Dhianita Kusuma Pertiwi*
April 27, 2017
Foto Pak Suwardi (kakek saya) yang sedang mengolah sagu di Pulau Buru sekitar tahun 1977 (Sumber: Koleksi Pribadi)
Tahun ini, tepat sepuluh tahun kematian kakek saya. Ia termasuk 12,000
tahanan politik Orde Baru yang dikirim ke Pulau Buru tanpa pengadilan dengan
tuduhan menjadi bagian dari paham dan organisasi berbasis komunisme.
Seperti beberapa tapol yang dibuang ke Pulau Buru, kakek saya tidak
tergabung secara struktural di Partai Komunis Indonesia (PKI), Lekra, atau
organisasi lain yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ia seorang pegawai
Kotapraja. Kakek saya tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas apa dakwaan
yang diberikan padanya.
Berpuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000 saat saya baru masuk
sekolah dasar, ia mulai bercerita pada saya tentang keadaan barak, bagaimana ia
berkawan dengan Pramoedya Ananta Toer, juga pesannya untuk terus membaca.
Sampai sekarang saya selalu teringat kisahnya, yang ia ceritakan dengan raut
sedih bercampur marah, dan sesekali terdengar kebanggaan di suaranya.
Sudah saatnya untuk berbagi apa yang telah terjadi padanya juga keluarga
saya pada masyarakat luas, agar tidak hanya menjadi cerita sebelum tidur kakek
pada cucunya. Saya ingin membagi cerita yang tersimpan dalam ingatan kakek dan
keluarga saya.
Saya juga ingin membuka tabir kebohongan yang memberi label “jahanam” pada
PKI, Gerwani, BTI dan kelompok lain yang dituduh berkhianat atas negara.
Menulis menjadi bagian
dari perlawanan untuk menyingkap tabir propaganda Orde Baru. Tentu saja
bukanlah kebohongan baru yang perlu disampaikan, namun kenyataan yang
sebenarnya terjadi untuk membuka mata dan hati yang selama ini dininabobokkan.
Minggu-minggu itu kota Malang sedang panas-panasnya. Pukul sepuluh pagi
matahari sudah di atas kepala dan sinarnya membakar kulit. Media sosial
dipenuhi keluhan, doa, bahkan umpatan tentang cuaca yang menyelimuti kota.
Namun terik matahari kala itu kalah dari api semangat dalam diri saya untuk
mencari sumber informasi untuk sebuah novel historical fiction tentang
hidup kakek saya.
Di akhir 2015 yang panas itu, saya pergi ke beberapa museum di kota Malang
seperti Museum Brawijaya dan Museum Tempo Doeloe untuk mengumpulkan bahan karya
tulis saya.
Sebelum tragedi 1965 keluarga besar saya seperti keluarga besar
lainnya. Namun sejak siaran radio dipenuhi oleh siaran kabar berita mengenai
G30S, keadaan menjadi mencekam. Pada suatu siang di 1966, kelompok Banser
menyatroni rumah kami, membawa pergi kakek saya tanpa izin, pamit, atau alasan
yang jelas. Ia ditahan dari penjara satu ke penjara lain, hingga akhirnya
dibuang ke Pulau Buru untuk dididik menjadi lebih nasionalis, agamis, dan patriotis.
Begitulah propaganda yang digadang-gadangkan Soeharto dan antek-anteknya.
Padahal, apa bukti kakek saya tidak nasionalis? Ia seorang pegawai
Kotapraja, melayani masyarakat sebagai pegawai negeri.
Siapa yang bilang kakek
saya tidak beragama? Ia memeluk satu agama resmi dan tercantum jelas di kartu
identitasnya.
Dan apakah mereka bisa jelaskan seperti apa tindakan yang tidak
patriotis itu? Dia bekerja untuk negara. Ia mengagumi sosok pelopor Marhaenisme
dan menerapkan paham tersebut dalam berinteraksi dengan sejawat dan keluarganya
yang banyak bekerja sebagai petani.
Ketika kakek ditahan, nenek saya, ibu dan kedua saudarinya tak ada yang
tahu sampai kapan mereka harus bertahan menyambung hidup tanpa kehadiran kakek.
Surat yang kakek kirim satu-satunya cara bertukar kabar, itupun setelah isinya
diperika oleh petugas untuk menghindari adanya usaha untuk kabur atau
menceritakan kehidupan tapol yang serba berkesusahan di sana. Di balik surat
ala kadarnya itu tersimpan doa yang tidak pernah putus, walau para tapol sering
disiksa oleh cambuk ikan pari oleh petugas.
Kartu pos yang dikirim dari keluarga di Malang kepada Pak Suwadi dengan nomor foto A-325 di Unit III Wanayasa, Pulau Buru (nama asli dan alamat pengirim saya buramkan)
(Sumber: Koleksi pribadi penulis)
Sementara, pemerintah Orde Baru menjejalkan propaganda
anti komunis-sosialis pada masyarakat Indonesia yang tak mengetahui dengan
jelas siapa yang berperan dalam Gerakan 30 September yang menewaskan
jenderal-jenderal Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965 itu.
Propaganda itu menuduh Partai Komunis Indonesia dan
simpatisannya mencoba menumbangkan pemerintahan yang berkuasa dengan membunuh
para jenderal. PKI dan simpatisannya dicap sebagai sebagai pengkhianat negara
dan Pancasila.
Setelah kira-kira dua belas tahun menjadi tahanan
politik Orde Baru sejak pertama ditangkap lalu dijebloskan ke penjara kota dan
kemudian dibuang ke Pulau Buru, kakek saya pulang dengan mulut yang masih
dibungkam oleh ancaman. Tidak ada kemerdekaan untuknya, bahkan setelah
dipulangkan dari tempat pemanfaatan. Ada tanda‘ET’, singkatan dari ‘Eks-Tapol’
di kartu identitasnya. Ini mencegah keluarga saya untuk bergerak secara leluasa
di negara kami sendiri.
Sampai ajal menjemput kakek saya, tidak banyak
pengalamannya sebagai tapol yang ia bagi secara luas dalam bentuk tulisan. Ia
hanya bercerita secara lisan ditemani rokok tingwe dan kopi hitam. Hampir
setiap malam ada cerita baru darinya, menguak kenyataan yang tersembunyi di balik
tabir propaganda yang juga ditanam ke anak-anak bangsa melalui buku pelajaran
sejarah.
Negara yang bermartabat tidak
seharusnya menyiksa, memenjarakan, membuang, menganiaya, bahkan menghabisi
nyawa warganya sendiri dengan tuduhan yang tidak pernah dibuktikan di majelis
peradilan. Negara yang bermartabat tidak pula seharusnya menyebarkan kebohongan
di atas kuburan korban penganiayaan yang mati di tangan saudaranya sendiri.
Entah berapa ribu masyarakat Indonesia yang menjadi
algojo pemerintah Orde Baru. Setengah abad sejak pembantaian massal 1965–1966,
mereka tetap merasa yang paling nasionalis.
Karena itu saya tidak peduli dengan teriknya matahari
kota Malang. Saya berjalan mencari informasi dan narasumber untuk melengkapi
materi novel yang berangkat dari pengalaman kakek dan keluarga saya.
Dukungan teman terbaik yang setia menumbuhkan harapan
yang sering pupus. Ada saatnya saya takut berbagi tentang kehidupan keluarga
saya yang dicap kiri, bahkan merasa sendirian. Di lingkungan terdekat, tidak
banyak yang seumur saya yang mau menilik sejarah. Hanya untuk mencari tahu apa
yang terjadi pada generasi sebelum kita saja sudah enggan, apalagi meneruskan
perjuangan. Dengan kurangnya pemahaman sejarah, banyak yang mudah dipengaruhi
propaganda.
Keadaan itu di sisi lain menjadi penguat semangat saya
untuk segera melahirkan buku yang saya tulis sebagai persembahan untuk keluarga
juga negara. Pemuda seharusnya jangan mau dimanjakan oleh keadaan yang sekarang
seakan serba aman.
Keluarga saya tidak lagi diancam secara langsung dari
pihak manapun terkait dengan pengalaman kakek saya. Namun, tidak berarti saya
sebagai keturunan saksi sejarah kejahatan Orde Baru bisa diam saja, larut dalam
gaya hidup modern yang menjauhkan dari pelajaran di masa sebelumnya.
Dalam novel saya, saya sengaja tidak menyampaikan
banyak teori untuk mencari siapa yang salah dan benar. Tujuan penulisan buku
perdana saya itu jelas, yakni berbagi tentang apa yang terjadi di balik kelambu
propaganda pada kakek saya. Melalui tulisan, saya bisa bercerita pada
lingkungan terdekat, yakni rekan-rekan pembaca terutama mahasiswa dan pelajar
yang sebelumnya hanya memiliki sumber pengetahuan buatan ahli propaganda Orde
Baru.
Sedikit demi sedikit informasi
tambahan pun saya peroleh, melalui kunjungan ke museum-museum, memeriksa
benda-benda bersejarah yang dipajang, membaca sumber terkait tambahan yakni
buku-buku memoar yang ditulis oleh eks-tapol, dan mewawancarai beberapa orang yang
memiliki pengalaman yang berhubungan dengan hal-hal yang terjadi pasca tragedi
1965 seperti anggota keluarga saya sendiri dan juga beberapa orang yang
memiliki pengetahuan tentang sejarah di Malang.
Walaupun tidak bisa dibilang lengkap dan memuaskan, namun
informasi yang berhasil saya dapatkan selama minggu-minggu bercuaca panas itu
seperti oase bagi saya.
Kesulitan yang saya hadapi adalah kurangnya
memorialisasi penyelewengan kekuasaan rezim Orde baru paska-G30S di kota
Malang. Dua museum sejarah yang ada tidak menjadikan tragedi 1965 paska-G30S
sebagai satu kejadian penting yang perlu dijadikan bahan pameran dan diskusi
pembelajaran tersendiri.
Ini menyakitkan, ternyata sampai sekarang penderitaan
keluarga saya dan keluarga puluhan ribu tapol lainnya yang harus berjuang
memikul beban cap keluarga kiri selama bertahun-tahun masih belum menjadi suatu
hal yang perlu diangkat dan dibahas.
Dalam proses mencari informasi tambahan dari pelaku
atau saksi sejarah yang berkaitan dengan propaganda Orde Baru saya mendapati
para narasumber yang saya temui, seperti seorang mantan sipir penjara Lowokwaru
yang bekerja di masa-masa tersebut, kurang terbuka untuk memberikan informasi
yang saya butuhkan. Namun untuk hal ini saya bisa memahami, karena tidak semua
orang bisa dengan mudah membagi pengalaman yang cukup pahit di masa lalu dengan
orang lain.
Selama tiga bulan saya berjalan dari rumah ke rumah,
museum satu ke museum lainnya, sampai akhirnya saya anggap karya ini selesai.
Namun perjalanan saya untuk membagi kisah ini pada pembaca di luar sana belum
usai karena berhubungan dengan kepenerbitan juga bukanlah hal yang mudah.
Setelah menemui beberapa tantangan untuk menerbitkan buku saya seperti
penolakan dari redaksi penerbit dengan alasan isu yang diangkat terlalu beresiko
dan juga tidak terlalu menguntungkan secara komersial, saya memutuskan untuk
menerbitkan buku ini secara independen.
Tidak penting bagaimana buku saya terbit, apakah
melalui penerbit independen atau yang sudah punya nama, tujuan utama penulisan
adalah menyampaikan rahasia kepahitan yang selama ini disembunyikan oleh
keluarga saya karena tertekan oleh propaganda pemerintah.
Saya ingin kisah keluarga yang saya tuangkan dalam
novel berjudul Buku Harian Keluarga Kiri tidak hanya menjadi
cerita penutup malam atau renungan di sudut kamar saya, namun bisa menjadi
kekuatan untuk merobek tirai kebohongan yang masih digantung hingga saat ini.
Penulis Buku Harian Keluarga Kiri dan Pasar Malam untuk Brojo.
https://medium.com/ingat-65/menulis-kisah-hidup-kakek-menyingkap-tirai-propaganda-f6564891f88b
0 komentar:
Posting Komentar