OCT 07, 2016
Oleh: MUHAMMAD AL-FAYYADL
11 Agustus 2016, sepasang buruh tani miskin bernama Suhartono dan Sulistiorini ditemukan bunuh diri dengan menenggak racun di sawah tegalan karena tak tahan dililit utang, di Desa Butuh Kecamatan Keras, Kediri. Keduanya Muslim yang taat, tetapi jeratan utang rentenir tak menagih keislaman mereka. Kematian keduanya tidak membutuhkan sertifikasi dari MUI, silat-lidah wacana Jaringan Islam Liberal (JIL), atau ratapan anak-anak muda yang menyebut dirinya “para Muslimin Progresif”. Kematian keduanya hanya menjadi saksi tentang kebutuhan sepasang buruh tani Muslim proletar akan sejumlah uang untuk melunasi utang dan menyelamatkan hidup mereka dari jeratan rentenir penghisap. Tetapi, apakah keberislaman mereka—dan keberislaman orang-orang di sekitar mereka—mampu menyelamatkan mereka? Tidak. Problem keberislaman kita klasik: Islam kita belum sungguh-sungguh hadir sebagai malaikat penyelamat bagi mereka yang tertindas.
Kita tunjuk langsung, sebagai kritik dan otokritik: keberislaman kita adalah keberislaman yang borjuistik. Yang melanggengkan egoisme dan hasrat pribadi, menipiskan solidaritas, memupuk kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial. Namun, ini pertama-tama bukan persoalan moral. Ini pertama-tama merupakan persoalan material. Keberislaman kita menjadi begini, karena hegemoni suatu ideologi berupa konsepsi ekopol (ekonomi-politik) yang secara fatal menggeser perhatian Islam dari soal-soal material kepada soal-soal ideasional, dari perhatian pada kondisi-kondisi konkret-material kepada pertarungan gagasan-gagasan teologis dan klaim kebenaran. Hegemoni ideologi ini ditopang oleh dua hal: ekopol liberalisme Islam yang bersanding mesra dengan ekopol neo-klasik kapitalisme.
Bagaimana suatu kritik terhadap dua ekopol ini mungkin? Apa hubungan antara kematian dua petani miskin itu dengan pemikiran seorang Ulil Abshar-Abdalla atau para intelektual Muslim yang berkumpul di Freedom Institute, dengan pasar saham di Bursa Efek Jakarta (“Wallstreet”-nya Indonesia), dan bahkan mungkin dengan khotbah Aa Gym dan motivasi bisnis-Islami “ESQ” Ary Ginandjar? Keterkaitan-keterkaitan itu hari ini tak tampak, karena persis itulah cara kerja ideologi: mengaburkan kondisi-kondisi material yang menjadi lahan kontradiksi-kontradiksi material, tempat pertarungan-pertarungan keras kekuatan-kekuatan ekopol bekerja, dengan memberi panggung bagi percaturan gagasan-gagasan yang menyelubungi konflik yang terjadi di antara kekuatan-kekuatan tersebut. Menipisnya kepedulian pada nasib petani miskin merupakan bentuk etos sosial berupa individualisme, egoisme, dan keserakahan yang semakin merajalela di masyarakat. Etos sosial ini dipupuk oleh ideologi ekopol yang memberi ruang bagi individualisme ini berkembang subur—ideologi ekopol berorientasi pasar yang menjadikan masyarakat sebagai arena kompetisi ekonomi. Ideologi ekopol ini teraktualisasi dan mendapat dukungan institusionalnya dengan keberadaan institusi-institusi ekopol yang menjamin kompetisi ini terus berlangsung dan perputaran modal dapat dijalankan hingga menghasilkan akumulasinya yang berlebih: korporasi, pasar finansial, perbankan, bursa saham, dan lain-lain.
Hubungan ketiganya erat, dan ketika salah satu elemen terbukti mengalami krisis, maka elemen yang lain turut merasakan dampaknya dan mengalami pergeseran-pergeseran mendasar. Krisis finansial global sejak beberapa tahun terakhir telah meruntuhkan sendi-sendi institusi-institusi ekopol, khususnya pasar finansial dan perbankan, yang mendorong pasar kembali kepada perlindungan negara untuk menyelamatkan aset-aset modal yang terus berjatuhan. Doktrin laissez-faire—“Biarkan pasar bekerja bebas”—runtuh, dan terbukti pasar tak dapat lepas dari kendali politik negara yang bertumpu pada sektor riil (non-finansial). Ketika institusi-institusi ekopol ini semakin mengalami krisis kepercayaan, semakin tipis pula kepercayaan pada ideologi ekopol di baliknya: liberalisme, sebagai ideologi, mengalami krisis. Gagasan-gagasan liberalisme yang mengajarkan kebebasan ekopol yang individualistik semakin terdengar surut, di tengah antusiasme masyarakat terhadap ikatan-ikatan sosial baru yang lebih solider, yang berbasis pada komunitas atau organisasi sosial. Sebagai gantinya, muncul benih-benih etos sosial baru yang menggeser individualisme, dan menjadikan individualisme makin tak relevan: etos sosial yang mencoba merekatkan kembali ikatan-ikatan sosial yang terkoyak oleh gaya hidup kapitalistik yang memuja pemuasan hasrat individual.
Kita berada dalam situasi peralihan yang menentukan semacam ini. Tetapi, situasi ini tidak akan benar-benar membawa kebaruan, tanpa benar-benar kita membongkar jalinan epistemik di antara ketiganya dalam kehidupan umat Islam di Indonesia dan melakukan kritik atas ideologi ekopolnya. Saat ini pun, dengan krisis yang menimpa kapitalisme, kapitalisme ternyata tetap dapat eksis dengan menjadi parasit bagi kehidupan sosial. Kapitalisme jenis baru ini menjadikan hubungan sosial sebagai sumber modal yang terus-menerus dikeruk untuk memperpanjang perputaran kapital. Inilah yang disebut liberalisme sosial (social liberalism). Skema CSR (Corporate Social Responsibility) pada korporasi adalah contoh perkembangan terkini dari “liberalisme sosial” ini: Anda boleh mengeksploitasi buruh sesukanya, atau mencemari alam sekotor-kotornya, tetapi Anda dapat menebusnya dengan memberikan CSR yang menunjukkkan betapa “sosial”-nya perusahaan Anda. Mistifikasi dan ilusi liberalisme sosial ini hanya dapat terbongkar pada titik ketika kepentingan antara masyarakat dan korporasi terbukti bertentangan sehingga mendorong terbentuknya suatu praktik ekopol yang otentik bersifat sosial, Sosialisme.
Mistifikasi dan ilusi itu yang menimpa pemahaman ekonomi-politik Islam yang berkembang di Indonesia. Kondisi supra-struktural (ideologis) dari ekopol Islam hari ini adalah bahwa Islam dan kapitalisme diyakini kompatibel dan dapat sejalan-seiring dalam mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Konsepsi ekopol ini mengalami dua fase perkembangan: pertama, awal 2000-an, melalui liberalisme Islam; dan kedua, 2005 ke belakang, melalui perkembangan ekonomi (kapitalis) syariah. Kelompok Muslim liberal Indonesia pada awalnya tak menyasar langsung soal ekopol. Mereka lebih banyak berbicara tentang doktrin kebebasan (freedom) dalam Islam, pluralisme, dan isu antaragama. Mereka menyerukan pembaruan pemikiran Islam tanpa melirik ranah ekopol. Tetapi dukungan mereka pada isu kenaikan harga BBM dan afiliasi dengan funding liberal di Amerika Serikat memperlihatkan semakin jelas tendensi ekopol kelompok ini. Pada gilirannya muncul titik temu antara aspirasi kelompok liberal Muslim ini dengan kelompok liberal pro-korporat sekuler yang menjadi arsitek ekonomi Orde Baru tahun 1980-an (“Mafia Barkeley”), yang sama-sama bertumpu pada laissez-faire, supremasi pasar di atas negara dan masyarakat (melalui deregulasi, privatisasi, finansialisasi perbankan, dst.). Ulil, dalam sebuah tulisannya, mengajukan pemikiran bahwa Islam tidak membolehkan pasar diintervensi oleh negara.[1] Gagasan-gagasan ekopol ini tidak begitu mengerucut dan sistematis, namun keberpihakan mereka jelas: Islam yang baik adalah Islam yang ramah kepada pemodal. Islam yang baik, menurut mereka, adalah Islam yang kompetitif, seperti “pasar”, dengan invisible hands-nya. Tak peduli apakah di pasar itu mereka saling memangsa, bagi Muslim liberal ini, “pasar” adalah kondisi ideal dari lembaga ekopol yang menjamin kebebasan masing-masing individu. Elitis, gagasan ini justru tidak berkembang pada dirinya, namun mendapat dukungan dari arah lain melalui arus ekonomi syariah yang diminati oleh para wirausahawan Muslim. Misi arus ekonomi baru ini adalah mengislamkan praktik-praktik transaksi dan konsumsi umat Islam yang belum terbebas dari riba dan terverifikasi kehalalannya. Praktik riba ini dilihat terdapat pada institusi perbankan yang ada, sehingga misi ekonomi syariah ini adalah mengislamkan perbankan, sejalan dengan “prinsip-prinsip syariah”. Kita menyaksikan suatu fenomena “Islamisasi” kapitalisme pada fase ini, seperti perkembangan kapitalisme yang mempertemukannya dengan Etika Protestan dalam analisis Max Weber. Kapitalisme finansial-perbankan yang merupakan warisan dari kapitalisme klasik, diubah secara mendasar oleh wacana Islam menjadi suatu konsepsi ekonomi baru yang berlabel “syariah”. Watak ekopol ini pada dasarnya tetaplah liberalistik, hanya lebih moderat dan bernuansa “religius”. Ekonomi (kapitalis) syariah tetap tak dapat menyelamatkan nyawa dua petani miskin itu.
**
Kita berangkat dari dua persoalan besar umat yang ternyata tak mampu dijawab oleh ideologi ekopol yang hegemonik sekarang, liberalisme dan “ekonomi Islam” yang liberalistik: 1) Rasio gini ketimpangan (inequality) yang meningkat tajam, seiring makin luasnya kebebasan ekonomi (economic freedom).[2] 2) Eksploitasi dan penghancuran Sumber Daya Alam (SDA) yang meningkat, dengan dampak-dampak ekologis dan sosial yang memprihatinkan. Di hadapan kedua isu ini, para ekonom Muslim liberal dan arsitek “ekonomi syariah” bungkam.
Bagaimana menjelaskan bahwa hanya 1% dari penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan 40% sisanya (Data BAZNAS),[3] dan perkembangan ekonomi Islam selama ini ternyata gagal mengubah struktur ketimpangan tersebut, alih-alih melanggengkannya? Ini berarti, niscaya ada yang keliru pada ideologi dan praktik ekopol Islam yang ada. Bukannya menghancurkan struktur ketimpangan tersebut, ekopol Islam justru menjadi tulang punggung bagi ekonomi nasional yang kapitalistik, korporatif, dan oligarkis. Bukannya menjanjikan pembebasan bagi umat dari himpitan-himpitan ekonomi yang ada, ekopol Islam justru menindih mereka dengan beban-beban ekonomi baru: biaya pendidikan Islam yang makin mahal (tak terkecuali di pesantren-pesantren), harga sewa pertanian dan perkebunan yang makin mencekik petani dan buruh tani, fluktuasi angka buruh Muslimin-Muslimat Indonesia di luar negeri yang semakin naik tanpa jaminan keselamatan dan keamanan. Ada suatu fenomena menarik: sejumlah wirausahawan Muslim membuka layanan jasa pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia). “Kesalehan” mereka dalam berbisnis rupanya meningkat seiring eksploitasi mereka atas nyawa dan keringat orang lain. Suatu “kesalehan sosial” yang khas Islam Indonesia. Problem kesenjangan ini menyingkapkan suatu hal: bahwa ekopol Islam yang ada sekarang tetap berorientasi pada hierarki kelas (elite-menengah-bawah). Ekopol Islam menggenjot kelas menengah Muslim, karena diyakini bahwa perkembangan wirausahawan Islam yang kuat akan membawa efek menyejahterakan bagi umat. Hal yang luput dari amatan ekopol ini adalah bahwa penguatan kelas menengah akan berakibat pada meningkatnya eksploitasi dan tekanan pada kelas bawah, karena watak umum kelas menengah kita yang sejak lama belum benar-benar meninggalkan sifat feodal dan elitisnya, serta anti-orang miskin.
Eksploitasi dan penghancuran Sumber Daya Alam tak dapat dibendung oleh ekopol Islam yang ada. Data-data tentang kehancuran ini massif. Kita tahu bahwa kapitalisme tidak dapat lepas dari alam, karena sumber daya alam dianggap modal yang harus dimanfaatkan dan dieksploitasi. Lebih dari 70% kekayaan SDA Indonesia telah diprivatisasi melalui konsesi-konsesi yang eksploitatif dan koruptif. Namun, ekopol Islam yang ada tidak mampu memberikan solusi apa-apa, alih-alih memberikan dukungan bagi berlanjutnya eksploitasi dan penghancuran SDA. Tak terhitung para wirausahawan Muslim yang memiliki bisnis di sektor tambang dan hutan. Meski merusak alam, mereka tetap mampu mencitrakan diri sebagai Muslim yang saleh (kasus Sandiaga Uno baru-baru ini[4]). Fakta terbaru berbicara lebih lanjut bahwa ekopol Islam melalui institusinya, perbankan syariah, justru terlibat secara aktif dalam eksploitasi SDA dan bisnis infrastruktur yang rawan konflik agraria. Pada 2009, perbankan syariah membiayai bisnis pertambangan sebesar Rp 1,0009 triliun dan bisnis infrastruktur Rp 3,648 triliun.[5] Angka-angka ini ini dapat terus berkembang.
Pertanyaannya, mengapa ada ketidaksinkronan antara tujuan-tujuan ekopol Islam dengan kondisi keumatan yang konon ingin diangkat dan diubahnya? Ekopol liberalisme Islam yang memberi justifikasi bagi kapitalisme neoliberal sebagai bentuk ekonomi terbaik dapat dipatahkan dengan argumen bahwa kapitalisme merupakan bentuk yang asing bagi kehidupan umat Islam di bumi Nusantara, yang berpijak pada pola-pola ekonomi komunalistik, semi-sosialistik, dan kekeluargaan (argumen antropologis). Kapitalisme neoliberal juga asing bagi tata nilai ekonomi Islam yang mengecam akumulasi modal (takatsur); suatu kritik yang dikemukakan oleh para pemikir “ekonomi syariah”, sehingga menjadi alasan perlunya suatu ilmu ekonomi baru alternatif terhadap ekopol neo-klasik kapitalis. Namun, “ekonomi syariah” pun sebagai alternatif terhadap ekopol neo-klasik kapitalis juga berada dalam bayang-bayang ekopol neo-klasik, dan karena itu secara sub-sistemik masih berinduk kepada kapitalisme. Kegagalan ini bukan tanpa sebab, tetapi karena faktor intrinsik pada “ekonomi syariah” yang secara inheren menjadikannya bersenyawa dengan ekopol neo-klasik kapitalisme, yaitu sifat idealis-nya. Idealisme ini terletak pada konsepsinya yang tidak materialis, di mana ekonomi-politik didasarkan pada ideal-moraldaripada kondisi material. Ideal-moral tentang “kesejahteraan umat”, daripada kondisi material yang menjadi pemungkin bagi kesejahteraan tersebut. Hal ini pada tataran institusional diterjemahkan dengan kepedulian “ekonomi syariah” pada sektor-sektor Distribusi dan Konsumsi umat Islam, tanpa perhatian cukup pada ranah Produksi, di mana justru pertarungan dan eksploitasi atas umat terjadi dahsyat dan keras. Ranah Produksi ini, yang merupakan ranah kerja dan kondisi-kondisi material bagi kerja, justru diabaikan, sehingga kesibukan “ekonomi syariah” tersita untuk mengurus sektor distribusi (yang masih direduksi lagi kepada distribusi keuangan dan kredit di sektor perbankan), transaksi, dan konsumsi. Poros ekopol dalam konsepsi ini adalah jual-beli (al-bay’); kegiatan ekonomi dipahami berpusat pada tindakan jual-beli untuk menghasilkan laba.
Produksi | Distribusi (Transaksi) | Konsumsi |
ABSEN dalam ekopol Islam
|
ADA dalam ekopol Islam
|
ADA dalam ekopol Islam
|
Problem keadilan-ketidakadilan, dengan demikian, dipahami sebatas dalam kerangka distribusi keuntungan yang tidak merata. Atau dalam kata-kata pemikir ekopol Islam, Muhammad Baqir al-Shadr: “Ketidakadilan manusia mewujud dengan sendirinya dalam bidang ekonomi sebagai distribusi yang buruk”.[6] Pemikiran seperti ini akan memberi justifikasi pada praktik distribusi kredit, yang alih-alih menciptakan kemakmuran justru memperbesar kesenjangan karena hutang yang tak terbayar; pada distribusi infaq dan sedekah yang tetap saja tidak menutupi kesenjangan, bahkan menjadi ajang filantropi para usahawan untuk memperbesar pundi-pundi dan gengsi sosial mereka. Absennya perhatian pada ranah Produksi sebagai ranah dari mana komoditas-komoditas dan hasil kerja dihasilkan dan diolah, memberi suatu ilusi fatamorgana bagi ekopol Islam bahwa komoditas-komoditas itu ada dengan sendirinya, seolah-olah tidak lahir dari perampasan atas tenaga kerja buruh, eksploitasi tanah dan sumber-sumber kehidupan; seolah komoditas itu tersaji dengan sendirinya, tinggal dijualbelikan dan dikonsumsi. Yang halal untuk dijualbelikan dan dikonsumsi (pada ranah Distribusi dan Konsumsi), tidak pernah ditelusuri sampai ranah Produksi-nya; benarkah produk itu dihasilkan tanpa mengambil hak pekerjanya? Karena itu, fiqih produksi, aturan-aturan hukum Islam tentang produksi (fiqh al-intaj), tidak ditemukan dalam kepustakaan ekopol Islam. Ini disebabkan, tidak ada kategori “kerja” di dalam ekopol Islam.
**
Situasi ekopol Islam hari ini terjebak dalam setidaknya satu dari tiga problem epistemologis berikut:
1). Ekopol Islam dilihat terpisah dari konteks kapitalisme kontemporer. Ini mudah kita jumpai pada buku-buku akademik ekonomi Islam di perguruan tinggi. Seolah-olah “ekonomi Islam” muncul tanpa persinggungan dengan kapitalisme sebagai modus produksi (mode of production) dari kesejarahan umat manusia. “Ekonomi Islam” dihadirkan secara universal, seolah-olah telah siap-jadi dan siap-pakai. Contoh tipikal wacana akademik atau pseudo-akademik, yang secara metodologis cacat, ini adalah buku Afzalurrahman, Muhammad sebagai Pedagang, yang memberi justifikasi bahwa Rasulullah SAW adalah seorang kapitalis yang sukses. Padahal, bila dilihat dari basis produksinya, Rasul adalah seorang pekerja yang tidak memiliki modalnya sendiri. Hal ini memberi ilusi bahwa “ekonomi Islam” sejak awal telah sejalan dengan bentuk ekopol yang ada sekarang. Dengan melepaskan konteks kapitalismenya, kapitalisme turut dianggap universal, sehingga ekonomi Islam dari empat belas abad lampau sampai sekarang dianggap memang kapitalistik, sementara kita tahu bahwa kapitalisme secara inheren menstruktur umat Islam sejak era kolonialisme. Yang bermasalah dari pemisahan antara ekopol Islam dengan konteks kapitalisme hari ini adalah efek epistemologisnya. Secara tidak kritis, ekopol Islam mengadopsi hampir seluruh kosakata ekonomi neo-klasik. Perselingkuhan antara pola pikir kapitalisme dan ekonomi Islam terjadi sempurna di sini.
2). Ekopol Islam dilihat sebagai reaksi terhadap kapitalisme modern (abad ke-20), tapi luput dilihat dari konteks kapitalisme neoliberal hari ini. Ini bisa dijumpai pada tokoh seperti M. Dawam Rahardjo dan ekonom yang melihat ekopol Islam sebagai jalan ketiga alternatif atas Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme. Trauma atas kebangkrutan Stalinisme di Soviet—yang lebih merupakan suatu bentuk etatisme daripada komunisme yang otentik—membayangi konsepsi ekopol ini. Karenanya, ekonomi Islam dilihat sebagai antitesis bagi Sosialisme-Komunisme, namun ekonomi Islam harus beradaptasi dengan kapitalisme dengan mengoreksinya. Koreksi tersebut, namun demikian, bukan suatu upaya mengakhiri kapitalisme, tetapi membuat kapitalisme menjadi lebih baik (reformed capitalism). Ujung konsepsi ini adalah model “negara kesejahteraan” (welfare state), di mana kelas buruh dan kelas kapitalis diasumsikan dapat bekerja sama. Dawam mengusulkan nama “sosialisme religius” bagi ekopol Islam ini, namun mengasumsikan pencapaian atas sosialisme itu melalui perbaikan sistem kapitalisme, bukan melalui revolusi sosial atau perjuangan kelas.
Konsepsi ekopol ini terlalu klasik untuk melihat dinamika kapitalisme kontemporer yang dipraktikkan justru oleh negara-negara penganut welfare state, dengan ekspansi modal mereka yang bergerak seiring dengan ekspansi politik (perang imperialis). Ketidakmampuan konsepsi ini mengadopsi perkembangan kapitalisme kontemporer menjadikan konsepsi ekonomi Islam yang diajukan kalangan ini terasa nostalgis, jika bukannya kuno. Melihat hasil rekonstruksi ekonomi Islam yang diajukan, misalnya, oleh Dawam Rahardjo, yang tidak melakukan kritik fundamental atas kapitalisme, kita bisa mengatakan bahwa ekonomi Islam di sini tak lain adalah “etika borjuis Islam”.[7] Etika ini mereduksi ekopol pada soalideal-moral. Etika ini jelas merupakan inti kapitalisme berwajah Islami hari ini.
3). Ekopol Islam dilihat sepenuhnya selaras dari kapitalisme. Inilah ekopol liberalisme Islam.
Ketiga problem di atas memperlihatkan bahwa ekopol Islam hari ini bukanlah ekopol yang ditujukan bagi kepentingan kelas yang tertindas dan terpinggirkan. Konsepsi-konsepsi ekopol tersebut lebih menguntungkan kelas-kelas sosial yang relatif mapan, yang memerlukan ajaran Islam yang telah dikemas sedemikian rupa sebagai panduan untuk membersihkan kepemilikan pribadi sehingga memberikan jaminan “syar’i” atas perilaku ekonomi mereka. Agar Islam dapat membela kembali kepentingan kelas, kalangan, atau kelompok yang tertindas dan terpinggirkan, kita membutuhkan suatu keberislaman yang materialis. Suatu keberislaman yang didasarkan pada kritik atas ekopol yang ada, sekaligus membangun ekopol baru yang memberi pendasaran materialis atas ajaran ekonomi Islam.
Apa itu keberislaman yang materialis? Ia adalah keberislaman yang bertolak dari kondisi-kondisi sosial yang konkret, yang digugah oleh ketimpangan, kesenjangan, dan kontradiksi antara “yang seharusnya” dan “yang senyatanya”, yang sensitif pada pergeseran dan perubahan fakta-fakta material yang mengitari kondisi-kondisi sosial tersebut, yang terdorong untuk mengubah secara revolusioner kondisi-kondisi sosial tersebut dengan menggali sumber-sumber ajaran Islam. Setiap keberislaman niscaya bersifat idealis, sampai pada saatnya mengalami pembalikan materialis. Hal ini dikarenakan, setiap keberislaman niscaya bertolak dari pembiasan ideal-moral yang terpantul pada ajaran Islam. Berhenti pada ideal-moral itu, orang menjadi idealis sepenuhnya. Kita dapat mengatakan bahwa seluruh pemikiran keislaman bersifat idealis, dan karena itu bermasalah, sampai bertolak dari kondisi-kondisi sosial yang konkret, material, dan aktual dari kehidupan umat Islam yang hendak dijawabnya.
Keberislaman yang materialis adalah bentuk keberagamaan yang progresif. Sebagai suatu bentuk keberagamaan, ia memiliki pendekatan yang khusus dalam memaknai keimanan dan keislaman yang dianutnya—keimanan dan keislaman tak cukup diyakini dan diamalkannya, tapi juga mendorongnya mengubah kondisi keumatan yang objektif, yang menjadi syarat agar keimanan dan keislamannya dapat ditegakkan dengan sempurna. Seorang Muslim progresif yang materialis tidak puas dengan shalat lima waktu dan berzakat, sampai menyadari bahwa shalat dan zakatnya membawa dampak signifikan bagi perbaikan hidup orang-orang di sekelilingnya. Dalam menjalankan syariat Islam, ia percaya bahwa syariat itu, jika sungguh-sungguh membawa rahmat, tidak dapat melibatkan unsur yang eksploitatif atau merugikan sesama. Ia tidak akan berhaji dari uang yang diperoleh dari tunggakan gaji para buruh, atau hasil menjual lahan yang menjadi tempat bergantung hidup keluarga miskin proletar. Ia berhaji dari keringatnya sendiri bekerja. Ia menyadari bahwa keberislamannya terkait dengan kondisi-kondisi sosial yang ada.
Di dalam etos keberislaman ini, tercakup konsepsi ekopol yang juga bersifat materialis. Ekopol ini merupakan konsepsi yang memberi landasan praktis bagi kegiatan ekonomi keberislaman ini. Setidaknya, ekopol ini dibangun di atas enam gagasan:
Pertama, Islam memiliki konsep tersendiri tentang ekonomi—yang tidak adaptif, cair, dan fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Ini bertentangan dengan pendapat Baqir al-Shadr yang menyatakan bahwa tidak ada konsep ekonomi yang khusus dalam Islam. Bagi ekopol Islam progresif, sebaliknya, Islam memiliki konsep ekonomi. Namun, konsep ini tidak seluruhnya tekstual, melainkan aksiomatik. Ia didasarkan pada aksioma-aksioma tertentu. Aksioma ini bukan sistem nilai, melainkan acuan yang bersifat material, yang dapat menjadi koreksi bagi suatu praktik ekonomi. Di antara aksioma-aksioma itu, misalnya, adalah takatsur (akumulasi), riba (rente/ekspropriasi nilai), dan ifsad (merusak). Praktik ekonomi Islam tidak boleh mengandung ketiga hal ini, secara aksiomatik. Karena itu, di sini kita melihat aksioma kapitalisme pada dirinya tidak sejalan dengan aksioma Islam.
Kedua, ekopol Islam merupakan bagian dari utopia pembebasan umat manusia yang lebih luas. Bagi ekopol Islam status quo, ekonomi Islam hanya melayani umat Islam secara khusus. Bagi Islam progresif, ekopol Islam melayani juga umat-umat lain, dan menjadi bagian dari utopia masyarakat luas yang bebas dari penindasan, eksploitasi, dan marjinalisasi. Berkah ekonomi Islam harus dapat berdampak dan dinikmati oleh kalangan-kalangan yang tertindas dan terpinggirkan, yang juga mengalami kesulitan ekonomi atau himpitan oleh sistem ekopol dominan.
Ketiga, ekopol Islam terletak pada dimensi materialisnya, yang diselubungi oleh ajaran moral dan etisnya. Berbeda dengan konsepsi para ekonom Muslim yang melihat inti ajaran Islam terletak pada dimensi moralnya. Hubungan antara ajaran moral dan etis (seperti keadilan, berbuat baik (“ihsan”), dll.), ajaran legal-formal (seperti ZIS [Zakat, infaq, shadaqah]), dan dimensi materialisnya bersifat dialektis: satu sama lain bekerja secara terkait, timbal-balik, dan saling menegasikan. Contohnya, untuk menangkap dimensi materialis dari keadilan, maka sifat ideal-moral dari keadilan harus dinegasikan. Pada gilirannya, keadilan dibenturkan dengan kondisi-kondisi materialnya (misalnya: adil bagi kapitalis berbeda dari adil versi buruh), sehingga dimensi materialis dari ajaran tersebut tertangkap.
Keempat, ajaran-ajaran moral yang telah disuling dimensi materialisnya itu diwujudkan dalam bentuk praktik ekonomi yang berkeadilan dan bersifat mengikat (syar’i).
Kelima, ekopol Islam memiliki bobot kritis: ia membongkar praktik-praktik eksploitatif dari sisa-sisa pengaruh ekopol yang dominan sebelumnya.
Keenam, ekopol Islam bertolak dari analisis kelas, sebagai ranah bagi pembagian kerja dan keragaman profesi umat Islam.
Ketujuh, ekopol Islam memiliki watak pergerakan. Ia tidak berorientasi pada penguatan kelembagaan (institutional economy), tapi berorientasi pada pengorganisiran secara terus-menerus. Dengan bertolak dari analisis kelas atas situasi yang ada, pergerakan ini bertujuan mendekatkan ekopol Islam kepada pembebasan yang menjadi kerangka besar perjuangannya.
Perjuangan Islam Progresif ke depan adalah perjuangan memperdalam praksis keberislaman yang materialis ini. Perjuangan ini tentu tak mudah, karena untuk itu kita harus melakukan kritik terus-menerus atas ekopol liberalisme Islam dan ekopol neoklasik yang terselubung di baliknya. Suatu pembacaan Al-Qur’an dan Sunnah yang materialis yang diperlukan, demikian juga warisan pemikiran Islam (turats), sejarah Islam dan sejarah sosial umat Islam. Rangkaian pembacaan ini belum sungguh-sungguh dilakukan di kalangan umat Islam, dan karenanya menunggu untuk dikerjakan. Tugas teoretis ini sejalan dengan tugas praktis mengaktualkan pesan-pesan pembebasan Islam melalui gerakan sosial, politik, dan ekonomi: melepaskan Islam dari kejahatan dan kemungkaran (al-fahsya’ wa al-munkar) kapitalisme aktual, yang melanggengkan penindasan sewenang-wenang (al-baghy)[8] di muka bumi.[]
*Makalah pada diskusi “Ekonomi-politik ala Islam: Kiri atau Kanan? Perdebatan Diskursus Islam Progresif dan Islam Liberal”, FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 19 September 2016. Rekaman video diskusi tersebut bisa dilihat di tautan youtube di bawah catatan akhir tulisan ini.
[1] Ulil Abshar-Abdalla, “Nabi Muhammad dan Intervensi Pasar”, islamlib.com, 11/08/2015. Tulisan ini merupakan salah satu pernyataan eksplisit, dari sekian tulisan lain di situs islamlib.com yang secara tidak sistematis dan tambal-sulam menggambarkan keberpihakan kaum Muslim liberal terhadap kapitalisme. Di luar itu, dalam isu-isu politis, keberpihakan kalangan ini terhadap kepentingan para pemodal ditunjukkan oleh respons kalangan ini (antara lain Luthfi Assyaukanie dan Guntur Romli) dalam isu-isu penggusuran kaum miskin di Jakarta, dan lain-lain di “media sosial”.
[2] “Kebebasan ekonomi” dalam arti semakin terbukanya pasar, bukan kebebasan menikmati hasil-hasil ekonomi. Kebebasan yang terakhir ini justru makin memburuk di bawah ketimpangan yang merajalela.
[3] “Baznas: Kendalikan Kesenjangan Turunkan Rasio Gini”, republika.co.id, 10 Mei 2016.
[4] Rilis media FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam), www.daulathijau.org/?p=934
[5] Laporan Rifki Ismal, The Indonesian Islamic Banking, 2011; dikutip dalam M. Dawam Rahardjo,Arsitektur Ekonomi Islam, Mizan 2015, h. 54.
[6] Chibli Mallat, Menyegarkan “Islam”: Kajian Komprehensif Pertama atas Hidup dan Karya Muhammad Baqir al-Shadr, Mizan 2001, h. 179.
[7] M. Dawam Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam, Ibid., Bab 7.
[8] Dalam Shafwat al-Tafasir, Syekh ‘Ali al-Shabuni ketika mengomentari Q.S. al-Nahl: 90, mendefinisikan ketiga term ini dengan menarik. Al-fahsya’, kejahatan, dipahaminya sebagai “sesuatu yang kejelekannya berhingga” (tak dapat terus-menerus dilakukan dan dapat diakhiri); al-munkar, kemungkaran, sebagai “sesuatu yang diingkari oleh fitrah kemanusiaan”, dan al-baghy, kesewenang-wenangan, sebagai “kelaliman dan pelanggaran atas kebenaran dan keadilan”. Hal-hal ini dapat ditemukan di dalam kapitalisme: kapitalisme merupakan kejahatan, kemungkaran, sekaligus kesewenang-wenangan. Krisis kapitalisme menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat terus-menerus dipertahankan dan karenanya dapat berakhir atau kolaps; pada wataknya yang eksploitatif, sistem itu memunggungi naluri kemanusiaan yang menginginkan kesetaraan dan keadilan ekonomi; dan sistem itu tak segan-segan akan memakai cara-cara represif dan aniaya untuk melindungi kepentingan pemodal. Hanya karena bentuk sistemiknya-lah kapitalisme sulit untuk diidentifikasi dengan ketiga pengertian ini sehingga terkadang kita melihat ekspresinya secara sporadis.
http://islambergerak.com/2016/10/membangun-keberislaman-yang-materialis-arah-perjuangan-ekonomi-politik-islam-progresif/
0 komentar:
Posting Komentar