Oct 8th, 2016
Selasa sore (4/10/16), MAP Corner-Klub MKP, sebuah kelompok diskusi di Jurusan Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, mengadakan diskusi dengan tema “Ekonomi Politik Indonesia Paska Peristiwa Gestok 1965” di Lobby MAP UGM. Dengan pemantik diskusi Aktivis YPKP 65 Yogyakarta dan Budiawan (Dosen Kajian Budaya dan Media Paskasarjana UGM).
Sebelum diskusi diselenggarakan, muncul berbagai ancaman dari kelompok reaksioner. Panitia diskusi ditelepon oleh orang tidak dikenal yang mengancam akan membawa massa jika diskusi tetap dilaksanakan. Kemudian muncul broadcast message dari kelompok yang menamakan dirinya Elemen Merah Putih yang isinya mengindikasikan akan adanya gangguan terhadap jalannya diskusi.
Meskipun menghadapi ancaman tersebut, kawan-kawan penyelenggara diskusi dari MAP Corner-Klub MKP tetap teguh untuk menyelenggarakan diskusi. Begitu juga dengan para pembicara yang sepakat untuk tetap melanjutkan diskusi. Hal ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah tegas untuk mempertahankan ruang demokrasi, terutama kebebasan akademik di kampus.
Terlebih, dukungan dari elemen pro demokrasi juga terbilang cukup signifikan. Seruan bersama untuk bersolidaritas, memobilisasi massa dan menyiapkan perlawanan muncul dari Panitia Konferensi Demokrasi 2016, KPO PRP, Lingkar Studi Sosialis, MAP Corner, PPR, PEMBEBASAN, Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi, Kaukus Perda Gepeng, KPP, Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina, Komite Perjuangan Agraria dan Solidaritas Perjuangan Demokrasi. Adanya seruan seruan solidaritas dari kelompok pro demokrasi pada hari itu, menampakkan hasil dengan jumlah masa solidaritas yang lebih besar dari kelompok reaksioner. Hal ini membuktikan jika elemen pro demokrasi bersifat solid maka ruang demokrasi dapat dipertahankan.
Sekitar pukul 15:00 kelompok reaksioner berdatangan, mereka berasal dari Paksi Katon, Gerakan Bela Negara serta Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/ Polri Indonesia (FKPPI). Beberapa diantaranya menemui panitia penyelenggara dan menyampaikan bahwa mereka akan bergabung diskusi dan mengikuti alur diskusi. Mereka juga mengancam kalau diskusi sudah berlebihan, mereka akan membubarkan diskusi. Mereka juga mengklaim memiliki 200 orang massa.
Menjelang pukul 16:00 diskusi dibuka dengan pemaparan Pak Badri dari YPKP. Pak Badri menceritakan pengalamannya ditangkap saat kelas 2 SMA dan kemudian dipenjara selama bertahun-tahun akibat dituduh PKI. Sementara itu sejak awal Budiawan menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan diskusi ini. Lebih lanjut, Budiawan memaparkan bahwa pasca ‘65, analisis kelas menjadi sangat minim digunakan dalam membaca situasi ekonomi politik di Indonesia. Teori sosial Marxis yang menitikberatkan pada persoalan basis material dan basis ekonomi baru dapat muncul kembali di era 1980-an. Terlebih dengan munculnya UU Penanaman Modal Asing, semakin membawa corak pembangunan ekonomi politik menuju ke arah neoliberal.
Ditengah diskusi Burhan “Kapak”[1] dengan berseragam “Gerakan Bela Negara” masuk ke dalam ruangan. Bersamaan dengannya masuk pula Kasatintelkam Polresta Yogyakarta, Kompol Wahyu Dwi Nugroho. Keduanya juga pernah terlihat bersama dalam pembubaran acara pemutaran film “Pulau Buru” yang diselenggarakan oleh AJI.
Ketika sesi diskusi dari peserta, tanggapan pertama muncul dari Suhud, Ketua Paksi Katon. Mereka mengatakan merasa tersinggung karena tidak pernah dilibatkan menjadi pembicara. Mereka mengajak kerjasama untuk menegakan keadilan, tetapi malah menitikberatkan pada kesalahan PKI atas peristiwa ’65, justru bukan pada rezim orde baru yang melakukan pembantaian tahun 1965.
