MARTIN SITOMPUL | Rabu 18 November 2015 WIB
Karena loyal kepada
Sukarno, pelajar Indonesia di luar negeri menjadi musuh Orde Baru. Di tengah
keterasingan mereka menjalani hidup di negeri orang.
Dewa Soeradjana. Foto: Aryono/Historia.
BEOGRAD, Juli 1964. Dewa Soeradjana memimpin delegasi Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) Yugoslavia menuju Moskow. Mereka hendak menghadiri
konferensi PPI se-Eropa. Sebelum berangkat mereka singgah ke kedutaan Indonesia
meminta pembekalan informasi.
“Anda
harus berhati-hati menjejakkan kaki di sayap kanan Moskow. Ini hal yang tidak
bisa dihindarkan, tidak lama lagi akan muncul perselisihan antara kubu Merah (PKI)
dan Hijau (TNI AD),” kata Letkol Yoga Sugama, atase militer Indonesia untuk
Yugoslavia.
Dewa tertegun. Prediksi Yoga Sugama terbukti. Setahun berselang,
Indonesia bergolak: peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Rezim Sukarno
tumbang, Orde Baru berdiri. Penguasa baru ini menumpas komunis sampai ke
akar-akarnya. Tak hanya kaum komunis, siapa saja pendukung Sukarno dibungkam.
PPI terkena imbas gejolak politik di negerinya. Dikenal sebagai penjunjung
Sukarno, mereka enggan kembali ke tanah air.
“Antusiasme saya hanya pada Bung Karno. Saya tidak pernah jadi
anggota partai. Kecuali PPI, kelompok mahasiswa yang pro Bung Karno,” kata Dewa
Soeradjana dalam diskusi novel sejarah berdasarkan kisahnya, Missing Historykarya Peer
Holm Jorgensen di Mizan Publica, Jakarta Selatan, 17 November 2015.
Pada 1961, Dewa Soeradjana menerima beasiswa perguruan tinggi ke
Eropa Timur. Saat itu, Presiden Sukarno gencar mengirim mahasiswa Indonesia ke
negara-negara sosialis. Dewa diterima di jurusan kimia Universitas Ljubilana,
Slovenia. Di sana dia menjadi aktivis PPI.
Dewa menerangkan PPI suatu perkumpulan sukarela, tapi wajib. Tiap
mahasiswa Indonesia yang tiba di luar negeri, praktis tergabung dalam anggota
PPI. “Kita sebagai PPI menjadi ‘Garda Sukarno’. Mendukung politik yang
dijalankan oleh Bung Karno, termasuk Nasakom.” ujar Dewa.
Pria kelahiran Bali, 77 tahun silam itu menuturkan banyak kisah.
Saat Dewa mewakili PPI dalam Konferensi Non Blok di Beograd, dia berjumpa
dengan tokoh-tokoh Indonesia: Soebandrio, Roeslan Abdulgani, dan Chaerul Saleh.
Namun, Presiden Sukarno yang menjadi pusat perhatiannya. Dewa menyaksikan
keakraban yang begitu hangat antara Sukarno dengan Josip Broz Tito, Perdana
Menteri Yugoslavia.
“Orang-orang di Eropa Timur bisa jadi tidak tahu dimana itu
Indonesia tapi tahu siapa Sukarno,” tutur Dewa sambil berkelakar.
Ketika menyelesaikan studinya pada Oktober 1965, Dewa urung pulang
ke Indonesia. Dia mendapat kabar, adiknya menjadi incaran Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), front aksi mahasiswa yang anti-Sukarno.
“Kami yang telah selesai kuliah dipaksa pulang. Jika pulang kami
akan diamankan oleh (aparat) Soeharto. Jika tidak pulang, paspor kami dicabut,”
kata Dewa.
Selama dua tahun, Dewa dan rekannya terkatung-katung. Beasiswa
dari Indonesia telah dicabut. Mereka menghidupi diri sebagai orang pelarian
(eksil) di negara asing. Karena berpendidikan, mereka tak kesulitan mendapat
pekerjaan.
Pada 1967, tercapai kompromi. Para eksil dibiarkan hidup di luar
negeri, dengan menanggung biaya hidup sendiri. Atas kompromi itu, pemerintah
Indonesia menuntut para eksil agar tidak berpolitik dan tidak menentang
pemerintahan Soeharto, serta wajib mempromosikan nama baik Indonesia.
Meski dibiarkan hidup, para eksil tetap tidak tenang.
Gerak-geriknya diawasi agar tak bersentuhan dengan politik. Setiap tahun mereka
harus melaporkan diri ke kantor kedutaan guna memperpanjang izin tinggal. Di
kantor kedutaan, mereka diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Dicecar
pertanyaan oleh Minister
Conselor dan sering kali diinterogasi oleh atase militer.
Menurut Dewa, dia salah satu eksil yang beruntung. Pada 1971, saat
hendak melapor ke kedutaan, dia bertemu dengan Letjen Soepardjo Rustam yang
menjabat duta besar Yugoslavia. Baginya, Roestam adalah sosok yang simpatik dan
pelindung.
Perkenalannya dengan Roestam membawa Dewa ke Konferensi Wina tahun
1972. Sebuah konferensi yang dipimpin oleh Jenderal Sumitro, Wakil
Pangkopkamtib, orang kedua setelah Soeharto. Konferensi itu merupakan koreksi
yang dilakukan Sumitro atas kepemimpinan Soeharto yang dianggap telah
melenceng. Sebuah langkah oposisi menurut Dewa, tapi dia tak yakin itu akan
mengarah ke upaya kudeta. Dalam konferensi itu hadir pula Ide Anak Agung Gde
Agung, duta besar Indonesia untuk Austria.
Dari koneksi itulah, Dewa mendapatkan screening letter. Dengan
itu, dia mendapat proteksi selama menjadi eksil dan sempat pulang ke Indonesia
pada 1978.
Mengaitkan apa yang dialaminya dengan rekonsiliasi, Dewa
mendukungnya tapi tak pula berharap banyak. Yang terpenting baginya adalah
saling memaafkan dan menanamkan kesadaran bagi semua pihak agar peristiwa yang
dialaminya tak terjadi lagi di kemudian hari.
0 komentar:
Posting Komentar