Jumat, 21 Desember 2018

Sejarah Kotagede: Gelap-Terang Hubungan PKI dan Muhammadiyah

Oleh: Petrik Matanasi - 21 Desember 2018

Anggota Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, ditahan oleh milter (30/10/1965). FOTO/AP

Kotagede pernah "merah" sebelum G30S. Setelah Oktober 1965 orang-orang kiri dipersekusi dan Muhammadiyah berjaya.
Kotagede menjadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir. Pemicunya adalah soal pemotongan nisan salib di pemakaman umum Jambon, Purbayan pada Senin (17/12/2018). 

Direktur Riset SETARA Halili Hasan mengaitkan peristiwa itu sebagai tengara munculnya sikap intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Provinsi DIY, menurutnya, harus memberikan perhatian lebih untuk merekonstruksi toleransi di DIY.
"Pemprov harus memberikan perhatian lebih tentang bagaimana merekonstruksi toleransi tidak hanya di permukaan, tapi pada lapis terdalam toleransi di level hidup keseharian masyarakatnya," ujar Halili saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/12/2018).
Pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Kotagede pernah mengalami situasi ketegangan akibat konflik politik dan persaingan merebut simpati rakyat antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Muhammadiyah. PKI dan Muhammadiyah kala itu sama-sama kuat. 

Tapi setelah G30S berhasil dipadamkan dan orang-orang kiri ditangkapi, Muhammadiyah muncul sebagai kekuatan dominan di Kotagede. Tokoh-tokoh Muhammadiyah kemudian merangkul orang-orang yang dituduh PKI dan berusaha "mengislamkan" mereka.

Dua Jago dalam Satu Kandang

PKI masuk ke Kotagede tak lain berkat peranan tokoh Sarekat Islam (SI) asal Surakarta. “PKI masuk ke Kotagede dibawa oleh seorang tokoh Sarekat Islam dari Surakarta dan segera mendapat dukungan besar,” begitu yang tertulis dalam Ngesuhi Deso Sak Kukuban: Lokalitas, Pluralisme, Modal Sosial Demokrasi (2002: 25). 

PKI memang laris manis di kecamatan yang sekarang termasuk wilayah Kota Yogyakarta itu. Bahkan pada 1924 Kongres PKI pernah diadakan di sana, meski katanya ada orang-orang yang risih dengan kongres tersebut. Hingga menjelang 1965, PKI boleh dibilang sama kuat dengan Muhammadiyah. 

Sebelum 1965, keduanya ibarat dua ayam jago dalam satu kandang. Mereka saling mengungguli dengan cara beradab, terutama di lapangan kebudayaan.

Sepengakuan Asnawi dalam Suara di Balik Prahara (2011), demi mengimbangi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI, Muhammadiyah punya Sanggar Bulus Kuning di Kotagede (hlm. 114). 

Pada masa itu dua organ Muhammadiyah di bidang kepemudaan, Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah (NA), aktif dalam berkesenian. Mereka bersaing dengan dua onderbouw kepemudaan PKI, Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Gerwani (Gerwani). Organ yang disebut terakhir sangat aktif berkegiatan di sekitar Kotagede. 

Menurut Asnawi, Gerwani bukan lawan sepadan NA. NA sendiri lebih dikenal dengan kesenian angklungnya.

Memang ada ketegangan sebelum 30 September 1965 di sana. Maksudnya, jika orang-orang Islam melakukan pengajian, maka orang-orang yang berseberangan dan dicap merah biasanya bikin latihan ketoprak atau kumpul-kumpul. 
“Paling itu saja. Jadi sekedar perang kata-kata saja lewat karya. Tidak ada kejadian bentrokan fisik,” tutur Asnawi.

G30S: Titik Balik

Sampai kemudian pecahlah peristiwa 30 September 1965. Pembantaian para jenderal di Jakarta itu pun lalu menjalar buta ke daerah-daerah. 

Jelang 30 September itu, menurut Mutiah Amini dalam tulisannya bertajuk "Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede pada 1950-1960an" yang termuat di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (2011), ada 800-an pemuda bersenjata yang sudah dilatih kemiliteran. Daerah Kotagede kala itu sudah dianggap basis Pemuda Rakyat (hlm. 288-289). 

Suherjanto dalam Suara di Balik Prahara memperkuat temuan Mutiah Amini. Di sebelah timur Jalan Kemasan, menurutnya, adalah pusat latihan Pemuda Rakyat (hlm. 104). 
“Mereka hanya berkeliling Kotagede dengan berlari dan bernyanyi sambil menyandang senjata layaknya tentara. Sementara itu, para simpatisan PKI yang merupakan penduduk Kotagede, pada 1 Oktober 1965 tidak tampak keluar rumah untuk melakukan aktivitas,” tulis Mutiah Amini. 
Kelompok yang berseberangan dengan pemuda itu tentu mengawasi mereka, dengan mengerahkan anak-anak usia sekolah dasar. Para Pemuda Rakyat bersenjata tadi pada 4 Oktober 1965 bukannya show of force di Kotagede, mereka malah meninggalkan Kotagede.

