Sabtu, 21 November 2015 - 07:10 WIB
PENGADILAN Rakyat Internasional atas Kasus 1965 yang dilangsungkan di Den Haag (10-13 November 2015) mengangkat tuntutan terhadap pertanggungjawaban pemerintah serta angkatan bersenjata di bawah Jenderal (Presiden) Suharto dan milisi yang berada di bawah kendalinya atas peristiwa yang disebut-sebut sebagai tindak kejahatan kemanusiaan pasca-Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Terselip di salah satu halaman pada kertas kerja dalam persidangan itu, tercantum poin peran kalangan psikolog Indonesia dalam pengklasifikasian para tahanan. Mereka yang diduga berafiliasi dengan PKI diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat loyalitas para tahanan itu pada komunisme.
Mereka yang termasuk dalam kategori A dianggap memiliki keterlibatan langsung dengan PKI dan menjalani eksekusi mati. Kategori B berisikan para tahanan yang dihukum hingga belasan tahun. Banyak dari mereka yang dikirim ke Pulau Buru dan dieksekusi di sana. Sedangkan para tahanan di kategori C dibebaskan setelah menjalani masa tahanan yang bervariasi sesuai kebijakan Kopkamtib pada masa itu.
Dokumen itu menyebut bahwa, dengan melakukan pengelompokan sedemikian rupa terhadap para tahanan, para psikolog pada intinya telah bekerja laksana hakim yang hasil kerjanya menjadi dasar bagi penindakan selanjutnya oleh rezim yang berkuasa masa itu. Kerja psikolog sebagaimana isi dokumen Pengadilan Rakyat Internasional tersebut pada dasarnya bukan kerja luar biasa.
Menilai manusia memang sudah sejak dahulu kala menjadi salah satu ranah kerja psikologi. Dengan menerapkan sekian banyak metode, kalangan psikologi menghasilkan penilaian yang berujung pada penetapan berbagai tipologi manusia, baik terkait kepribadian maupun aspek-aspek nonkepribadian semisal bakat dan minat.
Namun, sebagaimana selama ini dipahami masyarakat luas, penetapan tipologi psikologis tersebut diselenggarakan untuk tujuan-tujuan positif, yakni penyembuhan, pengembangan, pemeliharaan, dan aktivitas-aktivitas pemanusiaan lainnya.
Pada dimensi itulah, keterlibatan psikolog pasca-G30S sebagaimana isi dokumen di atas bisa dipandang kontroversial karena laksana menyajikan antitesis terhadap kiprah psikologi yang kadung diasosiasikan dengan kerja-kerja pemanusiaan dimaksud. Apalagi seandainya para psikolog yang dilibatkan dalam program pengklasifikasian pada 1965 tersebut sudah mengetahui sejak awal bahwa hasil kerja mereka akan dimanfaatkan untuk penghukuman bahkan pencabutan nyawa manusia, maka ada potensi gesekan etika yang seyogianya disikapi secara tepat oleh komunitas psikologi di Tanah Air.
Juga tak bisa diabaikan adalah perdebatan akademis yang berpeluang muncul, jika benar bahwa praktisi psikologi dalam sebutlah proyek pembersihan anasir-anasir PKI itu memilah para tahanan berdasarkan kesetiaan mereka pada ideologi komunis. Adanya kategori A-B-C menunjukkan bahwa kalangan psikologi telah membangun acuan dan definisi keilmuan yang kemudian dipedomani oleh penguasa untuk menyimpulkan bahwa semakin kuat ideologi komunis dianut oleh seorang individu, semakin ia berbahaya sehingga semakin layak untuk dianiaya atau bahkan dicabut nyawanya.
Ini persoalan serius karena, andai digunakan sebutan ”musuh” , maka musuh psikologi sesungguhnya adalah psikopatologi (gangguan psikologis). Bukan ideologi.
