December 6, 2015 | Ikwan Setiawan
E. Manisnya Musik Banyuwangen: Ketika Industri Rekaman Swasta Bersemi
Pengaruh lebih lanjut dari usaha rekaman ‘ber-plat merah’ pasca 65 adalah munculnya industri rekaman swasta di Banyuwangi. Perkembangan industri rekaman swasta berorientasi komersil di beberapa kecamatan memunculkan kekhawatiran pihak rezim sehingga sempat diterbitkan surat pelarangan. Dilarangnya industri rekaman swasta memang bisa dibaca dalam beberapa konteks. Pertama, adanya ketakutan rezim terhadap perkembangan swastanisasi dan kapitalisasi kesenian yang menguntungkan pihak swasta, sedangkan pihak Pemkab tidak mendapatkan apa-apa karena mungkin secara kualitas mereka kalah. Konteks tersebut sebenarnya kontradiktif dengan semangat pembangunan nasional yang ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang salah satunya melalui industri budaya. Kedua, ketika musik Banyuwangen diproduksi dan diedarkan oleh para pengusaha swasta, rezim Pemkab sangat mungkin tidak bisa memberlakukan pengawasan ketat, sehingga dikhawatirkan industri kesenian akan mengusung tema-tema yang dianggap berbahaya bagi kepentingan rezim. Ketiga, rezim merasa khawatir kalau industrialisasi musik Banyuwangen akan menciptakan format-format baru sebagai pengaruh musik dangdut ataupun Melayu yang bertentangan dengan format “angklung + lagu berlirik Using” sebagaimana telah disepakati bersama oleh pihak Pendopo dan para seniman yang mereka rangkul seabagai identitas kultural dalam hal musik. Meskipun demikian, larangan tersebut terbukti tidak mampu membendung niatan untuk merekam kesenian Banyuwangen dalam format dan bentuk yang berbeda dengan angklung yang berkembang pada era 70-an dan 80-an; periode awal masuknya kesenian Banyuwangen ke dalam ideologi pasar.
Para pemodal swasta lokal tetap mendirikan perusahaan-perusahaan rekaman yang merekam lagu-lagu Banyuwangen ciptaan para seniman Lekra, seperti Andang, Basir, Mahfud, Endro Wilis, dan lain-lain, kecuali Gendjer-gendjer. Secara interpretatif kami melihat pengaruh industri budaya pop pada masa Orba—utamanya musik—yang cukup digemari di Banyuwangi, menjadikan para pemodal membidik pasar lokal dengan lagu-lagu Banyuwangen. Kebijakan pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan pertanian memang menghadirkan praktik ekonomi dan sosio-kultural yang digerakkan oleh “uang” dan “pasar”. Masyarakat semakin terbiasa dengan lagu-lagu yang didendangkan penyanyi ibu kota, baik melalui TVRI maupun kaset. Mereka terbiasa dengan musik pop dan musik dangdut yang semakin memenuhi ruang-ruang kultural lokal. Dengan hasil pertanian yang dipasarkan dengan logika pasar, para petani bisa membeli teve, radio, dan mesin tape untuk menonton atau mendengarkan para penyanyi pujaan berdendang. Demi melihat popularitas budaya pop dalam masyarakat dan potensi akumulasi kapital yang dihasilkannya, para pemodal ‘melawan’ kebijakan yang melarang industri rekaman swasta. Lagu-lagu Banyuwangen yang pada awal perkembangannya menjadi bentuk ekspresi kultural dan perjuangan para seniman rakyat memasuki era industrialisasi yang ikut berpengaruh pada genre dan tema lagu.
1. Melayunisasi Lagu Banyuwangen: Semangat dan Kreativitas Fatrah Abal
Pengaruh kuat dari masuknya ideologi pasar adalah perkembangan pesat industri rekaman swasta yang membawa perubahan signifikan dalam hal format kesenian tradisi—utamanya musik—sebagai akibat masuknya pengaruh musik Melayu maupun dangdut. Beberapa seniman menciptakan lagu-lagu Bnayuwangen yang berirama dangdut dan Melayu, meskipun tetap berlirik Using. Kemajuan media, baik televisi maupun radio, ikut pula menyebarkan populeritas kedua genre musik tersebut di tanah Blambangan. Ketika muncul usaha-usaha kreatif baru tersebut, para pemodal swasta telah siap dengan organisasi dan mekanisme kapitalismenya; menginkorporasi kesenian Banyuwangen dan memproduksinya secara massif dalam bentuk kaset.
