Oleh Nur Janti
PKI pernah menjadi partai paling kuat di Yogyakarta.
Anggotanya dibersihkan dari DPRD setelah peristiwa 1 Oktober 1965.
Suasana rapat Komisi D DPRD Yogyakarta tahun periode
1977-1982. Foto: repro buku "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta Hasil Kerja DPRD DIY 1977-1982."
SEJAK Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi
partai paling kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta. PKI menguasai mayoritas kursi
DPRD dari 1955 sampai 1965. Pada pemilu pertama itu, PKI meraih 10 dari 40
kursi DPRD. PKI merebut 14 kursi Pada pemilihan anggota DPRD untuk menggantikan
DPRD Peralihan pada 1957.
Menurut Julianto Ibrahim, pada kampanye Pemilu 1955, PKI
aktif melakukan agitasi, infiltrasi, dan penggalangan massa di desa-desa
melalui organisasi onderbouw-nya. PKI juga melakukan pengkaderan terhadap
para buruh perkotaan, mahasiswa, pelajar, guru, bahkan militer. Selain itu,
dalam upaya menguasai pemerintahan, PKI lebih suka berkerja sama dengan PNI.
“Upaya melakukan penggalangan massa di desa maupun perkotaan dan bekerja sama dengan partai lain terbukti membawa hasil yang baik pada Pemilu 1955,” tulis Julianto, “Goncangan pada Keselarasan Hidup di Kesultanan,” termuat dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II Konflik Lokal.
Sementara itu, menurut Selo Soemardjan dalam Perubahan
Sosial di Yogyakarta, salah satu faktor yang membuat PKI menarik minat banyak
rakyat Yogyakarta adalah model kampanyenya yang berbeda. PKI melakukan
pendekatan kepada rakyat dengan melakukan kunjungan langsung yang disebut Anjangsana. Untuk
mencegah kejenuhan para calon pemilih, partai membuat sistem rolling kunjungan
sehingga tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda. Untuk melakukan kampanye
ini, PKI membutuhkan kader yang loyal mengingat strategi ini sangat
menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Selain Anjangsana, PKI juga menyelenggarakan
hiburan rakyat, misalnya pertunjukan ketoprak. Dalam pertunjukan diselipkan
dialog yang mengandung nilai-nilai komunisme. Orang-orang berbondong-bondong
datang ke balai desa untuk menonton pertunjukan tersebut, mengingat penduduk
desa saat itu kekurangan hiburan. Model kampanye yang berbeda ini menjadi
metode yang efektif untuk menarik simpati rakyat.
Dominasi PKI di DPRD Yogyakarta berakhir pasca peristiwa
1 Oktober 1965. PKI dan semua organisasinya dilarang. Orang-orang PKI
dibersihkan, mulai dari lembaga negara hingga rakyat biasa. DPRD Yogyakarta
salah satu lembaga yang melakukan pembersihan terhadap anggotanya dari PKI.
Sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, DPRD Yogyakarta
melakukan penyusunan ulang anggota pada 26 Januari 1965. Berdasarkan arsip DPRD
Yogyakarta No. 1/K/DPRD-GR/1965 terdapat 42 orang yang duduk di DPRD Yogyakarta
dengan 8 orang berasal dari PKI.
Bersih-bersih lembaga negara dilakukan berdasarkan
Pedoman Pemberantasan PKI dalam Tubuh Aparatur Negara yang ditandatangani Wakil
Kepala Daerah Pakualam VIII tanggal 26 Juli 1966. Pedoman tersebut berdasar
pada Instruksi Kogam No. 09/1966.
Berdasarkan arsip tersebut, diinstruksikan bahwa
pembersihan di tiap lembaga berdasarkan laporan kepala dinas di masing-masing
instansi. Kepala dinas bertugas untuk melaporkan nama-nama bawahannya yang
menjadi anggota PKI atau organisasi yang dekat dengan PKI tanpa perlu melakukan
interogasi. Orang yang tidak terima dituduh PKI diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri kepada kepala daerah selambatnya September 1966.
Di tubuh DPRD Yogyakarta, terdapat 14 orang yang diberhentikan.
Dari Surat Keputusan Pimpinan DPRD DIY No. 14/Kt-DPRD-GR/1965 anggota Fraksi
PKI yang dikeluarkan dari DPRD Yogyakarta adalah Sudjiono, Sudibjo, A.M.
Hardjono, Djaetun Dirdjowijoto, Nyonya S. Partoarmodjo, Marlan, Suwarno, dan
Alimu Hardjodisastro. Sedangkan enam orang lainnya adalah Nyonya Sumarni
Effendi (Gerwani), D.D. Susanto (Angkatan ‘45), Sudjadi Tjokroatmodjo (seniman
Lekra), S. Djojohutomo (Barisan Tani Indonesia), Nona Murwani (SOBSI), dan Ir.
Munadji (cendekiawan). Dari 14 orang yang dikeluarkan, dua di antaranya anggota
pengganti yang belum sempat dilantik. Dua orang tersebut adalah Nona Murwani,
yang seharusnya menggantikan posisi Sutikno dan Ir. Munadji menggantikan Prof.
Ir. S. Purbodiningrat.
Purbodiningrat merupakan anggota DPRD Yogyakarta dari
fraksi PKI sejak 1958 hingga 1961. Baru pada 1964, dia masuk sebagai golongan
fungsional, khususnya cendekiawan.
Setelah pembersihan selesai dilakukan, DPRD Yogyakarta
melakukan pengangkatan anggota baru melalui Keputusan Kepala Daerah No. III/1966
tanggal 20 Oktober 1966. Sebanyak 13 orang diangkat untuk mewakili Golongan
Politik. Mereka berasal dari PNI (6 orang), NU (2 orang), serta IPKI, PSII,
Partai Katholik, Parkindo, Partindo (masing-masing 1 orang). Sedangkan wakil
dari Golongan Karya diangkat sebanyak 17 orang, terdiri atas fraksi Angkatan
Bersenjata (6 orang), rohaniawan (2 orang), pembangunan spiritual (5 orang),
dan pembangunan materiil (4 orang).
Baru berjalan enam hari, pengangkatan tersebut direvisi
dengan mengadakan open-talk. Pertemuan pada 26 Oktober 1966 itu dipimpin
oleh Komandan Korem 072/Pekuper Yogyakarta/Kedu. Hasil pertemuan mengubah
jumlah wakil dari kedua golongan, yakni 27 orang wakil berasal dari Golongan
Politik dan 21 orang berasal dari Golongan Karya.
0 komentar:
Posting Komentar