Sementara itu, nun jauh di Jakarta pada 1 Oktober 1965, pentolan Pemuda Muhammadiyah, Lukman Harun, berhasil membujuk Letnan Kolonel Haji Sudarsono Prodjokusumo, yang kala itu Kepala Piket di Mabes Hankam, untuk melakukan pembentukan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). Sudarsono juga diminta melatih anggota-anggotanya. 

Sudarsono adalah komandan Kokam pertama. Disebut-sebut, Kokam mendapat latihan dari RPKAD. Tak heran, baretnya mirip baret pasukan khusus yang kini bernama Kopassus itu.

Menurut Mutiah Amini, ketegangan terjadi satu-dua hari saja. Setelahnya datanglah pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). RPKAD tak hanya bertindak sebagai pasukan bantuan penjaga keamanan, tapi juga turun tangan menangkapi tokoh-tokoh PKI. 

Komandan RPKAD kala itu adalah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dia berada di daerah di mana gerombolan telah membuat istri Letnan Kolonel Sugiono dan istri Brigadir Jenderal Katamso kehilangan suami mereka.

Informasi soal kudeta di Jakarta amat simpang-siur di tanggal 1 Oktober itu. Suherjanto termasuk salah satu yang bingung. Banyak orang di luar ibu kota dapat berita dari radio. Musuh mereka menjadi jelas setelah RRI diduduki pasukan Sintong Pandjaitan. Sebagai insan Muhammadiyah, Suherjanto ikut serta membantu aparat (militer).
“Mulailah ada pencidukan orang-orang merah itu. Yang diciduk waktu itu laki-laki maupun perempuan. Semua. Yang PKI, yang Gerwani, yang Pemuda Rakyat, semua diciduk,” kata Suherjanto.
Amini mencatat, pada 17 November 1965 ditemukan daftar penduduk yang hendak diculik dan dua hari setelahnya lubang besar (untuk mengubur mayat) ditemukan di Gedong Kuning. Seperti di tempat lain, sejak awal Oktober 1965, PKI beserta organisasi terkaitnya pun kena sikat. Hingga Desember 1965, sebanyak 200 orang buruh perak dan juragan mereka kena tangkap.

Muhammadiyah Berjaya

Setelah 1965, Kotagede tentu jadi daerah bebas PKI. Setidaknya Muhammadiyah berjaya di sana. "Dakwah berkembang pesat di Kotagede," aku Asnawi. 

Di mata Asnawi, indikasinya adalah semakin bertambahnya jumlah masjid. Sebelum 1965, hanya ada Masjid Gede dan Masjid Perak. Setelahnya tiap kampung punya masjid dan musala sendiri. 
“[Setelah 1965] orang-orang Muhammadiyah di Kotagede mencoba melakukan rekonsiliasi,” tambah Asnawi.

Infografik Kotagede pernah merah


Orang-orang Muhammadiyah menemui tokoh-tokoh PKI, dengan dakwah ala A.R. Fachrudin yang sejuk dan persuasif. “Kami tidak menganggap bahwa semua yang PKI harus dimusuhi,” kata Suherjanto dalam Suara di Balik Prahara (hlm. 108-109). 

Mereka memulai dari tokoh-tokoh yang terkait dengan PKI, lalu ke orang-orang biasa yang tidak lagi jadi tahanan politik (tapol). Jika ada yang tidak mau, akan diawasi. Kalau mencurigakan, tinggal dilaporkan.

Seingat Suherjanto, ketika mereka hendak dimasukkan ke Islam, ada yang menolak. Tapi banyak juga yang menerima. Mereka yang dari keluarga Muslim lebih mudah menerimanya, tapi yang bukan berasal dari keluarga Islam biasanya akan sulit. Pendekatan orang-orang Muhammadiyah di sana, menurut Suherjanto, adalah pendekatan personal dan kekeluargaan.

Pilihan hidup para tapol atau orang-orang yang dianggap dekat dengan PKI atau sekadar dituduh PKI sangatlah terbatas. Tidak punya agama di era ketika PKI dibenci adalah masalah besar. Tentu saja banyak tapol yang membiarkan dirinya Islam. Mereka yang tidak mau masuk Islam dapat memilih agama lain. Berstatus "Islam KTP" atau "Kristen KTP" mungkin bisa membuat hidup mereka lebih aman.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar