Jumat, 13/11/2015 17:20 WIB
Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda. (Dok. Flickr International People's Tribunal Media)
Jakarta, CNN Indonesia --
Gelaran pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal
(IPT) 1965 dinilai menjadi semacam ajang bentuk ketidakpuasan terhadap
pemerintah Indonesia yang menutup mata pada sejarah kelam bangsa.
Upaya pencarian kebenaran di balik peristiwa 1965 kerap menemui jalan buntu. Tindak lanjut hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait peristiwa 1965 selama ini pun terkesan diulur-ulur oleh penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung.
Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi yang menghadiri IPT 1965 sebagai saksi ahli, menyatakan Komnas HAM mengawali penyelidikan pro justicia pelanggaran HAM 1965 sejak 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Sejak itu Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dalam penyidikan sebelum dibawa ke tingkat peradilan.
Namun hasil laporan penyelidikan kerap dimentahkan oleh Kejaksaan. Laporan itu diberi catatan dan dikembalikan disertai hasil koreksi. Pengembalian laporan itu dinilai Komnas HAM wajar, dan lembaga itu memenuhi permintaan penyidik dengan menambahkan koreksi catatan.
Dalam ringkasan dan kesimpulan akhir penyelidikan Komnas HAM, ujar
Dianto, sesungguhnya disebutkan telah diperoleh cukup bukti permulaan
untuk dilakukan penyidikan untuk sampai pada peradilan, bahwa terjadi
pelangggaran HAM berat atas kemanusiaan di Indonesia pada periode
1965-1966.
Dalam simpulan itu juga disebutkan bahwa pada peristiwa 1965-66 patut diduga terjadi adanya pelanggaran HAM berat terhadap kemanusiaan, pembunuhan, kekerasan seks, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, dan perampasan kemerdekaan.
"Dari sejumlah testimoni yang kita dengar sejak hari pertama (di IPT 1965), saya bisa katakan ada koherensi yang kuat dengan hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Dianto di hadapan Majelis Hakim IPT 1965.
Hasil penyelidikan pro justicia atas peristiwa 1965 saat ini nasibnya masih menggantung di tangan penyidik Kejaksaan Agung.
"Setiap kali kami serahkan, selalu mendapat catatan untuk dimintai koreksi. Terakhir laporan itu kami serahkan tahun lalu dan hingga kini kami belum tahu kelanjutannya seperti apa," ujar Dianto.
Ia menganggap negara perlu mengusut tuntas kebenaran di balik tragedi
1965 agar masyarakat tidak melulu menyaksikan pemerintah memelihara
impunitas dari ekses peristiwa 1965. Terlebih stigma negatif Partai
Komunis Indonesia dan komunisme masih dihidupkan untuk menakuti warga,
tertutama terkait perampasan tanah.
"Hantu PKI masih dihidupkan hingga hari ini untuk merepresi para warga," ujar Dianto.
Salah satu rekomendasi Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan, penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan dengan cara rekonsiliasi. Kini untuk menuju rekonsiliasi, kata Dianto, harus dimulai dengan mengungkap kebenaran.
"Bagaimana mau berdamai kalau tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah," ujar Dianto.
Apalagi, kata Dianto, Indonesia sampai sekarang belum memiliki lagi undang-undang yang mengatur tentang rekonsiliasi. Dengan demikian Indonesia belum punya dasar hukum untuk melakukan rekonsiliasi. (agk)
Upaya pencarian kebenaran di balik peristiwa 1965 kerap menemui jalan buntu. Tindak lanjut hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait peristiwa 1965 selama ini pun terkesan diulur-ulur oleh penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung.
Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi yang menghadiri IPT 1965 sebagai saksi ahli, menyatakan Komnas HAM mengawali penyelidikan pro justicia pelanggaran HAM 1965 sejak 1 Juni 2008 hingga 30 April 2012. Sejak itu Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dalam penyidikan sebelum dibawa ke tingkat peradilan.
Namun hasil laporan penyelidikan kerap dimentahkan oleh Kejaksaan. Laporan itu diberi catatan dan dikembalikan disertai hasil koreksi. Pengembalian laporan itu dinilai Komnas HAM wajar, dan lembaga itu memenuhi permintaan penyidik dengan menambahkan koreksi catatan.
|
Dalam simpulan itu juga disebutkan bahwa pada peristiwa 1965-66 patut diduga terjadi adanya pelanggaran HAM berat terhadap kemanusiaan, pembunuhan, kekerasan seks, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, dan perampasan kemerdekaan.
"Dari sejumlah testimoni yang kita dengar sejak hari pertama (di IPT 1965), saya bisa katakan ada koherensi yang kuat dengan hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Dianto di hadapan Majelis Hakim IPT 1965.
Hasil penyelidikan pro justicia atas peristiwa 1965 saat ini nasibnya masih menggantung di tangan penyidik Kejaksaan Agung.
"Setiap kali kami serahkan, selalu mendapat catatan untuk dimintai koreksi. Terakhir laporan itu kami serahkan tahun lalu dan hingga kini kami belum tahu kelanjutannya seperti apa," ujar Dianto.
|
"Hantu PKI masih dihidupkan hingga hari ini untuk merepresi para warga," ujar Dianto.
Salah satu rekomendasi Komnas HAM dalam laporannya menyebutkan, penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan dengan cara rekonsiliasi. Kini untuk menuju rekonsiliasi, kata Dianto, harus dimulai dengan mengungkap kebenaran.
"Bagaimana mau berdamai kalau tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah," ujar Dianto.
Apalagi, kata Dianto, Indonesia sampai sekarang belum memiliki lagi undang-undang yang mengatur tentang rekonsiliasi. Dengan demikian Indonesia belum punya dasar hukum untuk melakukan rekonsiliasi. (agk)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151113172057-20-91527/testimoni-saksi-1965-koheren-dengan-penyelidikan-komnas-ham/
0 komentar:
Posting Komentar