Adalah Faturrahman Abal (atau lebih populer dikenal dengan nama Fatrah Abal) yang memelopori lahirnya lagu Banyuwangen berirama Melayu. Sebuah pilihan yang merubah kehidupannya. Fatrah Abal, pada awalnya bukanlah seniman. Ia adalah seorang kontraktor listrik yang cukup terkenal di Banyuwangi pada era 70-an. Dari penghasilannya sebagai kontraktor, sebenarnya ia sudah bisa menghidupi keluarga secara berkecukupan dan menjalani kehidupan dengan bahagia. Di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana, Fatrah menjelaskan ketertarikannya untuk menciptakan lagu:
“Sebenarnya pada tahun 70-an itu, saya bekerja sebagai kontraktor listrik dengan penghasilan yang berkecukupan. Saya bisa menghidupi keluarga dengan pekerjaan itu. Namun, setelah para seniman Using diperbolehkan lagi menciptakan lagu, saya juga tertarik untuk ikut menciptakan lagu. Apalagi melihat Pak Armaya bisa membuat lagu. Saya berpikir, “masa” Armaya bisa membuat lagu, saya ndak bisa. Saya pasti bisa”. Gitu prinsip saya waktu itu. Mulailah saya membuat lagu. Setelah dapat beberapa lagu, saya memutuskan untuk merekam lagu-lagu tersebut dalam format orkes melayu bersama Orkes Melayu Blambangan. Memang waktu itu lagu-lagu Melayu sedang populer.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Secara implisit, memang ada ‘naluri persaingan’ yang mendasari proses kreativitasnya. Namun demikian, persaingan yang berkembang lebih mengarah pada kompetisi kreatif; karena melihat orang lain bisa membuat lagu, maka ia juga, tentunya, bisa membuat lagu. Pengaruh populeritas lagu-lagu berirama Melayu, baik yang dinyanyikan penyanyi dari Malaysia maupun Sumatra, menjadikannya memilih format musik Melayu. Penjelasannya tentang “populeritas musik Melayu di Banyuwangi” mengindikasikan bahwa pertimbangan pasar menjadi motivasi awal untuk menciptakan lagu Banyuwangen yang diaransemen dalam musik Melayu. Tujuan komersil merupakan sebuah kewajaran ketika ia memutuskan untuk merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam musik Melayu, meskipun ia sendiri tidak pernah mengungkapkannya.
Komersialitas dan populeritas memang bukan motivasi tunggal di balik pilihan Melayunisasi lagu Banyuwangen yang ia buat. Pilihan terhadap genre musik Melayu dengan lirik Using, merupakan bentuk strategi subjektivitas dan kreativitasnya di tengah-tengah kuatnya pengaruh musik Melayu, ketatnya kontrol Pendopo, serta keinginan untuk terus mengembangkan budaya Banyuwangen. Pengembangan dan perluasan kesenian Banyuwangen berbasis Using di tengah-tengah pluralitas masyarakat, tampak menjadi motivasi kedua yang mendasari Melayunisasi tersebut. Tentang motivasi itu ia menjelaskan:
“Saya memutuskan memakai bentuk orkes untuk lagu-lagu saya, bukan semata-mata untuk bisa populer. Namun, karena saya tahu persis bagaimana orang-orang Banyuwangi memamahami kesenian. Tidak semua warga Banyuwangi menyukai gandrung, termasuk di Penataban. Mereka yang tidak mau nanggap gandrung karena kesenian ini dianggap mengandung unsur maksiat, terutama karena tarian para penarinya itu. Bahkan sebelum gandrung berubah menjadi perempuan, masih gandrung laki-laki, mereka juga tidak mau nanggap atau menonton. Makanya, saya pakai orkes Melayu.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Dengan demikian, selain sebagai strategi komersil, pilihan musik Melayu juga bisa dibaca sebagai strategi kultural yang dikembangkan oleh Fatrah secara sadar untuk lebih memasyarakatkan secara luas lagu Banyuwangen. Adanya anggapan maksiat terhadap gandrung oleh sebagian masyarakat Banyuwangi, ternyata menjadi inspirasi tersendiri baginya untuk membuat lagu dalam irama Melayu. Kesadaran akan pluralitas masyarakat yang tidak hanya terdiri dari komunitas Using, tetapi juga dari Jawa Mataraman, Madura, Melayu, Bugis, dan China, menjadikan pilihan musik Melayu sebagai strategi yang ia yakini tepat untuk terus menyebarluaskan kesenian Banyuwangen, bukan mematikannya seperti dikhawatirkan oleh orang-orang Pendopo.
Ketetapan hati untuk tetap berkarya dalam format musik Melayu berlirik bahasa Using, memang menjadi strategi jitu bagi populeritas lagu-lagu yang ia ciptakan. Namun demikian, pilihan itu juga memunculkan konskuensi yang menyedihkan dalam kehidupannya. Setelah menghisap rokok kretek kesukannya, ia menuturkan:
“Ketika tahu saya merekam lagu dalam bentuk format orkes orang dinas melalui Hasan Ali menegur saya. Dia meminta agar saya merekam lagu-lagu saya dalam bentuk gandrung maupun angklung agar ciri khas Banyuwanginya tidak hilang. Tapi, saya tetap bertahan dengan pendirian saya. Pilihan saya untuk bertahan dengan orkes, akhirnya menyebabkan persoalan yang tidak mengenakkan. Saya tidak mendapatkan lagi kontrak-kontrak proyek dari Pemkab. Ya, saya tidak marah. Saya tetap menciptakan lagu dalam format orkes…Terbukti album saya laris manis dan disukai banyak orang. Waktu itu di toko kaset dijual Rp. 700,-. Namun, pembajakannya waktu itu luar biasa, edan pokoknya. Kaset-kaset bajakan itu dilepas dengan harga Rp. 350, separuh dari kaset asli. Ya, saya tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi hal itu.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Paradigma untuk mempertahankan kesenian Banyuwangen dalam industri budaya menjadi alasan orang dinas, melalui Hasan Ali, menegur Fatrah. Dalam pakem pendopo, yang namanya kesenian Banyuwangen, ya angklung, ya gandrung itu. Pakem ini bisa jadi menunjukkan adanya esensialisme dalam memaknai pilihan berkesenian yang sebenarnya dinamis dan sesuai kondisi zaman. Padahal kalau diruntut lagi, kesenian Banyuwangen adalah hasil dari pertemuan tradisi-tradisi besar kesenian Jawa Mataram, Bali, Eropa, Melayu, Madura, atau bahkan China.
Memang, Fatrah, akhirnya harus menerima resiko ekonomi dari kegigihannya melakukan Melayunisasi lagu-lagu Banyuwangen. Proyek-proyek dari Pemkab yang biasa ia kerjakan tidak lagi diberikan. Tentu saja, kondisi ini berdampak kepada kehidupan ekonomi keluarganya. Namun demikian, kegigihannya berakibat manis. Lagu-lagunya laris-manis, meskipun banyak yang dibajak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kondisi-kondisi itu tidak menyurutkan langkah dan keinginannya untuk terus berkarya. Ia tetap saja menciptakan lagu-lagu yang berisi nasehat orang tua kepada anaknya, seperti Golet Ilmu dan Angen-angene Wong Tuwo, serta lagu-lagu tentang cinta, seperti Gelang Alit, yang masih tetap populer sampai sekarang dengan aransemen musik yang berbeda.
2. Kendang Kempul: Irama Dangdut dalam Jiwa Banyuwangen
Perjuangan dan terobosan kultural yang dipilih oleh Fatrah Abal, nyatanya mampu menjadi inspirasi bagi seniman-seniman pada masa berikutnya untuk menciptakan karya musikal yang berbeda dengan mainstream angklung dan gandrung. Keterbukaan dan sikap adaptif terhadap perkembangan zaman, menjadikan para seniman Banyuwangi menjadi makhluk-makhluk kreatif yang secara sadar menyerap apa yang berasal dari luar untuk dijadikan milik khas daerah mereka. Perilaku adaptif itulah yang kemudian melahirkan Kendang Kempul sebagai genre musik baru yang dikembangkan oleh seniman-seniman Banyuwangi.
Perkembangan kendang kempul pada masa awal memang tidak banyak dikaji sehingga data-data yang bisa dijadikan referensi tidak begitu banyak. Fatrah masih ingat persis tentang perkembangan dan jenis musik kendang kempul.
“Pada era 80-an, Sutrisno dari Genteng mempopulerkan format Kendang Kempul, yang memadukan kendang, kempul, kibor, dan biola Using, yang ternyata juga sangat diminati oleh masyarakat. Pada dasarnya, kendang kempul itu orkes versi Using dengan memasukkan kendang dan kempul. Lagu-lagu saya, seperti Gelang Alit, juga sangat populer dinyanyikan dalam bentuk kendang kempul.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Pranoto yang juga masih mempunyai ingatan terhadap kendang kempul, menambahkan:
“Pengaruh dangdut, kemudian memunculkan kendang kempul yang langsung populer di masyarakat. Musiknya yang lebih sederhana, berhasil merubah warna kesenian lokal Banyuwangi. Angklung dan kesenian-kesenian tradisi lokal mulai tergusur. Keroncong seperti Mawar Merah tidak ada yang menggali lagi.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Penjelasan kedua seniman tersebut menunjukkan bahwa kendang kempul pada dasarnya sangat dekat dengan irama Melayu yang berkembang menjadi dangdut. Pada periode 80-an, dangdut memang menjadi trend musik yang sangat populer di masyarakat. Demi melihat popularitas tersebut, para seniman musik Banyuwangi yang dipelopori oleh Sutrisno membuat genre musik baru dengan menyerap unsur dangdut, tetapi tidak sepenuhnya sama. Instrumen musik dangdut ketipung, digantikan dengan kendang Banyuwangen. Meskipun memakai instrumen modern seperti kibor maupun biola, kendang kempul juga masih mempertahankan instrumen tradisional seperti kempul, dan kluncing (triangle).
Sekilas, instrumen kendang kempul yang masih mempertahankan keberadaan alat-alat musik tradisional, memang menyerupai instrumen gandrung. Hal itu menandakan adanya usaha untuk menegosiasikan nilai tradisi dalam bentuk yang lebih modern. Kekuatan tradisi juga tampak dari lirik-lirik lagu berbahasa Using. Namun demikian, masuknya instrumen modern menggambarkan betapa para seniman Banyuwangi sangat cepat merespons dan beradaptasi dengan perkembangan musik baru yang sedang naik daun pada level nasional maupun regional. Mereka secara sadar ‘mengambil’ sebagian instrumen dan irama dangdut untuk dimodifikasi sedemikian rupa dalam bentuk musik lokal yang masih diakui sebagai milik orang Banyuwangi.
Sumiati, salah satu bintang kendang kempul di era 90-an.
Sampai dengan periode 90-an, kendang kempul masih menjadi favorit, tidak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di beberapa kabupaten tetangga seperti Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo. Bahkan peredarannya juga sampai Surabaya dan sekitarnya. Nirwana Record Surabaya ikut memproduksi kendang kempul dalam bentuk kaset sehingga penyebarannya semakin luas. Begitupula dengan Ikawangi (Ikatan Keluarga Banyuwangi) yang berdomisili di Jakarta dan Aneka Safari Record Genteng, juga ikut berperan aktif dalam memproduksi lagu-lagu dalam format kendang kempul. Memang rancak suara angklung yang mengiringi lagu-lagu Banyuwangen digusur oleh rancak dinamis suara kendang dan kempul. Namun, kenyataan itu tidak harus dipandang secara negatif karena kendang kempul telah menjadi tradisi baru dalam musik Banyuwangen sesuai dengan kondisi zaman yang tidak bisa ditolak oleh para seniman.
F. Politik Identitas dan Industri Budaya Banyuwangen Pasca 65:
Catatan-catatan Simpulan
Catatan-catatan Simpulan
Dimulainya proses rekaman musik Banyuwangen yang dikawal oleh pemerintah kabupaten, di satu sisi, memang bisa dibaca sebagai strategi dan mekanisme hegemoni dalam konteks kebudayaan, tetapi di sisi lain, juga bisa dibaca sebagai usaha untuk menciptakan “politik identitas” untuk kepentingan rezim. Politik identitas, sejatinya, merupakan gerakan politik yang memperjuangkan hak-hak minoritas, mereka yang tertindas, mereka yang di-liyan-kan, dan mereka yang dipinggirkan dalam mekanisme dan praksis sosio-kultural mainstream melalui teks dan praktik kultural esensial berbasis keminoritasan tersebut. Penekanan identitas esensial memang didasari pemahaman realis—apa yang dilihat dan dirasakan—dalam memposisikan budaya yang dianggap bisa menyatukan sebuah komunitas dalam setting wilayah dan historis tertentu.
Politik identitas, dengan demikian, mempunyai relasi-relasi strategis-politis dengan lingkungan sosial—dan, tentunya, kebudayaan—yang membentuk kedirian seseorang dalam setting tempat dan historis partikular. Politik identitas, dalam konteks tersebut, bisa digunakan untuk melakukan “proyek-proyek politis” yang akan mengikat anggota sebuah komunitas atau masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan komunal dan konsensual. Makna yang terkesan “terlalu politis” inilah yang menjadikan kritik terhadap politik identitas yang kebanyakan mengarah pada (a) kritik esensialisme kultural yang membabi-buta dan berkontradiksi dengan fakta transformasi dan perubahan kultural sesuai dengan setting historis dan (b) bisa digunakan kepentingan kelas tertentu untuk melegalisasi kuasanya atas nama kebudayaan (Dougan, 2003: 33; Durham, 2004: 141; Kompridis, 2005: 321; Gimenez, 2006: 431-432).
Politik identitas, dengan demikian, mempunyai relasi-relasi strategis-politis dengan lingkungan sosial—dan, tentunya, kebudayaan—yang membentuk kedirian seseorang dalam setting tempat dan historis partikular. Politik identitas, dalam konteks tersebut, bisa digunakan untuk melakukan “proyek-proyek politis” yang akan mengikat anggota sebuah komunitas atau masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan komunal dan konsensual. Makna yang terkesan “terlalu politis” inilah yang menjadikan kritik terhadap politik identitas yang kebanyakan mengarah pada (a) kritik esensialisme kultural yang membabi-buta dan berkontradiksi dengan fakta transformasi dan perubahan kultural sesuai dengan setting historis dan (b) bisa digunakan kepentingan kelas tertentu untuk melegalisasi kuasanya atas nama kebudayaan (Dougan, 2003: 33; Durham, 2004: 141; Kompridis, 2005: 321; Gimenez, 2006: 431-432).
Dalam konteks Banyuwangi pada masa pasca 65, para seniman, budayawan, dan birokrat yang ingin menggunakan kesenian dan budaya Using sebagai identitas budaya Banyuwangen, secara implisit merupakan usaha untuk menciptakan common sense tentang nilai, makna, dan praktik kultural yang bisa membangkitkan dan memperkuat rakyat setelah masa-masa kelam pembantaian 65. Kenapa memilih kesenian dan budaya Using? Karena kesenian dan budaya Using masih cukup kuat dalam memori kolektif warga Banyuwangi, utamanya yang berbasis etnis Using, maupun etnis Jawa, Madura, dan lain-lain.
Di samping itu, tidak dipilihnya musik modern—meskipun masih dimasukkan unsur biola yang berasal dari Barat—lebih dikarenakan sebagai pencegahan terhadap terlalu berkuasanya unsur-unsur modern dalam kesenian Banyuwangen yang tentu saja bisa menggusur identitas lokal. Sebenarnya, semangat yang dibawa memang sangat ideal karena menginginkan kesenian dan budaya Banyuwangen kembali berjaya—bandingkan dengan tujuan Lekra—tanpa harus merasa kalah oleh kehadiran kesenian-kesenian modern. Namun, kepentingan untuk meredam dan menentramkan masyarakat sehingga tercipta stabilitas yang akan mendukung proyek pembangunan Orde Baru, memunculkan kepentingan politis yang menjadikan politik identitas Bnayuwangen tidak lepas dari kuasa rezim.
