Rohmatin Bonasir, Wartawan BBC Indonesia, Den Haag | 11 November 2015
Sidang digelar di Nieuwe Kerk, gereja yang sudah dialihfungsikan di kota Den Haag.
Sejumlah saksi yang hadir di Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda, tentang peristiwa 1965 menyatakan tidak khawatir mendapatkan reaksi negatif di Indonesia.
Mereka membeberkan kesaksian dalam sidang rakyat selama empat hari sebagai upaya untuk menyelesaikan peristiwa yang diperkirakan menewaskan ratusaan ribu hingga satu juta orang.
“Kalau saya harus mati, tahun 1965 pun seharusnya saya sudah mati. Kenapa saya harus takut? Saya dilahirkan di dunia untuk benar. Seperti misalnya harus seperti Munir, saya tidak takut,” tegas Martono, 82, di sela-sela sidang di Den Haag, hari Rabu (11/11).
Di hadapan panel hakim, pria asal Solo ini menceritakan penangkapannya oleh orang-orang yang dikatakannya berpakaian ala ninja tanpa alasan dan tanpa surat penangkapan pula.
Itu terjadi pada 10 November 1965. Setelah dibebaskan dari penjara, ia kemudian antara lain ditugaskan untuk menjadi sopir pengantar mayat.
Penyintas lain, Bedjo Untung, 67, berkata ia tidak gentar dan sudah menduga akan timbul polemik dengan digelarnya Pengadilan Rakyat Internasional (IPT).
Martono yakin keadilan akan terwujud meskipun tidak dalam waktu dekat.
“Kalau sistem pengadilan di dalam negeri tidak jalan, apa boleh buat saya harus bawa ke saluran internasional dan inilah saatnya,” kata ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 itu.
Pengadilan Rakyat Internasional mengenai perlakuan terhadap orang-orang yang diduga simpatisan dan anggota PKI setelah peristiwa 30 September 1965 digelar di Belanda untuk menghasilkan rekomendasi agar pemerintah menyelesaikan dugaan pelanggaran.
Sejauh ini di Indonesia kasus itu sendiri belum dituntaskan.
Rekomendasi
Namun reaksi negatif muncul dari berbagai pihak, salah satu yang terbaru Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Luhut Panjaitan menyebut mereka yang berada di balik penyelenggaran sidang adalah orang-orang Indonesia yang tidak berpikiran seperti orang Indonesia lagi.
Ketua jaksa, Todung Muya Lubis, mengaku sudah memberitahukan kepada Menko Polkam tentang tujuan pengadilan rakyat ini.
"Kalau misalnya pemerintah khawatir seharusnya pemerintah bisa hadir di IPT ini dan melihat apa yang dibahas di sini," jelas Todung kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, di Den Haag.
Bedjo Untung menuturkan pemberian pengertian kepada pihak-pihak yang menentang pembahasan tragedi 1965 perlu dilakukan.
"Kedua, saya sudah mengatakan kepada Pak Luhut bahwa ini bukan untuk menghukum individu. Ini juga bukan pengadilan pidana. Jadi persepsi bahwa ini adalah pengadilan dalam arti hukum, itu keliru," jelasnya.
"Ini hanya pengadilan dalam rangka mencari jalan keluar persoalan tahun 1965. Nah putusan yang keluar dari sini lebih sebagai rekomendasi."
Sidang digelar selama empat hari dan dijadwalkan akan mengeluarkan putusan atas sembilan dakwaan pada Jumat (13/11) mendatang.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar