Sabtu, 1 Oktober 2016 | 8:50
[JAKARTA] 51 tahun tragedi 1965 banyak persoalan yang tak kunjung selesai. Pertanggungjawaban dari negara yang ditunggu-tunggu jauh panggang daripada api. Untuk memulainya memang butuh kebesaran hati, misalnya, meminta maaf kepada salah satu unsur korban yaitu kaum eksil yang terbuang dan harus menyandang status warga negara lain untuk bertahan hidup.
Menurut peneliti LIPI dan ahli sejarah Asvi Warman Adam, ribuan eksil tidak membutuhkan ganti rugi berupa uang. Mereka hanya membutuhkan permohonan maaf dan pengakuan dari negara mengenai adanya tragedi 1965 yang memaksa mereka menjadi eksil.
"Uang ganti rugi, bagi mereka yang sudah berusia 80 tahun tidak penting. Mereka hanya butuh permintaan maaf. Sangat mudah bagi pemerintah kalau mereka punya hati untuk meminta maaf," kata Asvi dalam diskusi bertema "Gerakan 30 September Hari Ini : Rekonsiliasi dan Sejarah Masa Depan Indonesia" yang diadakan Para Syndicate di Jakarta, Jumat (30/9).
Bukan hanya para eksil, terhadap korban yang mendekam lama di Pulau Buru juga demikian. Permohonan maaf merupakan pengakuan yang berarti bagi mereka yang menjadi korban atas tragedi politik. Apalagi sanak famili yang tidak mengetahui atas peristiwa berdarah 1965 ikut menanggung beban lantaran stigma yang terus melekat hingga sekarang.
"Mereka hanya diberi secarik kertas sewaktu keluar dari Pulau Buru agar tidak menuntut pemerintah," katanya.
Asvi meminta pemerintah juga mengakui adanya pembunuhan massal 1965 agar peristiwa tersebut tidak terulang di kemudian hari. Seperti peristiwa penculikan yang terus terulang dimulai terhadap Otto Iskandar Dinata hingga yang dilakukan oleh Tim Mawar pada 1998.
"Pembunuhan massal terjadi harus diakui. Orang yang melakukan itu tidak mau dituntut itu perkara lain. Tidak disebut namanya tidak apa-apa. Harus diakui karena kalau tidak dibereskan akan terulang kembali. Contoh nyata adalah penculikan yang berlangsung terus-menerus seperti terhadap Otto Iskandar Dinata, kemudian oleh Tim Mawar," ujarnya.
Ketum PNI Marhaenisme Sukmawati Soekarnoputri juga berharap pemerintah mau legowo meminta maaf kepada seluruh korban. Sementara pengamat pertahanan Kusnanto Anggoro menilai permintaan maaf kepada korban bukan perkara mudah untuk dilakukan pemerintah karena membutuhkan pertimbangan politik bukan pertimbangan moral.
"Yang dibutuhkan adalah pertimbangan politik bukan pertimbangan moral maka membutuhkan waktu," kata Kusnanto. [E-11]
http://sp.beritasatu.com/home/51-tahun-tragedi-1965-kaum-eksil-hanya-butuh-permintaan-maaf/117033
0 komentar:
Posting Komentar