10:07 AM, November 12, 2015
| Rika Theo
Kesaksian korban kekerasan seksual tragedi 1965. Tintin Rahayu dituduh sebagai anggota Gerwani
KEADILAN. Salah seorang korban kekerasan seksual tragedi
1965 berikan kesaksiannya selama 11 tahun penahanan. Screenshot dokumenter ‘Act
of Killing’
DEN HAAG, Belanda — Sore hari kedua, Rabu, 13 November,
Pengadilan Rakyat Internasional untuk 1965, ruangan sidang itu senyap. Yang
terdengar hanya suara Tintin Rahayu bicara, lalu terisak. Tak mengindahkan
pertanyaan jaksa apakah ingin jeda sejenak, perempuan itu meneruskan
kesaksiannya.
Saya ditelanjangi dan disuruh naik ke atas meja.
"Mengaku tidak kalau kamu melakukan gerakan politik?"
Tidak, saya tidak bisa mengaku.
Mereka mencecar tubuh saya dengan puntung rokok.
Bulu kemaluan dan rambut saya dibakar.
Saya hanya bisa berkata, ‘Yesus, Yesus…’
Mereka makin marah. ‘Kamu ateis, kenapa kamu sebut Yesus,
Yesus!’
Tintin adalah satu dari sekian banyak perempuan yang
ditangkap dengan tuduhan menjadi anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
setelah peristiwa 1965. Selama 11 tahun penahanan, ia harus bertahan menerima
kekerasan seksual berulang-ulang.
Ada banyak momen saat dia merasa hidupnya sudah berakhir.
"Berapa lama kamu ikut gerakan politik? Berapa orang di sana?"
Saya jawab, ‘Saya tidak ikut. Saya sudah hidup mapan
sebagai mahasiswi dan guru.’
Saya lalu ditendang dan ditelanjangi.
Saya disuruh menciumi kelamin mereka.
Setelah selesai mereka semua di situ, saya ditanya lagi
hal yang sama.
Saya dimaki kenapa diam saja.
Saya dipaksa telungkup, diinjak-injak, rambut saya
digunduli.
Setelah itu saya tidak ingat lagi. Semuanya gelap.
Lima puluh tahun berlalu, namun Tintin ingat dengan jelas
siapa penyebab kesengsaraannya.
"Yang menangkap saya CPM (Corps Polisi Militer) dan tentara. Yang menyiksa saya yang paling kejam. Boleh saya menyebut namanya?”
Hening sejenak. Sebelum Tintin melanjutkan, “Lukman
Sutrisna.”
Lukman adalah mendiang guru besar Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Tintin akhirnya mengetahui ia tidak sendirian setelah
dipindah ke Plantungan. Di tahanan khusus perempuan itu, ia bertemu banyak
perempuan yang bernasib serupa.
Pertanyaan mereka pun serupa: Mengapa mereka harus
mengalami perlakuan seperti itu?
Kesaksian Tintin dan para perempuan penyintas 1965 merupakan
kesaksian dari para perempuan yang bertahan hidup. Sementara, mereka yang mati
tidak bisa bersaksi.
"Suara-suara mereka ini tidak bisa kita kumpulkan
lagi," kata Saskia Wieringa, antropolog Universitas Amsterdam yang menjadi
saksi ahli untuk dakwaan Kekerasan Seksual di Pengadilan Rakyat Internasional,
atau International People’s Tribunal (IPT), 1965 ini.
Wieringa berkata, di Purwodadi, terdapat kuburan massal
terbesar yang ditemukan yang berisi 700 orang. Karena tanah longsor, beberapa
tubuh terkuak.
"Salah satunya adalah perempuan. Dia telah diperkosa menggunakan batang. Tulang panggul dan kemaluannya retak," tuturnya.
Kita tidak tahu ada berapa banyak lagi perempuan
Indonesia yang mati dan mengalami kekerasan seksual seperti ini, ujarnya.
Yang diketahui publik adalah bagaimana Orde Baru
menampilkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dalam film propaganda Pengkhianatan
G30S/PKI.
Di Lubang Buaya, lagu Gendjer-Gendjer diputar.
Perempuan-perempuan Gerwani menarikan Tari Harum Bunga sambil bugil. Mereka
ikut menyiksa para jenderal, memerkosa, bahkan memotong penis para jenderal.
"Perempuan Gerwani adalah pelacur, penjahat, hiperseks. Lonte. Propaganda ini menyebar luas di masyarakat," kata Wieringa.
Peneliti yang pernah melakukan riset tentang Gerwani itu
mengatakan bahwa cap Gerwani seperti ini begitu melekat. Sebagai akibatnya,
perempuan tertuduh Gerwani akan mengalami kekerasan seksual berat ketika mereka
ditahan.
Pada saat ditangkap, mereka diperiksa dengan
menyingkapkan semua pakaian dari pinggang ke bawah. Lalu mereka digerayangi
dengan alasan mencari cap Gerwani di tubuh mereka.
Selama periode operasi penggayangan PKI, kata Wieringa,
beragam kekerasan seksual terjadi. Mulai dari pemerkosaan vaginal, pemerkosaan
oral, pemerkosaan beramai-ramai, perbudakan seks, penganiayaan, penyetruman
pada puting dan kelamin, hingga mutilasi pada payudara.
Pemerkosaan massal berakar pada 1965
Sepanjang riset yang dilakukan Wieringa, penyintas
perempuan dulu banyak mengisahkan perkosaan terjadi, tapi bukan pada diri
mereka.
"Ada rasa malu dan bersalah. Ketika Mei 1998 terjadi pemerkosaan massal lagi di Jakarta, lalu di Timor Timur, ada penyintas yang akhirnya runtuh pertahanan dirinya. Dia bilang, itu aku. Itu persis seperti yang aku alami," tuturnya.
Wieringa melihat pola pemerkosaan massal ini berakar pada
peristiwa 1965 atau berasal dari mitos Lubang Buaya.
"Ini seperti sebuah pola militer. Menelanjangi, memerkosa secara massal, memerkosa dengan memasukkan benda atau botol ke dalam vagina. Mirip dengan yang terjadi setelah 1965. Saya tidak tahu kenapa ini terjadi dan terjadi lagi," katanya.
Propaganda terhadap Gerwani telah membuahkan penilaian
moral.
Padahal, imbuhnya, ada banyak gerakan Gerwani yang
menarik. Gerwani menjangkau perempuan miskin dan petani. Mereka memerangi
kekerasan rumah tangga, menuntut hak perempuan, menentang buruh anak dan kerja
paksa, serta anti poligami.
Jika stigma terhadap Gerwani terus hidup, ia melihat
kisah kekerasan seksual 1965 dapat terus berlanjut. Persis seperti api yang
tersimpan di bawah lahan gambut. —Rappler.com
Source: Rappler.Com
0 komentar:
Posting Komentar