Penting untuk meluruskan sejarah. Mengoreksi dan memverifikasi tulisan yang pada masa Orde Baru dimonopoli rezim berkuasa. (Suara Indonesia via Wikimedia Commons)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalang Gerakan 30 September adalah Partai Komunis Indonesia. Itu cerita Orde Baru. Pada masa itu, tulisan-tulisan yang boleh diterbitkan ialah versi pemerintah. Tapi apakah versi itu benar? Itu harus dipertanyakan.
Pada masa Orde Baru, masyarakat dicuci otak. Hanya boleh percaya pada satu versi. Saya khawatir cerita versi lama dilebih-lebihkan. Ditulis hanya berdasarkan wawancara dengan satu orang, kemudian dianggap sebagai kebenaran.
Ini misalnya terjadi pada salah satu cerita di buku Ayat-Ayat yang Disembelih. Buku itu berkisah tentang seseorang yang tinggal di pesantren.
Orang itu bercerita, suatu hari ada perempuan Gerwani yang datang ke pesantren. Perempuan itu diterima dan ternyata meracun sang kiai. Si perempuan kemudian pindah ke pesantren laindan melakukan hal yang sama hingga tujuh pesantren ia kunjungi.
Itu cerita yang dramatis, penuh rekayasa, dan tidak masuk akal. Seharusnya dijelaskan peristiwa itu terjadi di pesantren mana saja, dan kenapa bisa berhasil dilakukan berulang kali.
Cerita yang melebih-lebihan, bahkan cenderung menyesatkan, harus dihilangkan –meski saya tak membantah ada kekerasan yang dilakukan orang-orang PKI.
Dalam hal ini, ada urgensi untuk satu upaya pelurusan sejarah. Untuk membetulkan, mengoreksi, dan memverifikasi tulisan sejarah yang pada masa Orde Baru dimonopoli oleh rezim berkuasa.
Apalagi perkembangan informasi dan kebebasan di Indonesia saat ini membuat studi apapun sudah terbuka. Jadi mari luruskan sejarah. Jangan lagi hanya menulis dengan gaya dan versi Orde Baru.
Tentu, jika muncul informasi baru, masyarakat semula akan kaget. Karena ternyata ada informasi atau pengetahuan lain tentang suatu masalah.
Tapi saya yakin, kekagetan itu cuma sementara.
Masyarakat sekarang sudah cerdas dan terbuka, tidak bisa lagi didikte. Mereka tidak bisa lagi dipaksa untuk menerima pendapat bahwa hanya satu versi yang benar.
Sebagian masyarakat sudah bisa menilai sendiri, versi mana yang lebih tepat.
Jangan menerima informasi tentang sejarah dengan mentah-mentah. Lakukan cek dan ricek seperti dalam dunia jurnalistik. Tidak bisa mengandalkan satu sumber. Bandingkan dengan sumber lain yang ada, lalu nilai mana yang lebih masuk akal.
Metode semacam ini akan membuat pengetahuan masyarakat bertambah dan tidak direcoki dengan cerita-cerita yang menebarkan kebencian dan kekejaman, dengan berdasarkan satu sumber saja.
Fransisca Fanggidaej
Bahaya dari sejarah yang tak benar adalah jatuhnya korban-korban tak bersalah. Saya ingat, ketika menjadi visiting fellow di KITLV Leiden tahun 2005, saya sempat bertemu dengan para eksil –orang-orang Indonesia yang terhalang pulang sejak tahun 1965 karena paspor mereka dicabut.
Salah seorang yang menarik perhatian saya, perempuan berusia 80 tahun ketika itu, sudah agak bungkuk namun berbicara lantang dan menyuarakan pikirannya dengan jernih.
Ia memperkenalkan diri sebagai Fransisca Fanggidaej.
Sosok Fransisca dimuat dalam buku Memoar Perempuan Revolusioner (2006) yang ditulis Hersri Setiawan.
Fransisca dilahirkan di Timor tahun 1925. Ibunya berasal dari Timor sedangkan ayahnya dari Pulau Rote, bekerja pada dinas pekerjaan umum Belanda yang mengurus bendungan dan irigasi.
Masa kecil Fransisca dihabiskan di Jawa Timur. Di dekat rumah keluarganya di Surabaya, terdapat rumah Gerrit Siwabessi, tokoh Ambon yang rumahnya menjadi tempat berkumpul para pemuda Maluku.
Dari Siwabessy dan Sam Malessy, Fransisca memperoleh pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai kebangsaan.
Sisca, panggilan Fransisca, aktif pada gerakan pemuda Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), dan ikut dalam delegasi Surabaya pada Kongres Pemuda Indonesia yang pertama di Yogyakarta, November 1945.
Ketika itu karena terjadi pertempuran di Surabaya, mereka cepat-cepat kembali pulang untuk bergabung dengan para pejuang.
Tahun 1947, Sisca dikirim ke beberapa negara Eropa dan India untuk mewakili Indonesia dalam pertemuan internasional pemuda.
Saat itu barang bawaannya hanya satu koper penuh berisi brosur, buku, dan bahan propanda perjuangan. Pakaian selain yang melekat di badan, hanya ada dua potong sekadar ganti di perjalanan.
Berangkat dari lapangan terbang Maguwo Yogyakarta 20 Juli 1947 hanya bermodal selembar kertas surat keterangan yang diberlakukan semacam paspor terbuat dari kertas merang ditandatangani Perdana Menteri Amir Sjarifudin.
Di Kalkuta India ia mengikuti kongres pemuda internasional yang diikuti seribuan pemuda sedunia. Pertemuan itu diadakan bukan di hotel, melainkan di lapangan terbuka dengan tenda-tenda semacam jambore Pramuka.
Pesindo kemudian pecah dan beralih menjadi Pemuda Rakyat. Sisca mengundurkan diri dari organisasi itu. Kemudian tahun 1957 diangkat sebagai anggota DPRGR/MPRS mewakili golongan wartawan.
Tahun 1965 ia sering diajak Presiden menyertai rombongan kenegaraan ke luar negeri, termasuk menuju Aljazair tempat Kongres Asia Afrika kedua direncanakan namun batal.
Fransisca dari Aljazair melanjutkan perjalanan untuk mengikuti konferensi pemuda di Chile. Di sinilah ia mendengar G30S meletus dan Fransisca khawatir untuk pulang karena ia termasuk pendukung Presiden Soekarno.
Pada masa Orde Baru, masyarakat dicuci otak. Hanya boleh percaya pada satu versi. Saya khawatir cerita versi lama dilebih-lebihkan. Ditulis hanya berdasarkan wawancara dengan satu orang, kemudian dianggap sebagai kebenaran.
Ini misalnya terjadi pada salah satu cerita di buku Ayat-Ayat yang Disembelih. Buku itu berkisah tentang seseorang yang tinggal di pesantren.
Orang itu bercerita, suatu hari ada perempuan Gerwani yang datang ke pesantren. Perempuan itu diterima dan ternyata meracun sang kiai. Si perempuan kemudian pindah ke pesantren laindan melakukan hal yang sama hingga tujuh pesantren ia kunjungi.
Itu cerita yang dramatis, penuh rekayasa, dan tidak masuk akal. Seharusnya dijelaskan peristiwa itu terjadi di pesantren mana saja, dan kenapa bisa berhasil dilakukan berulang kali.
Cerita yang melebih-lebihan, bahkan cenderung menyesatkan, harus dihilangkan –meski saya tak membantah ada kekerasan yang dilakukan orang-orang PKI.
Dalam hal ini, ada urgensi untuk satu upaya pelurusan sejarah. Untuk membetulkan, mengoreksi, dan memverifikasi tulisan sejarah yang pada masa Orde Baru dimonopoli oleh rezim berkuasa.
Apalagi perkembangan informasi dan kebebasan di Indonesia saat ini membuat studi apapun sudah terbuka. Jadi mari luruskan sejarah. Jangan lagi hanya menulis dengan gaya dan versi Orde Baru.
Tentu, jika muncul informasi baru, masyarakat semula akan kaget. Karena ternyata ada informasi atau pengetahuan lain tentang suatu masalah.
Tapi saya yakin, kekagetan itu cuma sementara.
Masyarakat sekarang sudah cerdas dan terbuka, tidak bisa lagi didikte. Mereka tidak bisa lagi dipaksa untuk menerima pendapat bahwa hanya satu versi yang benar.
Sebagian masyarakat sudah bisa menilai sendiri, versi mana yang lebih tepat.
Jangan menerima informasi tentang sejarah dengan mentah-mentah. Lakukan cek dan ricek seperti dalam dunia jurnalistik. Tidak bisa mengandalkan satu sumber. Bandingkan dengan sumber lain yang ada, lalu nilai mana yang lebih masuk akal.
Metode semacam ini akan membuat pengetahuan masyarakat bertambah dan tidak direcoki dengan cerita-cerita yang menebarkan kebencian dan kekejaman, dengan berdasarkan satu sumber saja.
Fransisca Fanggidaej
Bahaya dari sejarah yang tak benar adalah jatuhnya korban-korban tak bersalah. Saya ingat, ketika menjadi visiting fellow di KITLV Leiden tahun 2005, saya sempat bertemu dengan para eksil –orang-orang Indonesia yang terhalang pulang sejak tahun 1965 karena paspor mereka dicabut.
Salah seorang yang menarik perhatian saya, perempuan berusia 80 tahun ketika itu, sudah agak bungkuk namun berbicara lantang dan menyuarakan pikirannya dengan jernih.
Ia memperkenalkan diri sebagai Fransisca Fanggidaej.
Sosok Fransisca dimuat dalam buku Memoar Perempuan Revolusioner (2006) yang ditulis Hersri Setiawan.
Fransisca dilahirkan di Timor tahun 1925. Ibunya berasal dari Timor sedangkan ayahnya dari Pulau Rote, bekerja pada dinas pekerjaan umum Belanda yang mengurus bendungan dan irigasi.
Masa kecil Fransisca dihabiskan di Jawa Timur. Di dekat rumah keluarganya di Surabaya, terdapat rumah Gerrit Siwabessi, tokoh Ambon yang rumahnya menjadi tempat berkumpul para pemuda Maluku.
Dari Siwabessy dan Sam Malessy, Fransisca memperoleh pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai kebangsaan.
Sisca, panggilan Fransisca, aktif pada gerakan pemuda Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), dan ikut dalam delegasi Surabaya pada Kongres Pemuda Indonesia yang pertama di Yogyakarta, November 1945.
Ketika itu karena terjadi pertempuran di Surabaya, mereka cepat-cepat kembali pulang untuk bergabung dengan para pejuang.
Tahun 1947, Sisca dikirim ke beberapa negara Eropa dan India untuk mewakili Indonesia dalam pertemuan internasional pemuda.
Saat itu barang bawaannya hanya satu koper penuh berisi brosur, buku, dan bahan propanda perjuangan. Pakaian selain yang melekat di badan, hanya ada dua potong sekadar ganti di perjalanan.
Berangkat dari lapangan terbang Maguwo Yogyakarta 20 Juli 1947 hanya bermodal selembar kertas surat keterangan yang diberlakukan semacam paspor terbuat dari kertas merang ditandatangani Perdana Menteri Amir Sjarifudin.
Di Kalkuta India ia mengikuti kongres pemuda internasional yang diikuti seribuan pemuda sedunia. Pertemuan itu diadakan bukan di hotel, melainkan di lapangan terbuka dengan tenda-tenda semacam jambore Pramuka.
Pesindo kemudian pecah dan beralih menjadi Pemuda Rakyat. Sisca mengundurkan diri dari organisasi itu. Kemudian tahun 1957 diangkat sebagai anggota DPRGR/MPRS mewakili golongan wartawan.
Tahun 1965 ia sering diajak Presiden menyertai rombongan kenegaraan ke luar negeri, termasuk menuju Aljazair tempat Kongres Asia Afrika kedua direncanakan namun batal.
Fransisca dari Aljazair melanjutkan perjalanan untuk mengikuti konferensi pemuda di Chile. Di sinilah ia mendengar G30S meletus dan Fransisca khawatir untuk pulang karena ia termasuk pendukung Presiden Soekarno.
Tahun 1965-1985, Fransisca berada di Beijing. Ia tidak berani menelepon keluarganya di Indonesia karena khawatir membahayakan keselamatan anak-anaknya.
Anaknya tujuh orang, yang tertua baru berusia 13 tahun, sementara suaminya juga ikut ditangkap. Anak-anak terpaksa dititip kepada keluarga dan kenalan baik mereka.
Tahun 1985 Fransisca meminta suaka. Saat inilah ia baru berani menelepon anak-anaknya.
Dapat dibayangkan betapa beratnya perasaan anak-anak menerima telepon tersebut. Rasa kangen, haru, sedih, mungkin bercampur kesal juga karena tidak ada berita sama sekali.
Di negeri Belanda, Sisca masih aktif dalam Komite Indonesia-Belanda dan yayasan memajukan studi Asia.
Salah satu anak Sisca melahirkan lelaki yang kemudian menjadi aktor terkemuka Indonesia, Reza Rahadian. Sisca meninggal di Belanda November 2013.
Beberapa waktu sebelumnya, Reza dan ibunya pernah bertemu Sisca di Belanda. Saat itu, terjadi percakapan mengharukan antara Reza dan Oma.
"Saya bertanya, mengapa oma memilih berpisah dengan anak dan cucu? Dia bilang: seandainya oma bisa pulang ke Indonesia, tentu oma akan kembali. Apapun akan oma lakukan untuk pulang. Tapi kalau informasi tentang ini tersebar, oma khawatir keselamatan kalian terancam.”
Itu jawaban Sisca atas pernyataan Reza.
“Mendengar jawaban itu, saya hanya bisa menangis, memeluk oma erat-erat. Oma juga meneteskan air mata," ujar Reza dengan sedih.
Apakah ucapan terakhir Fransisca Fanggidaej kepada cucunya Reza Rahadian?
“Merdeka adalah pulang.”
Anaknya tujuh orang, yang tertua baru berusia 13 tahun, sementara suaminya juga ikut ditangkap. Anak-anak terpaksa dititip kepada keluarga dan kenalan baik mereka.
Tahun 1985 Fransisca meminta suaka. Saat inilah ia baru berani menelepon anak-anaknya.
Dapat dibayangkan betapa beratnya perasaan anak-anak menerima telepon tersebut. Rasa kangen, haru, sedih, mungkin bercampur kesal juga karena tidak ada berita sama sekali.
Di negeri Belanda, Sisca masih aktif dalam Komite Indonesia-Belanda dan yayasan memajukan studi Asia.
Salah satu anak Sisca melahirkan lelaki yang kemudian menjadi aktor terkemuka Indonesia, Reza Rahadian. Sisca meninggal di Belanda November 2013.
Beberapa waktu sebelumnya, Reza dan ibunya pernah bertemu Sisca di Belanda. Saat itu, terjadi percakapan mengharukan antara Reza dan Oma.
"Saya bertanya, mengapa oma memilih berpisah dengan anak dan cucu? Dia bilang: seandainya oma bisa pulang ke Indonesia, tentu oma akan kembali. Apapun akan oma lakukan untuk pulang. Tapi kalau informasi tentang ini tersebar, oma khawatir keselamatan kalian terancam.”
Itu jawaban Sisca atas pernyataan Reza.
“Mendengar jawaban itu, saya hanya bisa menangis, memeluk oma erat-erat. Oma juga meneteskan air mata," ujar Reza dengan sedih.
Apakah ucapan terakhir Fransisca Fanggidaej kepada cucunya Reza Rahadian?
“Merdeka adalah pulang.”
______
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161001172753-21-162596/urgensi-pelurusan-sejarah-dan-kisah-perempuan-revolusioner/
0 komentar:
Posting Komentar