Senin, 10 Desember 2018

Jatam: Isu Komunis Budi Pego Bentuk Kriminalisasi Aktivis Tambang

Oleh: Fadiyah Alaidrus - 10 Desember 2018


Simbol Komunisme, di Indonesia akrab dengan sebutan simbol palu dan arit. Foto/iStock

Menurut Jatam, setiap individu yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa digugat secara hukum.

Aktivis penolak tambang Heri Budiawan atau Budi Pego divonis penjara usai dilaporkan oleh PT Bumi Suksesindo (BSI) dengan tuduhan menyebarkan paham komunisme. 

Tuntutan tersebut dilayangkan karena terdapat foto spanduk dengan gambar palu-arit di tengah aksi yang dilakukan masyarakat pada 4 April 2017. Aksi tersebut merupakan bentuk penolakan masyarakat terhadap tambang emas perusahaan PT BSI karena dinilai merugikan masyarakat. 

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Merah Johansyah mengatakan, vonis tersebut merupakan bentuk penghinaan terhadap masyarakat. 
“Saya kira ini adalah penghinaan. Tambang ini hadir menurunkan status hutan lindung menjadi hutan produksi,” kata Merah dalam konferensi pers, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Senin (10/12/2018).
Yang dimaksud Merah sebagai bentuk penghinaan karena dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan: setiap individu yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak bisa digugat secara hukum. 
“Di mana Pasal 66 ini menyebutkan setiap individu yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa digugat secara pidana dan perdata,” kata Merah menjelaskan. 
Selain itu, Merah menegaskan, langkah PT BSI yang melakukan tuntutan berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 25/1966 tentang Pembubaran PKI merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Budi. 

Untuk itu, ia mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menghentikan segala bentuk kriminalisasi semacam ini. Selain itu, ia juga mendesak Siti Nurbaya menyelesaikan masalah tambang yang berdampak pada kawasan sekitarnya.
"Warga sana menolak karena ada dampak nyata yang menimpa warga sana, seperti banjir. Lalu ada peledakan rutin," ungkap Budi.
Di sisi lain, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Muhammad Soleh menerangkan bahwa gunung Tumpangpitu, yang menjadi tempat tambang, dulunya memiliki sejumlah fungsi dalam masyarakat. 

Gunung tersebut, kata Soleh, berfungsi sebagai benteng apabila ada tsunami (karena menghalangi desa dari laut), patokan untuk navigasi, serta tempat bagi para ibu-ibu untuk mencari obat-obatan, tanaman, dan sebagainya. Namun sejak perusahaan mengekspansi wilayah gunung tersebut, warga tidak bisa lagi masuk ke sejumlah area gunung.
“Beberapa lahan pertanian sudah tidak bisa ditanami. Tentang pencemarannya saya belum tahu, tapi banjir (di sejumlah dusun) dan banjir lumpur (di pinggir pantai), dirasakan masyarakat,” kisah Budi.
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto

Saya kira ini adalah penghinaan. Tambang ini hadir menurunkan status hutan lindung menjadi hutan produksi,” kata Merah

Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar