Febriana Firdaus | 1:01 AM,
November 11, 2015
Seorang tahanan harus bekerja sejak dini hingga malam
hari, tanpa makanan yang cukup, dan perawatan medis yang minim. Belum lagi
ancaman tembakan mati jika melarikan diri
IPT 1965. Suasana usai
pidato Todung Mulya Lubis sebagai jaksa dalam International People's Tribunal
tragedi 1965 di Den Haag. Seorang saksi yang juga tahanan politik disalami oleh
peserta sidang, Selasa, 10 November 2015. Foto oleh Rika Theo/Rappler
JAKARTA, Indonesia—Basuki Wibowo adalah seorang mahasiswa
yang bersemangat mengikuti perkumpulan bernama Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI) di kampusnya.
Menurutnya, CGMI adalah organisasi yang didirikan oleh
bekas-bekas laskar pejuang di Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta. Kemudian sebuah
konferensi menyatukan mereka menjadi organisasi gerakan mahasiswa Indonesia
yang disingkat CGMI tersebut.
Apakah CGMI bagian dari Partai Komunis Indonesia?
“Bukan bagian dari Partai Komunis Indonesia,” katanya saat menjadi saksi dalam sidang Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda yang ditayangkan oleh situs IPT 1965.
“CGMI kiri karena yang dimaksudkan dengan kiri adalah yang cinta demokrasi,” katanya.
Pada 20 Oktober (ia tidak menyebutkan tahunnya), ia
bersama 126 anggota kongres CGMI, Pemuda Rakyat, dan organisasi pemuda lainnya
dilucuti oleh aparat.
Ia diperiksa, tanpa tahu kesalahannya. Yang ia tahu, ia
dan rombongannya masuk golongan B. Artinya diduga terlibat dan terkait dengan
Partai Komunis Indonesia tapi belum ditemukan buktinya.
Bersama ratusan pemuda lainnya itu, ia kemudian
dijebloskan ke Penjara Wirogunan Yogyakarta.
“Setelah saya di Wirogunan, saya dibawa ke penjara Nusakambangan dengan memakai kereta api yang dipaku semua,” katanya.
Perjalanan kereta menuju Nusa Kambangan memakan waktu
kurang lebih 6 jam. Mereka berangkat sejak pukul 04:00. Selama perjalanan, ia
dikawal oleh pasukan militer.
“Setelah di Nusakambangan, saya dipindahkan ke Kamp Ambarawa, sebenarnya kamp militer. Setelah di Ambarawa, kami dibawa kembali ke Nusakambangan. Di Nusakambangan, kami langsung dibawa ke Pulau Buru,” katanya. Ia tinggal di sana hingga sembilan tahun.
Awal hidup baru di
Pulau Buru
Di Pulau Buru, ada 22 unit. Satu unit berisi 500 orang.
Menurut kesaksian ahli sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi
Warman Adam, penghuni Pulau Buru lebih dari 10 ribu.
Seorang sumbernya menyebut 11.600 tahanan politik
golongan B menghuni pulau yang luasnya tiga kali Pulau Bali tersebut.
Mereka dikirim dalam tiga periode. Sebanyak 2.500 orang
pada 1968, 5.000 orang pada 1969, dan 2.500 pada 1970. Tak semuanya laki-laki,
kurang dari 500 orang adalah tahanan perempuan.
Menurut Asvi, sampai di Pulau Buru tahanan ini langsung
dilepas. Mereka tidak dibekali dengan peralatan untuk bertahan hidup, berladang
atau bertani.
Tahanan mencari cara sendiri bagaimana berladang dan
bertani, serta membuat barak dengan tangan kosong.
Selama 15 hari pertama, kata Asvi, tahanan politik
diwajibkan membuat barak pada siang hari dan mengangkut logistik pada malam
hari ke unit lainnya, yang jaraknya beberapa kilometer.
Logistik makanan diangkut dari Markas Komando Logistik di
Pelabuhan Namlea.
“Mereka harus bangun jam 4 pagi, mereka harus apel, dihitung jumlahnya berapa, sampai jam 6 sore baru istirahat. Selama itu tidak dibayar,” katanya.
Dari tangan kosong
hingga upah Rp 4.000
Basuki membenarkan bahwa ia dan rekan-rekannya harus
bertani dengan tangan kosong. “Kami sendiri membuat saluran irigasi dari kami
sendiri,” katanya.
Selama melakukan kewajibannya bertani, Basuki dan
teman-temannya kerap mendapat siksaan dari aparat.
“Yang saya ingat betul ketika kami sedang menanam padi, itu kan menanam bibit padi, ketika bibit padi kami cabut, itu saudara tentara bilang kami sabotase. Banyak salah cara, kami dipukul,” katanya.
“Ketika kami diminta untuk membuat kebun bunga, kebetulan seorang teman ahli bunga. Petani bunga itu membuat gundukan, seperti biasa gundukan itu ya seperti itu, tetapi yang dituduhkan kepada teman ini, dia membuat sebuah monumen untuk 7 orang jenderal yang dibunuh,” katanya.
Pekerjaan itu dilakukan cuma-cuma setiap harinya.
“Sebagian kecil hasil usaha kami dijual oleh Komandan Unit. Tapi kami mendapatkan sebagian,” katanya.
Misalnya, menurut Asvi, saat memotong kayu, komandan unit
membeli kayu tahanan politik Rp 4.000 per kubik. Kemudian kayu dijual lagi
dengan harga Rp 20.000 ke luar.
Dari uang itu pun mereka tak bisa makan cukup. “Kalau makanan bulan pertama, makanan diberi pemerintah nasi dan lauk-pauknya yang ala kadarnya. Tapi kemudian, kami hidup sendiri sebagai petani. Dan lauk-pauknya yang ala kadarnya,” kata Basuki.
Tapi tak jarang ia mendapat lauk tambahan baru. “Ada tikus, ada burung, ada lagi ular yang terpanjang yang kami tangkap itu sekitar 6-9 meter,” katanya.
Islam dan Kristen
atau dua-duanya
Untuk urusan ibadah, penghuni Pulau Buru diwajibkan untuk
memeluk salah satu agama. Tapi dalam praktiknya, kata Basuki, agama adalah
masalah perut.
“Hari Jumat salat Jumat. Hari Minggu ikut acara di gereja. Karena ada makanan,” katanya.
Namun pasukan penjaga cukup gigih mendesak para tahanan
politik untuk beragama. Sampai mereka diminta membangun tempat ibadah.
“Suatu malam kami diperintahkan untuk membuat dua gereja dalam semalam. Ini tidak seribu malam, tapi satu malam,” katanya.
Bagaimana menyelesaikan pembangunan gereja dalam satu
malam? “Cara kami melakukannya ya seperti halnya kami melakukan pekerjaan. Ada
yang menggergaji, ada yang memotong saja, ada yang membuat lubang. Itu ya buat
kami (gerejanya),” katanya.
Bangunan kilat gereja itu tak sempurna, karena terbuat
dari papan-papan kayu dan peralatan seadanya.
Meregang nyawa
Selain makanan yang tak cukup, kesehatan dan nyawa para
tahanan politik pun terancam.
Jika tahanan politik sakit, mereka harus mengantri.
Mengapa? Karena tenaga medis yang sangat terbatas.
“Sebetulnya secara resmi ada program kesehatan di Pulau Buru. Tapi dengan jumlah dokter yang sangat terbatas. Tentunya tidak cukup kalau dokternya lima orang bisa mengobati 10.000 orang yang ada di sana,” kata Asvi.
Ancaman lainnya adalah tembak di tempat. Itu berlaku bagi
mereka yang mencoba melarikan diri.
Asvi menuturkan bahwa ada seorang tahanan yang hendak
melarikan diri, tapi gagal. Bukan hanya tahanan tersebut yang disiksa, tetapi
juga rekannya.
“Kupingnya dimasukkan air panas dan jangkrik,” katanya.
Ada juga yang menjadi korban tembakan mati di tempat.
Pada 1974 misalnya terjadi sebuah konflik ketika salah seorang komandan
pengawal di sebuah unit terbunuh.
“Yang terjadi seluruh unit dipanggil, 14 orang yang dicurigai ditembak mati, lainnya disiksa,” kata Asvi.
Tidak terjadi upaya perlawanan di kamp konsentrasi ini.
“Mereka tidak diperbolehkan berhubungan dengan penduduk pribumi setempat. Mereka tidak diperbolehkan berhubungan dengan orang-orang Bugis,” katanya.
“Mereka tidak punya kesempatan melarikan diri. Mereka tidak diberi kesempatan tahu apakah mereka akan dibebaskan. Kalau mereka bebas tahun 1979, itu karena desakan masyarakat internasional.” katanya lagi.
“Mereka betul-betul terisolasi.” —Laporan livestreaming IPT 1965/Rappler.com
Source: Rappler.Com
0 komentar:
Posting Komentar