Sabtu, 01/10/2016 12:42 WIB
Lukisan Galam Zulkifli yang diturunkan karena berisi wajah DN Aidit. (Dok. Galam Zulkifli)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Papan kulit papirus berdimensi 200 cm x 600 cm itu
dipenuhi wajah. Galam Zulkifli menggambar Bapak Proklamator Indonesia,
Soekarno dan Mohammad Hatta, dengan ukuran yang tampak lebih besar
dibanding ratusan wajah lainnya.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Pramoedya Ananta Toer, K.H. Abdurrahman Wahid, hingga Inul Daratista pun bersanding dalam satu lukisan yang sama. The Indonesian Idea, judul lukisan yang dipamerkan di Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.
Tapi lukisan itu tak bertahan lama. Empat hari setelah dipajang pada peresmian terminal, 9 Agustus 2016, lukisan itu ramai diperbincangkan. Pada 12 Agustus 2016 siang, lukisan itu lantas diturunkan.
Hanya gara-gara satu wajah yang nyaris tak disadari ada di sana. Itu adalah wajah Dipa Nusantara Aidit, atau lebih dikenal dengan sebutan DN Aidit.
Tokoh Partai Komunis Indonesia itu diapit pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan. Gambar wajah Aidit sebenarnya tidak lebih besar dari ukuran dagu Hasyim Asy’ari di sebelahnya.
Ukuran wajah yang berada di tengah, paling bawah kanvas itu sama besar dengan sejumlah tokoh pemberontak lainnya. Sejajar dengan pemimpin Darul Islam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin PKI 1948 Musso, dan tokoh DI/TII Sulawesi Abdul Kahar Muzakkar.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Pramoedya Ananta Toer, K.H. Abdurrahman Wahid, hingga Inul Daratista pun bersanding dalam satu lukisan yang sama. The Indonesian Idea, judul lukisan yang dipamerkan di Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.
Tapi lukisan itu tak bertahan lama. Empat hari setelah dipajang pada peresmian terminal, 9 Agustus 2016, lukisan itu ramai diperbincangkan. Pada 12 Agustus 2016 siang, lukisan itu lantas diturunkan.
Hanya gara-gara satu wajah yang nyaris tak disadari ada di sana. Itu adalah wajah Dipa Nusantara Aidit, atau lebih dikenal dengan sebutan DN Aidit.
Tokoh Partai Komunis Indonesia itu diapit pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan. Gambar wajah Aidit sebenarnya tidak lebih besar dari ukuran dagu Hasyim Asy’ari di sebelahnya.
Ukuran wajah yang berada di tengah, paling bawah kanvas itu sama besar dengan sejumlah tokoh pemberontak lainnya. Sejajar dengan pemimpin Darul Islam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin PKI 1948 Musso, dan tokoh DI/TII Sulawesi Abdul Kahar Muzakkar.
Mengalah pada Kegaduhan
Jumat siang itu, lukisan sempat ditutupi kain putih sebelum akhirnya diturunkan. Galam sempat berpesan kepada kuratornya Chris Darmawan sebelum lukisan itu ditanggalkan, pihak penyelenggara seharusnya bisa menjelaskan secara logis, ilmiah dan terbuka ke publik tentang makna karya itu.
Namun Angkasa Pura II selaku penyelenggara pameran lukisan punya pertimbangan lain. Karya itu tetap diturunkan untuk menghindari kontroversi di tengah publik. Bahkan hingga kini, Galam mengaku belum pernah berkomunikasi lagi dengan Angkasa Pura II.
Humas Angkasa Pura II Agus Haryadi mengatakan pihaknya telah menjelaskan ke publik secara komprehensif mengenai lukisan tersebut. Dia menyebutnya lukisan seribu wajah yang menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia melalui representasi tokoh-tokoh pada zamannya.
Agus menilai, Indonesia tidak serta-merta menjadi seperti yang sekarang. Ada proses panjang yang menyertainya. Mulai dari perdebatan bentuk negara, ideologi, hingga dasar negara. Hingga akhirnya Indonesia merdeka dengan tokoh sentralnya Soekarno-Hatta. Semuanya dilukiskan. Wajah Bung Karno dan Bung Hatta dibikin paling dominan.
“Yang ada di lukisan itu bukan hanya Aidit, tapi ada juga tokoh yang menurut kami bukan pahlawan. Mereka mau enggak mau memang bagian dari perjalanan bangsa Indonesia hingga menjadi seperti ini,” kata Agus.
Tapi media massa punya bingkai tersendiri untuk memotret kasus itu. Menurut Agus, informasi yang diberikan tidak proporsional. Parsial.
“Foto itu di-crop, di-zoom, yang difoto hanya Aidit. Jadi seolah-olah terinformasi hanya gambar Aidit yang ada di situ, tanpa memberitahu latar belakangnya,” ujar Agus.
Sayangnya, berita miring soal lukisan seribu wajah itu telanjur jadi viral di media sosial. Angkasa Pura II tak ingin lukisan itu menimbulkan polemik berkepanjangan. Mereka akhirnya mengalah pada kegaduhan segelintir orang yang tak paham sejarah.
“Kami ambil cara lain. Daripada bikin gaduh, akhirnya kami turunkan saja. Walaupun kami bisa menjelaskan maknanya. Itu tidak ada unsur pidana atau apa pun, apalagi subversif,” kata Agus.
Agus mengaku pihaknya sempat dihampiri aparat keamanan. Namun ketika itu lukisan telah diturunkan. “Kami repot didatangi aparat,” ujarnya.
Dia membantah proses penurunan lukisan atas desakan aparat keamanan. “Enggak ada. Penurunan itu inisiatif kami saja,” tuturnya. Agus mengatakan, lukisan itu kini disimpan di tempat yang aman di dalam bandara.
Jumat siang itu, lukisan sempat ditutupi kain putih sebelum akhirnya diturunkan. Galam sempat berpesan kepada kuratornya Chris Darmawan sebelum lukisan itu ditanggalkan, pihak penyelenggara seharusnya bisa menjelaskan secara logis, ilmiah dan terbuka ke publik tentang makna karya itu.
Namun Angkasa Pura II selaku penyelenggara pameran lukisan punya pertimbangan lain. Karya itu tetap diturunkan untuk menghindari kontroversi di tengah publik. Bahkan hingga kini, Galam mengaku belum pernah berkomunikasi lagi dengan Angkasa Pura II.
Humas Angkasa Pura II Agus Haryadi mengatakan pihaknya telah menjelaskan ke publik secara komprehensif mengenai lukisan tersebut. Dia menyebutnya lukisan seribu wajah yang menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia melalui representasi tokoh-tokoh pada zamannya.
Agus menilai, Indonesia tidak serta-merta menjadi seperti yang sekarang. Ada proses panjang yang menyertainya. Mulai dari perdebatan bentuk negara, ideologi, hingga dasar negara. Hingga akhirnya Indonesia merdeka dengan tokoh sentralnya Soekarno-Hatta. Semuanya dilukiskan. Wajah Bung Karno dan Bung Hatta dibikin paling dominan.
“Yang ada di lukisan itu bukan hanya Aidit, tapi ada juga tokoh yang menurut kami bukan pahlawan. Mereka mau enggak mau memang bagian dari perjalanan bangsa Indonesia hingga menjadi seperti ini,” kata Agus.
Tapi media massa punya bingkai tersendiri untuk memotret kasus itu. Menurut Agus, informasi yang diberikan tidak proporsional. Parsial.
“Foto itu di-crop, di-zoom, yang difoto hanya Aidit. Jadi seolah-olah terinformasi hanya gambar Aidit yang ada di situ, tanpa memberitahu latar belakangnya,” ujar Agus.
Sayangnya, berita miring soal lukisan seribu wajah itu telanjur jadi viral di media sosial. Angkasa Pura II tak ingin lukisan itu menimbulkan polemik berkepanjangan. Mereka akhirnya mengalah pada kegaduhan segelintir orang yang tak paham sejarah.
“Kami ambil cara lain. Daripada bikin gaduh, akhirnya kami turunkan saja. Walaupun kami bisa menjelaskan maknanya. Itu tidak ada unsur pidana atau apa pun, apalagi subversif,” kata Agus.
Agus mengaku pihaknya sempat dihampiri aparat keamanan. Namun ketika itu lukisan telah diturunkan. “Kami repot didatangi aparat,” ujarnya.
Dia membantah proses penurunan lukisan atas desakan aparat keamanan. “Enggak ada. Penurunan itu inisiatif kami saja,” tuturnya. Agus mengatakan, lukisan itu kini disimpan di tempat yang aman di dalam bandara.
Lukisan yang dipamerkan di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta. (Dok. Galam Zulkifli)
|
Empat ratus wajah dengan latar ideologi dan praksis (kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar untuk menaikkan yang terinjak, memunculkan yang hilang, dan menyatukan yang terserak.Galam Zulkifli |
Merangkum Tokoh dari Titik Peristiwa
Pada hari yang sama, sekitar pukul 10, Galam baru saja bangun tidur. Sang pelukis belum menyadari karyanya menjadi polemik. Hanya ada banyak pesan masuk di telepon selularnya. Salah satunya dari kurator lukisan Chris Darmawan.
Chris mengonfirmasi kebenaran adanya wajah Aidit dalam lukisan itu, sambil menyertakan tautan berita yang menjadi viral di media sosial. Dia juga meminta Galam mengecek lini masa Twitter di mana lukisannya banyak diperdebatkan.
Pelukis asal Yogyakarta itu lalu balik menghubungi Chris. Galam membenarkan adanya wajah Aidit dalam lukisan itu. Dia sempat membaca berita dan segera memahami persoalannya.
“Banyak orang mengira saya menyisipkan Aidit,” kata Galam kepada CNNIndonesia.com.
Galam menilai, sebagian besar orang yang mempersoalkan Aidit dalam lukisannya tak memahami sejarah. Mereka hanya melihat karyanya setengah-setengah. Menurutnya, lukisan harus dipandang secara utuh, konsep maupun konteksnya.
“Saya heran juga, banyak sekali dari kita yang buta sejarah, bukan saya memvonis, tapi saya menyadari kok kita enggak paham sejarah,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, konteks visual lukisan tersebut menjelaskan sejarah Indonesia, sejak awal masa pergerakan pada abad ke-20 hingga saat ini. Banyak tokoh ikut mewarnai proses menjadi Indonesia, baik sebagai pahlawan maupun pemberontak.
Galam mengatakan, lukisannya menggambarkan setiap titik peristiwa dalam sejarah Indonesia melalui tokoh sentralnya. Tjokroaminoto misalnya, menandai awal masa pergerakan nasional. Proklamasi Kemerdekaan RI dilukiskan melalui tokoh Soekarno-Hatta.
“Tokoh itu sebagai representasi peristiwa. Karena ini lukisan, saya harus memvisualisasikannya dengan wajah,” jelasnya.
Begitu pula dengan sejumlah peristiwa pemberontakan. Pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, Galam tidak hanya menggambar pahlawan revolusi yang menjadi korban. Dia juga menampilkan Aidit untuk mewakili tokoh antagonisnya.
“Tapi dikesankan saya hanya melukis Aidit, padahal kalau kita mendalami sejarah, hampir semua pemberontakan yang ada di Indonesia ada semua di lukisan itu,” ujar Galam.
Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, Musso, Andi Aziz, Ventje Sumual, merupakan tokoh pemberontakan di Indonesia yang juga dia goreskan dalam lukisan tersebut.
Saat menyodorkan lukisan itu, Galam meminta pihak penyelenggara menyimak video presentasi proyeknya. Dalam video itu dijelaskan profil tokoh yang masuk dalam lukisan. Galam berharap melalui video itu, konteks dan konsep penyusunan karya dapat dijelaskan dengan klir.
“Empat ratus wajah dengan latar ideologi dan praksis (kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar menaikkan yang terinjak, memunculkan yang hilang, dan menyatukan yang terserak,” tulis Galam dalam video tersebut.
“Lewat ‘jalan cahaya’ sebagai metode visual, simulasi dari ilusi itu menyadarkan kita betapa anugerah keragaman ide ini rapuh, goyah. Salah satu merawatnya adalah menampilkannya secara adil, berani, dan nondiskriminatif.”
Pada hari yang sama, sekitar pukul 10, Galam baru saja bangun tidur. Sang pelukis belum menyadari karyanya menjadi polemik. Hanya ada banyak pesan masuk di telepon selularnya. Salah satunya dari kurator lukisan Chris Darmawan.
Chris mengonfirmasi kebenaran adanya wajah Aidit dalam lukisan itu, sambil menyertakan tautan berita yang menjadi viral di media sosial. Dia juga meminta Galam mengecek lini masa Twitter di mana lukisannya banyak diperdebatkan.
Pelukis asal Yogyakarta itu lalu balik menghubungi Chris. Galam membenarkan adanya wajah Aidit dalam lukisan itu. Dia sempat membaca berita dan segera memahami persoalannya.
“Banyak orang mengira saya menyisipkan Aidit,” kata Galam kepada CNNIndonesia.com.
Galam menilai, sebagian besar orang yang mempersoalkan Aidit dalam lukisannya tak memahami sejarah. Mereka hanya melihat karyanya setengah-setengah. Menurutnya, lukisan harus dipandang secara utuh, konsep maupun konteksnya.
“Saya heran juga, banyak sekali dari kita yang buta sejarah, bukan saya memvonis, tapi saya menyadari kok kita enggak paham sejarah,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, konteks visual lukisan tersebut menjelaskan sejarah Indonesia, sejak awal masa pergerakan pada abad ke-20 hingga saat ini. Banyak tokoh ikut mewarnai proses menjadi Indonesia, baik sebagai pahlawan maupun pemberontak.
Galam mengatakan, lukisannya menggambarkan setiap titik peristiwa dalam sejarah Indonesia melalui tokoh sentralnya. Tjokroaminoto misalnya, menandai awal masa pergerakan nasional. Proklamasi Kemerdekaan RI dilukiskan melalui tokoh Soekarno-Hatta.
“Tokoh itu sebagai representasi peristiwa. Karena ini lukisan, saya harus memvisualisasikannya dengan wajah,” jelasnya.
Begitu pula dengan sejumlah peristiwa pemberontakan. Pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, Galam tidak hanya menggambar pahlawan revolusi yang menjadi korban. Dia juga menampilkan Aidit untuk mewakili tokoh antagonisnya.
“Tapi dikesankan saya hanya melukis Aidit, padahal kalau kita mendalami sejarah, hampir semua pemberontakan yang ada di Indonesia ada semua di lukisan itu,” ujar Galam.
Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, Musso, Andi Aziz, Ventje Sumual, merupakan tokoh pemberontakan di Indonesia yang juga dia goreskan dalam lukisan tersebut.
Saat menyodorkan lukisan itu, Galam meminta pihak penyelenggara menyimak video presentasi proyeknya. Dalam video itu dijelaskan profil tokoh yang masuk dalam lukisan. Galam berharap melalui video itu, konteks dan konsep penyusunan karya dapat dijelaskan dengan klir.
“Empat ratus wajah dengan latar ideologi dan praksis (kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar menaikkan yang terinjak, memunculkan yang hilang, dan menyatukan yang terserak,” tulis Galam dalam video tersebut.
“Lewat ‘jalan cahaya’ sebagai metode visual, simulasi dari ilusi itu menyadarkan kita betapa anugerah keragaman ide ini rapuh, goyah. Salah satu merawatnya adalah menampilkannya secara adil, berani, dan nondiskriminatif.”
Lukisan jika dilihat menggunakan lampu ultraviolet. (Dok. Galam Zulkifli)
|
Peran Aidit yang Dikecilkan
Tak ada sedikit pun di benak Galam untuk menyebarkan ide komunisme atau mengampanyekan PKI dalam lukisannya. The Indonesian Idea mewadahi banyak wajah, ratusan tokoh.
“Kecuali kalau saya hanya menggambar Aidit saja dengan simbol komunisnya, tentu sangat tendesius sekali,” ucap Galam.
Hal yang sama, kata Galam, juga dilakukan para penulis buku pelajaran sejarah yang memunculkan cerita Aidit dalam peristiwa G30S. Atau seorang pembuat film sejarah yang menampilkan sosok Aidit dalam cuplikan filmnya meski hanya sekilas.
“Saya sama sekali enggak kepikiran, kecuali di situ hanya Aidit. Saya dalam posisi netral mengungkapkan sejarah,” kata Galam.
Keberadaan Aidit bukan didasari pertimbangan yang disengaja. Galam mengaku telah melakukan proses riset yang cukup panjang. Dia menemukan fakta sejarah bahwa pada era itu banyak tokoh, baik pahlawan maupun pemberontak, terlibat aktif dalam pendirian Republik.
Berdasarkan risetnya, mau tidak mau tokoh PKI itu masuk dalam lukisan. Dalam sejarahnya, Aidit adalah salah satu pemuda yang ikut mendesak kelompok tua segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun peristiwa G30S membuat Aidit dan partainya jatuh, bahkan dibumihanguskan. Sebagai ketua partai, Aidit dituduh bertanggung jawab atas tewasnya para jenderal TNI Angkatan Darat di Jakarta. Peran Aidit pun dikecilkan.
“Jadi kalau di lukisan itu wajah Aidit kecil, dalam fakta sejarah yang saya temukan memang dia dikecilkan keberadaannya, tetapi tidak dihilangkan. Karena saya temukan di pelajaran sekolah juga ada, ketika peristiwa G30S nama Aidit muncul,” jelas Galam.
Besar dan kecilnya ukuran wajah dalam lukisan menjadi salah satu pertimbangan Galam untuk menunjukkan peranan tokoh. Ada tokoh yang memang wajahnya dibuat paling dominan. Menyusul ukuran Soekarno dan Hatta, ada para presiden RI.
“Saya tidak memanipulasi sejarah itu dengan membuat karya yang seharusnya besar saya kecilkan, atau yang kecil saya besarkan,” jelasnya.
Karya itu merupakan kewenangan pelukis seutuhnya. Pihak Angkasa Pura bahkan tidak mempersoalkan isi lukisan tersebut. “Masalah karya apa yang saya buat, mereka enggak urus. Saya bilang ingin buat karya tentang sejarah Indonesia,” katanya.
Awalnya Galam ingin melukis sejarah Indonesia sejak masa Gajah Mada. Namun waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya itu tak mencukupi. Dia hanya punya waktu tiga bulan sebelum akhir Mei 2016. Pada awal Juni, rencananya akan dipamerkan.
Pameran molor dari rencana awal. Bandara mengalami kendala teknis lantaran belum selesai infrastrukturnya. Barulah pada 9 Agustus karya itu dipamerkan. Hanya bertahan empat hari, lukisan karya pelukis kelas dunia itu dicopot.
“Kalau orang yang paham sejarah, mungkin justru kritiknya ada beberapa tokoh yang kurang dimasukkan, bukan justru meniadakan tokoh yang sudah ada,” ucap Galam, yang tak bisa melakukan apa-apa ketika lukisannya pun ‘ditiadakan.’ (rsa)
Tak ada sedikit pun di benak Galam untuk menyebarkan ide komunisme atau mengampanyekan PKI dalam lukisannya. The Indonesian Idea mewadahi banyak wajah, ratusan tokoh.
“Kecuali kalau saya hanya menggambar Aidit saja dengan simbol komunisnya, tentu sangat tendesius sekali,” ucap Galam.
Hal yang sama, kata Galam, juga dilakukan para penulis buku pelajaran sejarah yang memunculkan cerita Aidit dalam peristiwa G30S. Atau seorang pembuat film sejarah yang menampilkan sosok Aidit dalam cuplikan filmnya meski hanya sekilas.
“Saya sama sekali enggak kepikiran, kecuali di situ hanya Aidit. Saya dalam posisi netral mengungkapkan sejarah,” kata Galam.
Keberadaan Aidit bukan didasari pertimbangan yang disengaja. Galam mengaku telah melakukan proses riset yang cukup panjang. Dia menemukan fakta sejarah bahwa pada era itu banyak tokoh, baik pahlawan maupun pemberontak, terlibat aktif dalam pendirian Republik.
Berdasarkan risetnya, mau tidak mau tokoh PKI itu masuk dalam lukisan. Dalam sejarahnya, Aidit adalah salah satu pemuda yang ikut mendesak kelompok tua segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun peristiwa G30S membuat Aidit dan partainya jatuh, bahkan dibumihanguskan. Sebagai ketua partai, Aidit dituduh bertanggung jawab atas tewasnya para jenderal TNI Angkatan Darat di Jakarta. Peran Aidit pun dikecilkan.
“Jadi kalau di lukisan itu wajah Aidit kecil, dalam fakta sejarah yang saya temukan memang dia dikecilkan keberadaannya, tetapi tidak dihilangkan. Karena saya temukan di pelajaran sekolah juga ada, ketika peristiwa G30S nama Aidit muncul,” jelas Galam.
Besar dan kecilnya ukuran wajah dalam lukisan menjadi salah satu pertimbangan Galam untuk menunjukkan peranan tokoh. Ada tokoh yang memang wajahnya dibuat paling dominan. Menyusul ukuran Soekarno dan Hatta, ada para presiden RI.
“Saya tidak memanipulasi sejarah itu dengan membuat karya yang seharusnya besar saya kecilkan, atau yang kecil saya besarkan,” jelasnya.
Karya itu merupakan kewenangan pelukis seutuhnya. Pihak Angkasa Pura bahkan tidak mempersoalkan isi lukisan tersebut. “Masalah karya apa yang saya buat, mereka enggak urus. Saya bilang ingin buat karya tentang sejarah Indonesia,” katanya.
Awalnya Galam ingin melukis sejarah Indonesia sejak masa Gajah Mada. Namun waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya itu tak mencukupi. Dia hanya punya waktu tiga bulan sebelum akhir Mei 2016. Pada awal Juni, rencananya akan dipamerkan.
Pameran molor dari rencana awal. Bandara mengalami kendala teknis lantaran belum selesai infrastrukturnya. Barulah pada 9 Agustus karya itu dipamerkan. Hanya bertahan empat hari, lukisan karya pelukis kelas dunia itu dicopot.
“Kalau orang yang paham sejarah, mungkin justru kritiknya ada beberapa tokoh yang kurang dimasukkan, bukan justru meniadakan tokoh yang sudah ada,” ucap Galam, yang tak bisa melakukan apa-apa ketika lukisannya pun ‘ditiadakan.’ (rsa)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160930214045-241-162521/aidit-dalam-wajah-sejarah-yang-kalah/
0 komentar:
Posting Komentar