Dipilihnya kesenian dan budaya Using sebagai proyek diskursif politik identitas Banyuwangen juga bisa dibaca secara kritis menegasikan potensi seni dan kultural dari etnis lain di Banyuwangi yang eksis di komunitasnya masing-masing. Asumsi bahwa dengan menggunakan identitas kultural Using sebagai satu-satunya bentuk politik identitas Banyuwangen sebenarnya membayangkan idealitas yang bersifat “menyederhakan permasalahan”. Kenapa? Bagaimanapun juga etnis-etnis lain juga telah hidup dan berkembang di Banyuwangi sejak zaman kolonial. Meskipun banyak didatangkan oleh penjajah Belanda, mereka selama beberapa generasi telah hidup di wilayah ini. Mereka masih menjalankan tradisi dan kesenian yang menjadi karakteristik etnis. Jaranan dan wayang kulit, misalnya, masih sering dipentaskan hingga saat ini di komunitas Jawa. Memang, masyarakat lain juga tidak pernah menuntut budaya mereka diakomodasi oleh pihak Pendopo. Namun, ‘penganaktirian’ tersebut bisa memunculkan “mekanisme defensif baru” dari etnis-etnis lain berupa “reproduksi terus-menerus stereotipisasi negatif terhadap komunitas Using”.
Pembatasan kreativitas kultural yang menjadi kodrat kebudayaan dalam ruang dinamis masyarakat Banyuwangi oleh Pendopo dan seniman/budayawan yang menjadi partner strategis rezim, nyatanya tidak bisa mencegah munculnya nilai, makna, teks, dan praktik kultural baru yang beraroma industrial, meskipun tetap berpijak pada kearifan budaya lokal. Diedarkannya lagu-lagu Fatrah Abal dalam bentuk musik Melayu serta peredaran secara massif kendang kempul dalam dengan format kaset, menjadi penanda masuknya lagu-lagu Banyuwangen ke dalam sistem dan mekanisme industri budaya, meskipun hanya dalam level lokal dan regional. Realitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari popularitas lagu-lagu Melayu, dangdut, maupun pop pada masa Orba yang secara massif beredar hingga wilayah daerah, seperti Banyuwangi.
Para seniman musik menghadapi kondisi bahwa lagu dan kesenian Banyuwangen harus dipopulerkan agar bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat. Strategi Melayunisasi dan dangdutisasi serta ‘percumbuan’ dengan industri budaya merupakan siasat seniman dalam memposisikan diri dan merespons populerisasi industri budaya yang digerakkan dari Jakarta serta tuntutan untuk melakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi kekayaan budaya lokal Banyuwangen. Perkembangan ekonomi masyarakat sebagai akibat masuknya Revolusi Hijau dalam bidang pertanian menjadi kondisi konstekstual yang mendukung populeritas lagu Banyuwangen bergenre Melayu dan kendang kempul. Masyarakat mulai terbiasa dengan mesin tape untuk memutar kaset berisi lagu-lagu Banyuwangen.
Hadirnya lagu Banyuwangen bergenre Melayu dan Kendang Kempul juga menunjukkan bahwa seniman dan kesenian-kesenian Banyuwangen sebenarnya merupakan hasil dari hibriditas kultural sebagai akibat dari pertemuan dan singgungan dengan budaya pop. Hal ini berakar dari tradisi dan budaya masyarakat Using itu sendiri. Perjumpaan dengan penakluk-penakluk lokal—Bali dan Jawa Mataraman—dan penjajah Belanda menjadikan mereka tidak hanya “dipandang” secara stereotip, tetapi juga bisa “memandang” para penakluk dan penjajah itu. Kesenian Banyuwangen merupakan hasil usaha para seniman untuk meniru dan mengambil sebagian unsur seni dari luar untuk diolah dan digunakan sebagai bagian dari kekayaan seni mereka sendiri. Ketika para seniman memasukkan unsur biola, kibor, bass, dan gitar ke dalam musik Banyuwangen, mereka memang meniru, tetapi peniruan itu tidak seluruhnya/tidak sempurna. Mereka masih tidak menghilangkan karakteristik lokal Using, seperti bahasa lirik, kendang, kempul, gamelan, dan lain-lain.
Demikian pula soal nada yang sangat khas Using. Musik yang tercipta dari hibriditas tersebut diakui sebagai musik Banyuwangen. Artinya, hibriditas kultural merupakan bagian integral dari subjektivitas kultural masyarakat Banyuwangi di tengah-tengah pengaruh dari luar yang masuk ke dalam kehidupan mereka, termasuk pengaruh musik Melayu, dangdut, dan musik-musik lain pada periode-periode berikutnya. Memang, hibriditas yang berlangsung berguna untuk terus menegosiasikan ke-Banyuwangen-an dalam perkembangan masyarakat. Namun, industri budaya juga selalu siap melakukan inkorporasi terhadap hibriditas kultural tersebut.
Orientasi pasar dan ekonomi jelas menjadi motivasi untuk melakukan massifikasi lagu-lagu Banyuwangen dalam format Melayu dan kendang kempul. Harapan untuk bisa bersaing dengan populeritas musik dangdut, misalnya, memang bisa dipenuhi oleh para seniman kendang kempul. Memang sangat sulit membuat kontestasi dengan musik dangdut ketika lagu-lagu Banyuwangen hanya dimainkan dalam musik angklung, sementara sebagian besar rakyat Banyuwangi sudah mendengarkan Rhoma Irama, Rita Sugiarto, Camelia Malik, Mansyur S, A. Rafiq, Hamdan ATT, dan lain-lain. Penyesuaian format musik yang menyerupai dangdut dengan pilihan lirik Using jelas menjadi siasat untuk bersaing di pasar. Pilihan format industrial juga membawa akibat terlalu banyaknya tema-tema cinta yang memenuhi pasar musik di Banyuwangi dan sekitarnya. Memang, lagu-lagu ciptaan Andang CY, Basir Noerdian, maupun Mahfud, yang merepresentasikan kepentingan wong cilik dalam bahasa-bahasa simbolis masih terdengar, tetapi lagu-lagu lain bertema cintalah yang dominan.
Masih untung Bahasa Using digunakan dan beberapa tema kultural seperti Gandrung masih dipertahankan dalam lirik-lirik lagu Banyuwangen.
Masih untung Bahasa Using digunakan dan beberapa tema kultural seperti Gandrung masih dipertahankan dalam lirik-lirik lagu Banyuwangen.
Transformasi menuju tema cinta merupakan konsekuensi dari tuntutan industrial yang tidak bisa ditolak lagi karena cinta telah menjadi ideologi hiburan pada masa Orba. Potensi resistensi masyarakat terhadap kepentingan rezim bisa ditundukkan dengan kesenian pop atau kesenian tradisi beroritentasi pop. Selain itu, populeritas lagu-lagu Banyuwangen dalam format kendang kempul dan Melayu menunjukkan ‘perselingkuhan manis’ antara hasrat untuk terus mengumandangkan nilai-nilai kultural ke-Banyuwangen-an dan standard-standard baru mekanisme pasar. Para seniman tidak ingin melihat kematian lagu-lagu Banyuwangen yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat akibat desakan musik pop dari Jakarta. Sementara, mereka juga tidak bisa melawan secara frontal rezim kultural baru tersebut. Maka, bermain-main di ruang antara yang menghasilkan musik hibrid dan masuk ke dalam mekanisme industri budaya merupakan bentuk subjektivitas untuk survive. Tentu saja, hal itu bisa terjadi karena masyarakat Banyuwangi sendiri sudah terbiasa hidup dalam keberantaraan kultural serta mampu menyeleksi, menyerap, dan menggunakan pengaruh-pengaruh dari luar, tanpa harus larut sepenuhnya.
Di balik semua dinamika kesenian dan industri budaya Banyuwangen pasca 65, menurut kami, terdapat satu realitas historis yang tidak boleh dan tidak bisa dipungkiri, yakni kontribusi para seniman/sastrawan Lekra. Lagu-lagu merekalah yang menjadi pioner dari perkembangan pesat musik Banyuwangen pada masa Orba dan menjadi inspirasi bagi para seniman masa kini. Merekalah sejatinya para pahlawan budaya bumi Blambangan, meskipun mereka tidak pernah ingin disebut pahlawan. Bolehlah rezim berusaha mematikan “Cahaya Merah” dari ‘tanah Minak Jinggo’, tapi Cahaya itu akan terus berpendar seperti Bang-bang Wetan yang terus saja menyinari sang Bumi, sebelum kiamat tiba. Meskipun, pada masa-masa kontemporer, Cahaya itu harus berhadapan dengan “rayuan manis” para pemodal yang semakin perkasa.
Sumber: MataTimoer.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar