggaran HAM berat adalah Jaksa Agung, tetapi selama ini masih belum dibentuk.
Melalui diskusi itu, Komnas HAM menyebut publik dapat menilai, memahami mau pun merasa kecewa dengan pandangan masing-masing kubu terkait HAM.
"Silakan publik menilai kalau pilih 01 sudah memaparkan langkah dan hambatan apa masih lanjut dua periode, atau sebaliknya besok 02 apakah dengan jawaban mereka publik percaya mana. Melanjutkan 01 atau memilih 02," tutur Taufan.Diskusi selanjutnya membedah visi misi capres-cawapres terkait HAM dengan mengundang Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi akan digelar pada Rabu (20/2) di Kantor Komnas HAM.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
0 komentar:
Posting Komentar