Rohmatin Bonasir, Wartawan BBC Indonesia, Den Haag | 13 November 2015
Para pengunjung mengikuti proses sidang mulai dari pagi hingga petang.
Setidaknya 200 orang per hari menghadiri Pengadilan Rakyat Internasional tentang peristiwa 1965-1966 yang diadakan di Den Haag, Belanda, mulai Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11).
Mereka, dari berbagai lapisan masyarakat, dengan khidmat menyimak proses sidang mulai dari pagi hingga petang, terbagi dalam empat sesi. Tuntutan jaksa, pertanyaan-pertanyaan hakim dan kesaksian penyintas mereka simak dengan seksama dan sebagian kesaksian bahkan tampak menimbulkan empati.
“Generasi saya mendapat versi yang berbeda dari apa yang sebetulnya terjadi. Sejarah itu kebenarannya harus diungkapkan dan saya di sini untuk melihat apa yang sebetulnya terjadi,” kata Wijayanto, seorang mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Universitas Leiden di sela-sela sidang, Kamis (12/11).
“Saya menemukan temuan-temuan yang selama ini berbeda dengan versi yang baku bahwa mereka ternyata banyak yang tidak tahu apa-apa ketika ditangkap, ketika masuk ke penjara,” tambahnya.
Wijayanto terdorong untuk mengamati sidang karena alasan pribadi dan akademik.
'Memori Orde Baru'
Seorang mahasiswa lain, Grace Leksana, mengikuti sidang untuk memperkaya pengetahuannya tentang memori kolektif peristiwa 1965 yang ia dalami di Institut Sejarah Sosial Indonesia di Leiden.
“Kekerasan itu banyak terjadi hampir di seluruh Indonesia. Mau tidak mau, orang-orang pasti sedikit-banyak tahu tentang kekerasan, tentang pembunuhan massal, tetapi kita juga punya memori yang dikonstruksikan oleh pemerintah Orde Baru tentang betapa PKI itu kejam dan bahwa kekerasan yang mereka alami sudah sewajarnya dan sepantasnya,” jelasnya.
Menurut Ron Andu, ia biasanya datang ke acara-acara yang ada kaitannya dengan Indonesia.
Seorang ibu rumah tangga, Roespinoedji, duduk di bangku ruang sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 yang digelar di sebuah gedung bekas gereja tua.
“Saya ingin tahu saja. Ketika terjadi peristiwa itu saya masih kecil. Saya ingin tahu siapa yang disidang dan rupanya banyak juga peminatnya di sini.”
Tak ada perwakilan Indonesia
Adapun Ron Andu, orang Indonesia yang menetap di Belanda sejak 1974, berkata ia tahu tentang adanya sidang rakyat dari kawan-kawannya yang khusus datang dari Berlin dan menginap di rumahnya.
“Orang-orang Indonesia di sini kegiatan politiknya tidak begitu tinggi. Mereka kan kawin campur, tinggal di sini karena menikah dengan pribumi di sini, jadi mereka mengurus anak dan punya kegiatan masing-masing,” kata Ron Andu ketika ditanya mengapa tidak lebih banyak komunitas Indonesia datang ke sidang, padahal di Den Haag terdapat komunitas Indonesia yang besar.
Dikatakan oleh Roespinoedji bahwa ia tahu ada IPT 1965 dari seorang kerabat.
Sebelumnya beredar kabar bahwa para mahasiswa Indonesia diimbau oleh KBRI di Den Haag untuk tidak menghadiri IPT 1965, tetapi kabar tersebut sudah dibantah oleh KBRI.
Akan tetapi, seorang mahasiswa yang tidak mau namanya disebut, menuturkan memang masih ada ketakutan sejarah di antara sebagian mahasiswa. Dituturkannya, beberapa di antara mereka khawatir paspor mereka bisa dicabut, sebagaimana yang dialami oleh para mahasiswa setelah pecah pergolakan politik tahun 1965.
Pengunjung harus mendaftarkan diri lewat internet atau daftar langsung di bagian penerima tamu.
Yang absen di sini adalah perwakilan resmi utusan pemerintah Indonesia, meskipun menurut penyelenggara sidang, undangan sudah dilayangkan lewat KBRI di Den Haag. Pemerintah berpendirian bahwa sudah ada beberapa langkah yang ditempuh pemerintah terkait dengan rekonsiliasi.
Di setiap awal sesi sidang, hakim ketua, Zak Yacoob, tak lupa meminta panitera untuk menanyakan apakah ada perwakilan pemerintah yang hadir, dan setiap sesi pula tak ada yang berdiri mewakili pemerintah Indonesia.
Memang ada Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi dan Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin yang dikatakan datang sebagai pemantau tetapi kemudian dihadirkan sebagai saksi menyangkut hasil investigasi kedua lembaga itu.
Sumber: BBC Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar