Senin, 23/12/2019 08:25 WIB
Asfinawati, Ketua Umum YLBHI (ABC)
Menjadi advokat yang memperjuangkan nasib rakyat bukanlah
pekerjaan wangi. Banyak risiko yang harus dihadapi, seperti teror dan
intimidasi yang kerap dilakukan oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tidak sembarang orang mau memilih jalan ini, apalagi bagi seorang perempuan.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi seorang Asfinawati.
Perempuan kelahiran Bitung, 6 November 1977 ini justru terjun ke bawah untuk
membela kaum lemah yang tertindas, meskipun kadang nyawa jadi taruhannya.
“Itu memang risiko yang harus disadari sejak awal dan siap ditanggung. Tetapi bukan berarti kita diam saja pasrah menanti nasib,” ujarnya, saat ditemui law-justice.co beberapa waktu lalu.
Asfinawati yang menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, awalnya tidak pernah bermimpi menjadi seorang pejuang
hak asasi manusia. Tapi setelah melihat ketidakadilan dan masih banyaknya
penindasan terhadap rakyat, dia pun memilih Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta menjadi wadah perjuangannya. Ia bahkan pernah dipercaya sebagai
direktur di lembaga tersebut periode 2006-2009. Saat ini, Asfinawati menjabat
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), periode 2017-2021.
Mendapat tanggung jawab sebagai pimpinan, membuat ia
semakin konsisten memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas. Di
kantornya YLBHI, Asfinawati sering mendapat laporan atau aduan dari masyarakat
dari seluruh Indonesia. “Saya seperti keliling Indonesia, karena banyak orang
dari berbagai daerah sering datang kesini untuk mengadu,” kata Asfinawati.
Berikut ini obrolan lebih jauh bersama Asfinawati,
mengenai berbagai hal terutama kerisauannya terhadap ketidakadilan yang masih
terus berlanjut di tanah air:
Bagaimana YLBHI
melihat kondisi negara ini?
Sejak dulu YLBHI tidak hanya berfungsi sebagai
lembaga bantuan hukum yang menyelesaikan kasus, tapi lebih dari itu, seperti
soal kebijakan dan soal demokrasi. Karena kalau kita melihat, sebenarnya
masalah hukum sangat dipengaruhi oleh kondisi politik. Ketika situasi
politiknya terbuka, maka pasti produk hukumnya terbuka, tetapi bila
pemerintahnya otoriter dan kondisi politiknya jelek, pasti produk-produknya
menindas rakyat.
Jadi saya sendiri percaya bahwa YLBHI harus banyak
bergerak bersama orang dan kelompok atau lembaga karena tidak mungkin persoalan
demokrasi diselesaikan oleh YLBHI sendiri. Sangat tidak mungkin. Karena itu
yang utama adalah bagaimana merajut pertemuan dan gerakan dengan organisasi
atau orang atau kelompok yang punya pikiran yang sama.
Hingga saat ini
masih ada perlakuan atau tindakan intimidasi terhadap para pejuang-pejuang
kemanusiaan, pendapat Anda?
Pertama, itu memang resiko yang harus disadari sejak awal
dan siap ditanggung, tetapi bukan berarti kita diam saja pasrah menanti nasib.
Sebenarnya sejak lama banyak kelompok mengusulkan adanya perlindungan terhadap
pembela HAM. Ini kan ada deklarasinya secara internasional. Jangan salah, yang
disebut pembela HAM itu bukan mereka yang tergabung di Non Government
Organization (NGO), bukan begitu.
Tetapi petani yang memperjuangkan haknya, dan kalau dia
percaya nilai-nilai universal dan lain-lain, itu juga pembela HAM. Guru juga
bisa disebut pembela HAM.
Kedua, mungkin kita juga perlu membuat strategi soal
keamanan, baik secara personal maupun secara jaringan. Misalnya, sebaiknya
banyak orang yang muncul, sehingga dia tidak menyasar hanya satu orang,
meskipun itu juga tidak terhindarkan, walau sudah banyak aktor tetap saja.
Atau ada kemungkinan lain, dia dipilih secara random atau
secara acak hanya untuk menakut-nakuti, itu ada juga. Jadi pesannya adalah
sengaja dipilih bukan yang paling inti, karena kalau intinya diserang, nanti
orang akan marah. Misalnya suatu kasus yang kolektif seperti perburuhan atau
tanah, diambil yang tidak terlalu penting tapi bagian dari mereka supaya terlalu
tidak meledakkan kemarahan tapi memberikan sinyal “hati-hati ya kalau kamu
masih terus akan dibeginikan”.
Itu terus terjadi, dan yang menarik nyaris tidak ada yang
terungkap kasusnya oleh kepolisian dan kalaupun ada itu hanya menyasar orang
yang melakukan dan bukan orang yang menyuruh. Misalnya dalam konflik di Jambi,
sebelum peristiwa yang menimpa anggota YLBHI yaitu Era, sebenarnya ada
teman-teman yang dari masyarakat yang dibunuh dan kemudian diadili, tapi cuma
pelaku lapangan, kan tidak mungkin dia dan motifnya apa?
Dalam setiap rezim,
adakah perbedaan setiap penguasa dalam menyelesaikan kasus HAM?