Berikutnya dari KPO PRP membuka argumentasi dengan memekikan “Salam Demokrasi!”. Yang kemudian ditanggapi oleh peserta diskusi dengan pekik “salam demokrasi!”. Menurut peserta dari KPO PRP sudah jelas bahwa Komnas HAM menyatakan bahwa PKI adalah korban dan negara terlibat dalam pembantaian tahun 1965. Namun sayangnya sebelum selesai menyampaikan, argumentasi tersebut kemudian dipotong oleh moderator dan Budiawan.
Burhan “Kampak” juga mendapatkan kesempatan mengutarakan pendapatnya. Dia mencecar YPKP mengenai tujuannya, siapa pendirinya dan kenapa mereka dijadikan pembicara.
Sayangnya dalam diskusi tersebut moderator tidak bersikap adil. Beberapa kali argumentasi dari peserta pro demokrasi dipotong sebelum sempat menyelesaikan argumennya, termasuk ketika muncul pertanyaan seputar dampak peristiwa ’65 terhadap gerakan perempuan. Sementara argumentasi dari kelompok reaksioner yang justru tidak berhubungan dengan konteks diskusi dan memojokan YPKP didiamkan. Itu ditambah dengan berulang kali menekankan bahwa ini adalah diskusi akademis dan ilmiah. Sehingga justru menimbulkan kesan bahwa argumentasi di luar kelompok reaksioner yang dipotong oleh moderator itu tidak ilmiah. Justru peserta diskusi yang inisiatif berteriak meminta moderator untuk dapat memoderasi pernyataan Burhan “Kampak” yang keluar dari konteks diskusi dan terus memojokan Pak Badri dan YPKP.
Kelompok-kelompok reaksioner yang datang di diskusi MAP sama dengan yang digunakan oleh rezim untuk memukul gerakan pro demokrasi. Mereka biasa melakukan berbagai penyerangan terhadap ruang demokrasi, baik berupa diskusi, pemutaran film atau aksi. Memang untuk kali ini salah satu kelompok reaksioner yaitu FUI (Forum Umat Islam) tidak terlihat memobilisasi massanya. Kejadian terakhir yang melibatkan kelompok reaksioner yang sama, dengan perlindungan polisi, digunakan untuk mengepung dan menyerang asrama Papua di Kamasan. Mereka juga merupakan kelompok reaksioner yang dimobilisasi dalam sidang kriminalisasi Obby Kogoya.
Kali ini kelompok reaksioner merubah taktiknya. Mereka tidak membubarkan acara diskusi di MAP. Namun justru mengikuti untuk mengintimidasi di dalam diskusi tersebut dan menyebarkan wacana yang menyalahkan PKI untuk membenarkan pembantaian ‘65. Hal ini berbeda dengan taktik yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya pertama kali akan muncul berbagai ancaman kepada panitia. Hal itu kemudian diikuti dengan kedatangan polisi yang akan bermain peran seolah-olah sebagai orang baik yang ingin menghindari bentrokan. Sambil polisi akan menyarankan agar acara dibatalkan ketimbang terjadi keributan. Ketika itu semua tidak berhasil dan acara tetap dilaksanakan maka kelompok reaksioner itu akan datang dan dengan perlindungan dari polisi dan tentara mereka kemudian membubarkan acara tersebut.
Walau diskusi di MAP tetap berjalan dan kelompok reaksioner ciut nyalinya namun kita tidak bisa melupakan bagaimana mereka mengepung dan menyerang asrama Papua. Bagaimana mereka menyebarkan rasisme terhadap kawan-kawan Papua. Maupun rentetan bagaimana diskusi-diskusi di tempat lain masih terus mengalami pembubaran.
Keberhasilan ini memang kemenangan bagi mereka yang teguh memperjuangkan demokrasi seutuh-utuhnya. Namun ini bukanlah sebuah kemenangan akhir. Kita tidak bisa mengkotak-kotakkan ruang dan tuntutan-tuntutan demokrasi. Kita harus terus membangun saling solidaritas dalam perjuangan melawan sauvinisme, rasisme, homofobia dan komunistofobia. Tidak akan ada demokrasi seutuh-utuhnya jika hanya dinikmati oleh sebagian rakyat tertindas. (pj, imk)
[1] Dia adalah salah satu pelaku pembantaian terhadap mereka yang dituduh PKI di Yogyakarta dan sekitarnya. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150922_indonesia_lapsus_penolakanmasyarakat
http://www.arahjuang.com/2016/10/08/kelompok-reaksioner-gagal-membubarkan-diskusi-65/
0 komentar:
Posting Komentar