Selasa, 18 Desember 2018

Ketika PKI Lawan Agresi Belanda

Martin Sitompul | 18 Desember 2018


Agresi militer Belanda kedua menjadi titik balik bagi PKI untuk memulihkan citranya kembali usai Peristiwa Madiun 1948.

Alimin, salah satu tokoh pimpinan PKI pasca pemberontakan Madiun. (Repro Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2 karya Harry Poeze).

KOTA Yogyakarta dihujani bom. Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta berhasil ditawan. Sejumlah menteri ikut ditangkap. Pemerintahan lumpuh. Panglima Besar Jenderal Soedirman menyingkir ke pedalaman untuk mempersiapkan perang gerilya. Situasi darurat itu terjadi setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada  Minggu,19 Desember 1948.

Namun di luar TNI, masih ada kekuatan bersenjata yang lain. Mereka adalah onderbouw militer PKI sisa-sisa pemberontakan Madiun. Karena menghindari kejaran pasukan TNI, mereka menyempal ke daerah pendudukan Belanda.  
“Onderbouw militer PKI adalah Brigade Dahlan yang juga pasukan Pesindo. Untuk lolos dari pukulan kita, pasukan itu bergerak ke daerah pendudukan,” kata sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo (91) kepada Historia.
Sayidiman saat itu komandan taruna Akademi Militer (Pasukan MA) Yogya. Dia bertugas di Batalyon Nasuhi yang masuk dalam Divisi Siliwangi  untuk menumpas pasukan merah di Madiun. Menurut Sayidiman, Batalyon Maladi Yusuf termasuk bagian dari kekuatan pemberontak yang paling kuat. Mereka berbasis di Tawangmangu, Jawa Tengah.
 “Sebab itu ketika Belanda melakukan agresi, pasukan-pasukan itu yang belum kita hancurkan. Pasukan-pasukan itu kemudian turut melawan Belanda,” kata Sayidiman.

Memulihkan Citra Partai

Pasca-Peristiwa Madiun, PKI adalah partai yang kalah, tersingkir dari peta kekuasaan. Pengurus partai terpencar-pencar, menghindar dari kejaran pemerintah. Setelah Musso dan Maruto Darusman dieksekusi mati, Tan Ling Djie sebagai orang ketiga dalam partai menjadi pimpinan Central Comite (CC) sementara.

Tan Ling Djie bersama beberapa pentolan partai berhasil melarikan diri dari penjara Wirogunan, Yogyakarta. Beberapa di antaranya seperti Alimin, Abdoelmadjid, dan tahanan PKI lainnya. Serangan udara yang dilancarkan Belanda ke Yogya memungkinkan mereka kabur. Setelah bebas, mereka berupaya memulihkan citra partai yang kadung tercoreng.

Menurut arsip Belanda yang dikutip Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3, Tan Ling Djie mendirikan Pusat PKI Darurat di Kediri. Di dalamnya terdapat anggota Politbiro yang masih tersisa: Wikana, Soedisman, Abdoelmadjid, Djokosoejono, Tjokronegoro, dan Setiadjit. PKI kembali beraktivitas di bawah tanah.

Namun hubungan CC sementara dengan struktur partai di bawahnya nyaris terputus. Seksi Comite (SC) Surakarta, misalnya, berinisiatif menggelar konferensi di Eromoko, sebelah barat daya Kabupaten Wonogiri. Konferensi dihadiri utusan SC dan OSC di Jawa Tengah berikut kader-kader militer. Hasil konferensi antara lain membubarkan Front Demokrasi Rakyat (FDR) tapi secara alamiah meleburkan diri ke dalam PKI serta memperkuat sarana untuk perang gerilya melawan Belanda.
“Ketika itu potensi kekuatan massa PKI masih cukup baik. PKI juga punya banyak kader di sejumlah laskar maupun di tubuh TNI,” ujar Siswoyo, kala itu sekretaris SC Surakarta, dalam memoar Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri.
CC sendiri berupaya membangun kembali kepercayaan masyarakat dengan seruan membentuk front perlawanan terhadap Belanda. Kebijakan ini ditunjukkan dengan memobilisasi desa-desa basis PKI untuk mendukung perang gerilya. Sin Po, 19 Januari 1949, memberitakan, “di Yogyakarta, kaum komunis berjuang bersama-sama dengan TNI.”

Untuk tujuan yang sama, Alimin bergerak di Wonogiri, kemudian Solo. Alimin menyelenggarakan kursus kader desa dengan membentuk Gerakan Rakyat Anti Penjajahan (GRAP). “Dari kegiatan ini, di tiap-tiap kampung terdapat satu kelompok PKI,” tulis Harry Poeze dalam bukunya yang lain, Madiun 1948: PKI Bergerak.

Dirangkul Pemerintah

Pemerintah menganggap Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan tetapi PKI tak dilikuidasi. Bahkan pada 7 September 1949 pemerintah mengisyaratkan perdamaian. Di sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Menteri Kehakiman Susanto Tirtoprodjo menyatakan organisasi yang terlibat dalam Peristiwa Madiun diperbolehkan meneruskan kegiatan selagi menghormati hukum dan tak merugikan negara. Mereka yang terlibat tak akan dituntut, kecuali yang melakukan tindakan kriminal. Kedudukan anggota PKI dalam parlemen lantas dikembalikan.

Pemerintah kemudian menawarkan musyawarah informal. CC mengutus Alimin, sementara pemerintah diwakili Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penunjukan Alimin tak terlepas dari ketokohan dan pengalamannya dalam partai.

Pertemuan Alimin dengan Sultan berlangsung di pinggiran kota Yogyakarta. Sebagaimana dituturkan Siswoyo dalam memoarnya, dialog terjalin akrab. Sesekali diselingi kromo inggil, bahasa Jawa halus. Sultan berujar pengetahuannya tentang Marxisme masih terbelakang. Karena ingin belajar, Sultan minta dicarikan buku Das Capital. Pertemuan menghasilkan persetujuan: PKI diminta giat kembali secara legal guna memperkuat Republik Indonesia menghadapi rencana pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), buah dari perundingan KMB.

Arnold Brackman dalam Indonesian Communism: A History mengemukan beberapa argumen lain kenapa PKI masih diberi kesempatan kedua. Antara lain, dengan banyaknya pemimpim PKI yang tewas, PKI tak lagi dianggap lawan berat. Pemerintah punya pandangan bahwa lebih mudah mengawasi gerak PKI yang legal ketimbang ilegal. Selain itu, PKI diperlukan untuk menjadi sekutu dalam menetralisir modal asing milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.

Setelah adanya jaminan pemerintah, Alimin tak menyia-nyiakan kesempatan. “Berkali-kali dikabarkan meninggal, Si jago tua PKI muncul,” tulis Sin Po, 16 September 1949. Alimin tampil ke muka publik, memulihkan reputasi PKI atas apa yang terjadi di Madiun.

Nasib PKI kian jelas ketika pada 4 Februari 1950, pemerintah menegaskan kembali bahwa PKI tak dilarang dengan catatan apabila mau mematuhi hukum dan tata tertib negara. Gubernur militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto juga memberikan kesempatan yang sama bagi pasukan militer yang berafiliasi dengan PKI. Mereka ditampung dalam Komando Jawa Tengah.
“Pak Gatot mengampuni pasukan-pasukan itu. Dan setelah tahun 1949 mereka ada di Teritorium IV Jawa Tengah atau Divisi Diponegoro,” kata Sayidiman.
“Sebab itulah pada tahun 1965 di Kodam Diponegoro ada pasukan yang berpihak PKI."

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar