Senin, 03/10/2016 15:02 WIB
Oleh: Eli Kamilah
KBR, Jakarta- Penyelesaian pelanggaran HAM 1965 dengan jalur nonyusial mesti diikuti pengungkapan kebenaran. Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi mengatakan, penyelesaian nonyudisial ujungnya adalah rekonsiliasi. Karena itu kata Dianto, harus didahului pengungkapan kebenaran dari kesaksian korban, pembongkaran kuburan massal, sampai pengakuan dari para pelaku.
Dianto juga mengkritik pernyataan Wiranto yang menyebut tindakan dan langkah negara pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dapat dibenarkan secara hukum. Kata dia, Menkopolhukam harus membedakan kasus pembunuhan para jenderal dan kasus pembantaian massal pasca 30 September.
"Kalau, karena saya tidak tahu detail pernyataan seperti apa isinya. Kalau yang dimaksud dengan penyeleseian nonyudisial tidak memasukan atau tidak ada unsur pengungkapan kebenaran. Pendengaran kesaksian, kuburan masal dibongkar, pengakuan dari para pelaku, maka tanpa pengungkapan kebenaran itu, penyelesaian nonyudicial abal-abal atau omong kosong," ujarnya kepada KBR, Senin (3/10/2016).
Dianto menambahkan Wiranto tak punya wewenang memutuskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM 65 dilakukan lewat jalur nonyudisial. Kasus itu, kata dia hanya bisa diputuskan oleh pengadilan dan Kejaksaan Agung.
"Yang menilai itu bukan seorang menteri. Itu ada di proses pengadilan. Itu pernyataan ngaco. Tidak ada seorang pun di Indonesia yang bisa memutuskan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur apapun, kecuali Kejagung atau pengadilan memutuskan penghentian proses yudisial yang sudah dimulai Komnas HAM dengan melakukan penyelidikan. Jadi mau presiden sekalipun, dia mengatakan. Tetapi tidak punya konsekuensi hukum apapun, terhadap proses hukum menurut aturan UU bahwa itu dilanjutkan di jalur nonyudisial. Ketika komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, dan mengatakan bahwa di situ terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65 dan seterusnya."
Hingga saat ini, kata dia tidak ada surat penghentian penyidikan yang keluar dari Kejagung, pascahasil penyelidikan Komnas HAM yang dilaporkan 2012 lalu. Dia menyebut, bedah kasus antara penyelidik Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang dinilai Wiranto menemui hambatan hukum, itu kata Dianto mengada-ngada. Kenyataannya adalah lembaga yang dipimpin Jaksa AGung Prasetyo itu enggan menyidik.
"Tidak ada hambatan hukum, yang ada adalah Kejagung tidak mau melanjutkan prosesnya melalui penyidikan. Itu bukan masalah hukum, itu masalah mentality, itu masalah politik di dalam kejaksaan sendiri. Mereka tidak mau melanjutkan itu. Mereka selalu bilang kurang ini kurang itu. Ya lengkapi saja, apa susahnya," tegas dia.
Komnas HAM, ujar Dianto saat ini berharap Presiden Joko Widodo mau menerima Komnas HAM untuk membahas kembali penyelesaian kasus tersebut. Apalagi, pernyataan Wiranto sebagai Menkopolhukam bisa berdampak secara politik.
"Itu menunjukan rezim ini tidak bersungguh-sungguh. Rezim ini juga tidak bisa membedakan mana yang peristiwa politik yang memiliki dampak atau implikasi hukum, dan peristiwa hukum yang harus diselesaikan lewat jalur hukum
Sebelumnya, Pemerintah menyatakan tindakan dan langkah negara pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dapat dibenarkan secara hukum. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, saat itu negara melakukan tindakan penyelamatan karena dinyatakan dalam keadaan bahaya dan tidak bisa dinilai dengan hukum sekarang.
Selain itu, kata dia, dalam bedah kasus antara penyelidik Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menemui hambatan hukum.
"Terutama yang menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup (beyond reasonable doubt). Terdapat kesulitan untuk terpenuhinya standar pembuktian sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM," lanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah nonyudisial untuk menyelesaikan kasus ini.
Editor: Rony Sitanggang
http://kbr.id/10-2016/penyelesaian_nonyudisial_65__komnas_ham__harus_didahului_pengungkapan_kebenaran/85579.html
0 komentar:
Posting Komentar