Itu dapat ditelusuri ke tahun 1918, yakni ketika cikal-bakal American Psychiatric Association (kala itu bernama American Medico-Psychological Association, AMPA) untuk pertama kalinya menyusun nomenklatur resmi dan terstandarisasi tentang kondisi-kondisi psikologis. Hasil kerja AMPA adalah sebuah publikasi berjudul Statistical Manual for the Use of Institutions for the Insane, yang di kemudian hari mengalami sekian kali pembaruan dan berganti nama menjadi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Dari masa ke masa, DSM tidak mencantumkan ideologi tak terkecuali komunisme sebagai unsur yang berkaitan dengan psikopatologi tertentu.
***
Atas dasar itu, kerja psikologi dalam pengklasifikasian manusia berdasarkan ideologi tertentu betapapun itu merupakan pesanan penguasa memunculkan dua tafsiran. Pertama, pada paruh kedua tahun enam puluhan itu, kerja sedemikian rupa merupakan langkah inovatif psikologi di Indonesia. Kerja tersebut sekaligus mencerminkan posisi penting disiplin psikologi di mata penguasa serta membuka ruang bagi psikologi untuk berkolaborasi dengan bidang-bidang strategis lainnya.
Kedua, karena tidak terpisahkan dari kampanye pembersihan yang digalakkan penguasa, psikologi terposisikan sebagai bidang yang terlibat intens dalam program dehumanisasi terhadap warga negara. Psikologi hampir dapat dipastikan sadar bahwa dirinya telah difungsikan sebagai instrumen pembenaran atau bahkan pengabsahan bagi penguasa untuk menjatuhkan perlakuan ekstrayudisial terhadap para tahanan.
Kendati demikian, membubuhkan rajah hitam lagi hina ke komunitas psikologi dalam kampanye pasca-G30S juga tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, dalam bermacam-macam situasi konflik besar, kiprah psikologi di zona yang katakanlah tidak prokehidupan merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.
Sewaktu Perang Dunia I, misalnya, psikologi diandalkan untuk keperluan seleksi calon personel militer. Psikologi juga dilibatkan dalam penanganan korban-korban perang yang mengalami penderitaan psikis.
Peran psikologi merehabilitasi korban perang tersebut semakin intens pada masa Perang Dunia II bahkan hingga periode perang-perang berikutnya. Pada Perang Dunia II itu pula, upaya negara untuk memahami individu-individu yang menjadi musuh juga mulai gencar melibatkan psikologi. Bahkan, psikologi ternyata juga berperan sebagai pendesain metode perang urat saraf antarnegara yang berseteru, di samping juga mengembangkan teknik interogasi pada berbagai peperangan mutakhir.
Jadi, apa yang bisa dikatakan tentang keberadaan psikologi dalam operasi besar-besaran pasca-G30S sebagaimana isi dokumen Pengadilan Rakyat Internasional? Jawabannya barangkali ditentukan oleh satu dari tiga kemungkinan isi hati psikologi kala itu. Pertama, komunitas psikologi terpaksa abai terhadap prinsip benar dan salah betapa pun mereka tahu tentang itu. Begitu kuatnya tekanan penguasa masa itu boleh jadi membuat kalangan psikologi tak berdaya untuk bersikap istikamah, yakni konsisten pada kerja pemanusiaan.
Kedua, psikologi tak ambil pusing pada bagaimana pengklasifikasian yang mereka susun dimanfaatkan oleh penguasa. Bagi mereka, kerja psikologi berakhir setelah seluruh tahanan berhasil dipetakan ke kategori A atau B atau C. Habis perkara. Setelah itu, bukan urusan psikologi.
Atau, ketiga, meskipun psikologi paham tentang implikasi dari klasifikasi yang mereka susun, kesediaan mereka untuk terlibat dalam kampanye pasca-G30S itu adalah dalam rangka mendompleng dan menikmati ke mana arah angin bertiup. Allahu alam. (hyk)
Sumber: SindoNews
0 komentar:
Posting Komentar