by Olive
B | October 01, 2016
Petang mulai basah dan secangkir Blossom Tea dingin
menyusut dari cangkir ketika seorang lelaki memasuki kedai kopi tempat saya
bermalas – malasan menatap layar monitor yang tampilannya tak berubah banyak
selama hampir sejam duduk di sana.
Album pertama Dialita
Dia mengedarkan pandang, bertanya pada petugas di meja
kasir, sepertinya mencari seseorang. Bersamaan dengan gerak tangan kanannya
yang menggenggam HP didekatkan ke kuping, layar HP saya yang tergeletak di meja
pun turut bergerak – gerak.
“Pak Saiful?” “Ibu Olive?”
Lelaki itu mengangguk, membuat garis senyum di bibirnya
dan berjalan mendekat. Padanya, saya pun melempar senyum. Akhirnya, lelaki yang
sedari tadi dinantikan hadirnya muncul juga.
“Maaf ya bu lama menunggu, tadi kena macet di Pancoran.” “Tak apa pak, terima kasih sudah mengantarkan paketnya.”
Dia menyerahkan sebuah amplop coklat yang dikepitnya lalu
bergegas pergi. Tak sabar, saya buru – buru menyobek amplop, mengeluarkan
isinya, dan memindahkannya ke dalam CD drive. Untuk menyiasati polusi suara
dari musik yang disetel keras – keras di kedai, saya menyumpal kuping
dengan earphone agar tak terkontaminasi.
Dari balik jeruji besi, hatiku diuji
Apakah aku emas sejati atau imitasi?
Tiap kita menempa diri jadi kader teladan,
yang tahan angin, tahan hujan, tahan musim dan badai.
Apakah aku emas sejati atau imitasi?
Tiap kita menempa diri jadi kader teladan,
yang tahan angin, tahan hujan, tahan musim dan badai.
Meskipun kini hujan deras menimpa
bumi penuh derita, topan badai memecah ombak
Untuk Patria tembok tinggi memisah kita
namun yakin dan pasti masa depan kan datang
Kita pasti kembali
bumi penuh derita, topan badai memecah ombak
Untuk Patria tembok tinggi memisah kita
namun yakin dan pasti masa depan kan datang
Kita pasti kembali
Larik – larik syair yang mengalun perlahan di gendang
telinga. Ujian, lagu yang liriknya ditulis oleh Siti Jus Jubariah semasa
dirinya mendekam sebagai tahanan politik (tapol) di penjara Bukit Duri,
Jakarta. Lagu yang diciptakan sebagai penyemangat bagi sesama tahanan yang
direnggut kebebasannya tanpa melalui proses pengadilan, mereka dipisahkan
secara paksa dari keluarga, dimasukkan dalam penjara dan dikirim ke kamp – kamp konsentrasi selama bertahun – tahun hingga
mengalami tekanan batin dan fisik. Ibu Jus menulis lirik Ujian dan mengajak
kawan setahanan untuk belajar dan berlatih bernyanyi bersama di sela – sela
waktu mereka bermain kasti; salah satu permainan menghibur diri selama berada
di penjara.
buku karya Amurwani Dwi Lestriningsih
Mendengar suara perempuan – perempuan yang tergabung
dalam Dialita (di atas lima puluh tahun), paduan suara yang beranggotakan
perempuan – perempuan penyintas G30S ini membuat memori berputar pada kisah –
kisah yang dituturkan lewat disertasi Amurwani Dwi Lestriningsih yang dibukukan
dalam GERWANI: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, serta kisah Mia Bustam
yang dituangkan dalam Sudjojono dan Aku.
Mereka, para penyintas dan keluarganya yang dikucilkan
secara sosial dan politik dari masyarakat karena dituduh terlibat dalam tragedi
G30S/65, mencoba merawat harapan, mengisi waktu dengan bernyanyi, berkumpul,
bercerita dan berbagi pengalaman dalam bertahan hidup. Larik demi larik sepuluh
lagu yang ditulis dari balik jeruji dan direkam dalam keping CD terus mengalun.
Tetiba ujung mata saya memanas dan basah. Adakah yang masih peduli pada
kehidupan dan trauma yang muncul akibat diskriminasi?
Setiap lagu dalam album ini menuturkan kisahnya sendiri –
sendiri, dengan dasar yang sama, semangat untuk bertahan. Selain Ujian, ada doa
yang dituangkan dalam lagu Salam Harapan yang diciptakan oleh Zubaedah Nungtjik
AR dan Murtiningrum di penjara Bukit Duri. Lagu yag biasa dinyanyikan di depan
sel kawan yang berulang tahun. Ada pula Taman Bunga Plantungan yang ditulis
pula oleh Zubaedah Nungtjik AR di Kamp Plantungan melukiskan persahabatan yang
terjalin indah antara Mia Bustam, Nurcahya, Rusiyati dan kawan – kawan di kamp
konsentrasi itu.
Di Kamp Ambarawa, Heryani Busono Wiwoho dan Mayor Djuwito
menuliskan rindu dan kegelisahan hatinya pada ribuan anak yang harus terpisah
dan kehilangan orang tua mereka karena dipenjara, dibuang bahkan dibunuh lewat
Lagu Untuk Anakku. Enam lagu lain di dalam album ini: Viva Ganefo, Padi untuk
India, Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu, Kupandang Langit, Asia Afrika Bersatu dan
Dunia Milik Kita pun memiliki kisah dan pesan yang dalam.
Bila anak muda sekarang ditanya apa yang kamu tahu
dari September 1965? sebagian besar mungkin akan menjawab, ah …
masa itu dirinya belum lahir. Apa yang akan dan harus diingat? Tapi bila tanya
yang sama secara khusus ditanyakan kepada mereka yang mengenyam pendidikan SD –
SMA pada masa 80 – 90an, bisa dipastikan mereka akan memberi jawab seputar
tragedi yang sebagian besar informasi tentangnya diserap dari film Penghianatan G30S yang diputar setiap 30 September.
Sebagai generasi masa itu, saya masih ingat satu siang di
awal 90an ketika seorang guru tergesa memasuki kelas saat kami sedang terkantuk
– kantuk belajar.
Kehadirannya mencerahkan, satu pengumuman maha penting
disampaikan berkeliling dari satu kelas ke kelas lainnya. Hari itu kami boleh pulang
lebih cepat. Senang tentu saja, bisa pulang lebih awal adalah momen yang
dinanti semua pelajar. Tapi ternyata pulang cepat tak berarti kami boleh pulang
ke rumah. Siang itu, kami meninggalkan sekolah beramai – ramai, berjalan kaki
berpanas – panasan ke satu – satunya bioskop yang ada di pusat kota. Entah
siapalah yang mengirimkan pesan mendadak untuk meminta anak sekolah pulang
cepat demi pergi ke bioskop yang biasanya hanya memutar film di malam hari, itu
pun untuk orang dewasa.
Paduan Suara Dialita (dok.
infoscreening.co)
Saya baru tahu setelah duduk di dalam bioskop sederhana
yang bangkunya tak beralas busa karena hanya terangkai dari dua balok bambu
yang disambung memanjang. Jangan berharap bisa duduk santai apalagi bersandar
dengan nyaman. Itu kali kedua saya masuk ke dalam bioskop yang ditutupi dinding
yang terbuat dari susunan papan yang beberapa bagiannya bisa kau jumpai
bolongan – bolongan kecil yang sering dijadikan lubang untuk mengintip bagi
mereka yang tak memiliki tiket masuk ke dalam ruangnya setelah beberapa tahun
sebelumnya diajak orang tua saya untuk menonton Ira Maya Puteri Cinderella di
sana. Tanpa basa – basi, sebuah film diputar untuk kami tonton bersama. Film
yang kemudian diputar terus menerus setiap 30 September selama masa orde baru
itu.
Dialita, mencoba menyampaikan kisah – kisah perjalanan
hidup yang mereka jalani lewat syair yang dilagukan, dengan nada yang berisi
semangat untuk tak kalah pada keadaan. Malam ini, Dialita akan mengadakan
konser mereka di Yogya sekaligus menandai peluncuran album perdana mereka,
Dunia Milik Kita. Meski tak bisa melihat langsung penampilan mereka di
panggung, saya cukup senang bisa menikmati suara hati yang dikumandangkan lewat
keping CD yang petang kemarin diantarkan ke kedai kopi. Selamat Hari Kesaktian
Pancasila, saleum [oli3ve].
Source: Obendon.Com
0 komentar:
Posting Komentar