Luh De Suriyani | 1 November 2015
Bagi sebagian
elite, isu kekerasan 1965 masih dianggap momok.
Namun, ketika masih
banyak elite penguasa takut terhadap sejarah kelam pembantaian 1965-1966, warga
sebuah desa di Bali memiliki caranya sendiri untuk mendialogkan secara damai.
Kamis pekan lalu,
ratusan warga sudah menyemut di lokasi pembongkaran jenazah korban peristiwa
1965 sejak pukul 7 pagi. Sebuah mesin pengeruk (ekskavator) mulai bekerja
mencari sisa tulang yang terkubur 50 tahun lalu.
Orang tua dan
anak-anak berpakaian adat Bali antusias melihat proses ini. Mereka berharap
segera mendapatkan tulang belulang jenazah saudara, tetangga, dan keluarga yang
menjadi korban pembantaian massal 1965.
Mereka disebut
sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh penguasa saat itu. Di
bawah komando penguasa, warga sampai pelosok desa saling bunuh antar-teman
bahkan keluarga sendiri karena satu komando.
Demikian juga yang
terjadi di sebuah desa berjarak 3 jam berkendara dari Kota Denpasar ini.
Beberapa tahun
terakhir makin banyak peneliti mengungkapkan bahwa pembantaian warga pada tahun
1965-1966 ini peristiwa genosida terbesar di tanah air. Pembantaian telah
mengorbankan ribuan warga tak berdosa. Di Bali sendiri diperkirakan ada 80 ribu
korban.
Menandai 50 tahun
peristiwa pembunuhan massal tahun ini, presiden Joko Widodo juga didorong minta
maaf pada keluarga korban sebagai upaya rekonsiliasi. Toh, Jokowi tak juga
meminta maaf kepada korban.
Sangat berbeda
dengan apa yang terjadi di Desa Batuagung, Kabupaten Jembrana. Warga memulai
upaya rekonsiliasi peristiwa pembunuhan massal pada 1965 secara swadaya. Daerah
ini disebut salah satu wilayah dengan korban pembantaian terbanyak saat terjadi
kegaduhan politik saat itu.
Beberapa bulan ini
warga gotong royong menyiapkan upacara Pitra Yadnya, upacara agama untuk orang
yang sudah meninggal. Mereka membagi tanggung jawab sesuai keperluan seperti
pengumpulan dana, pembuatan sesajen, dan lainnya.
Ada 9 jenazah yang
diidentifikasi secara kolektif sebagai korban peristiwa 1965. Jenazah ini masih
terkubur di sebuah area persis depan sekolah dasar dan TK desa ini.
Selama proses
pengerukan warga terlihat ngobrol satu sama lain. Menerka-nerka bagaimana
peristiwanya yang memaksa pembantaian antar warga desa.
Peristiwa Buruk
Penggalian kuburan para korban peristiwa 1965 bermula dari rasa tak nyaman di
kalangan warga. Selama puluhan tahun warga dihantui berbagai peristiwa buruk
karena ada kumpulan jenazah ditimbun di area wilayah dusun Masean yang bukan
kuburan desa.
Sejumlah warga
merasa tak nyaman karena sudah rahasia umum diketahui ada jenazah di bawah
tanah di jalan raya yang mereka lewati.
“Banyak kejadian aneh di desa. Warga sepakat harus diangkat dan diupacarai sebagaimana mestinya,” kata Wakil Perbekel atau Wakil Kepala Desa Ida Bagus Suliksa.
Peristiwa-peristiwa
buruk pun dikaitkan dengan peristiwa ini. Misalnya masih banyak yang melihat
arwah-arwah gentayangan, sering ada siswa kerasukan atau kerauhan karena lokasi
berdampingan dengan sekolah.
Ada juga
kasus-kasus bunuh diri dan kecelakaan yang dianggap sebagai salah pati atau
meninggal tak wajar di Bali.
Suliksa mengatakan
pembongkaran kuburan korban 65 ini juga adalah wujud penghormatan bagi mereka
yang harus jadi korban dalam suasana politik yang memanas saat itu. Sebagai
umat Hindu Suliksa meyakini yang meninggal harus dapat upacara, agar arwah
mereka tenang.
“Belum tentu juga mereka bersalah,” katanya sambil siaga memandu proses evakuasi ini lewat pengeras suara.
Suliksa mengaku
kesepakatan bersama diambil setelah mengadakan serangkaian sangkepan atau rapat
bersama di kelompok kecil dan besar warga desa.
Di area ini
diyakini ada lebih dari 9 orang terkubur. Namun beberapa jenazah sudah diangkat
oleh keluarganya masing-masing sejak tahun 1980-an. Salah satu saksi mata
pembantaian ini, Ida Bagus Ketut Krenda dikerubungi warga saat proses
pembongkaran dengan eksavator ini.
Dengan terbata
dalam bahasa Bali, ia mengaku masih ingat banyak orang diikat, dipukul, lalu
ditebas dengan senjata tajam ketika itu.
“Saya tidak tahu apa-apa. Banyak yang tidak mengerti dan disebut PKI,” ujarnya.
Sampai sore
pengerukan masih berlangsung sampai jalan raya yang diaspal akhirnya ikut
dibongkar untuk menemukan lebih banyak tulang belulang. Selanjutnya akan
dibakar bersamaan, kemudian abunya diupacarai sebelum dilarung ke laut.
Beberapa keluarga
korban sudah pernah melakukan ritual yang sama namun tanpa jenazah. Hal ini
bisa dilakukan jika jenazah memang tak ditemukan, dan hanya memakai simbol.
Saat ini warga
terlihat lebih bersuka cita karena akhirnya ada benda secara fisik yang
diyakini keluarga mereka dari sebelumnya telah hilang atau dihilangkan paksa.
Barangkali yang lebih berarti lagi, upaya saling menyadari kejadian buruk di
masa lalu dengan saling bahu membahu melaksanakan pembongkaran dan ritual ini
bersama.
Ironisnya di sisi
lain, masih ada elite penguasa yang ingin melanggengkan stigma dengan melarang
segala bentuk diskusi peristiwa 1965. Contohnya pembatalan sejumlah event
terkait ini di Ubud Writers and Readers Festival pekan ini. [b]
Versi lain
tulisan ini juga dimuat Rappler.
Sumber: BaleBengong
0 komentar:
Posting Komentar