Sebenarnya ada perbedaan, ini pertanyaan yang bagus dan
sulit dijawab. Jadi begini, kalau soal komitmen, pada masa Jokowi ini sangat
buruk karena dia tidak punya perhatian terhadap kondisi HAM dan demokrasi.
Tetapi bukan berarti pada masa yang lalu situasi baik, tidak! Pada pemerintahan
yang lalu seperti Habibie, meskipun saat itu ditekan secara internasional,
beliau banyak sekali melakukan perubahan-perubahan soal norma. Ia meratifikasi
undang-undang, meratifikasi hukum internasional soal HAM, mengeluarkan UU yang
tentang HAM, banyak sekali dalam konteks tertentu.
Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY ini memang
tidak bisa menyelesaikan banyak persoalan, tetapi ada satu atau dua kasus yang
dia tunjukkan bahwa pemerintah punya perhatian soal HAM, misalnya kasus Munir
dan itu luar biasa sekali bagaimana pertama kalinya seorang mantan pejabat
Badan Intelijen Negara (BIN) bisa dibawa ke pengadilan.
Meskipun dibebaskan, setidak-tidaknya kita tahu aparat
penegak hukum punya komitmen. Meskipun didorong dengan keras, tapi pada
akhirnya berhasil. Jadi kita tahu ada pesan bahwa setiap orang yang melakukan
pelanggaran hukum, akan bisa dibawa ke pengadilan dan semuanya sama.
Hal-hal yang serupa itu menunjukkan kepada publik ada
satu dua kasus yang dianggap penting itu tidak kelihatan di pemerintahan
Jokowi. Jadi pesan yang tampak malah semacam “Saya tidak peduli dengan isu HAM,
saya tidak peduli dengan isu hukum,” dan itu dia tunjukkan berkali-kali, mulai
dari tidak ada pengungkapan atau penyelesaian kasus-kasus penting yang jadi
indikator dan juga pernyataan publik, dan pidato-pidato kenegaraan yang
penting.
Kenapa satu dua kasus itu penting untuk ditunjukkan
kepada publik, karena kalau seorang pembela HAM yang sangat terkenal
seperti Munir atau penyidik KPK seperti Novel Baswedan itu bisa dicelakai tanpa
ada orang yang ditangkap, maka mafia akan berpikir begini, “berarti saya bisa
lakukan lagi dan apalagi kepada orang-orang biasa. Kalau Novel saja saya siram
begitu tidak terungkap, berarti saya bisa lakukan lagi, apalagi kepada orang
yang tidak punya kuasa”.
Dalam pembentukan
UU tentang hukum dan HAM, apakah YLBHI pernah diundang atau dimintai
pendapatnya?
Pernah, tapi seingat saya tidak setiap undang-undang.
Yang sering mengundang itu Bappenas. Kalau yang lain sangat jarang. Saat
pembuatan undang-undang terbuka untuk publik, bahannya tidak diungkap di situs,
jadwalnya tidak diungkap, kadang-kadang rapatnya di hotel, bagaimana kita bisa
tahu?
Apa harapan Anda
dan YLBHI terhadap Indonesia?
Harapan saya terhadap YLBHI, dia akan terus bersama
gerakan rakyat, dia tidak tergelincir ke dalam sikap elitis dan menganggap
bahwa advokasi terhadap pemerintah itu lebih penting daripada bertemu rakyat.
Kenapa saya bilang begitu? Karena pada masa awal-awal
reformasi ada sebuah pertemuan strategi dan itu dipikirkan kita mungkin perlu
memperkuat negara karena kita baru keluar dari negara otoriter. Apa yang
terjadi? Negara khususnya pemerintah makin kuat, tapi semakin kuat menindas
rakyat. Kita lihat setelah 21 tahun reformasi ini tiba-tiba negara menunjukkan
tanda-tanda yang serupa dengan masa pemerintahan orde baru.
Kalau ada yang bilang, oh kita masih jauh. Ya tentu saja
karena ini baru enam tahun bukan 32 tahun. Jadi jangan dibandingkan dengan
tahun ke 32. Tapi sinyal-sinyal elemennya kan ada, pengaturan masuknya kembali
militer, polisi di berbagai posisi sipil, kemudian kategori-kategori yang
dipakai yang sangat tidak jelas yang merefleksi membatasi kebebasan sipil,
seperti kemarin itu isu radikalisme. Radikalisme itu mencampurkan antara
terorisme dengan intoleransi, padahal itu jauh sekali di dalam kajian. Menjadi
intoleran dengan menjadi teroris itu hal yang sangat jauh sekali.
Harapan kepada negara, sebenarnya begini, negara itu bisa
menyelesaikan bukan dengan elit, setidaknya itu yang ditunjukkan dalam 21 tahun
reformasi. Reformasi mengajarkan kita bahwa masalah bisa diselesaikan dengan
rakyat atau dengan orang biasa. Karena itu semoga semua orang di Indonesia itu
menyadari panggilannya bahwa Indonesia bisa lebih menjadi makmur, bisa menjadi
lebih sejahtera, bisa menjadi lebih aman, ya karena kita bukan karena elit.
Elit menunjukkan dia yang merampas hak-hak kita dan memecah belah masyarakat.
*
(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko
Alum)
0 komentar:
Posting Komentar