Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)
SK. Menkumham No. C-125 H.T. 01.02 Tahun 2007 - Tanggal 19 Januari 2007
Tambahan Berita Negara RI No. 45 Tanggal 5 Juni 2007
e-mail: ypkp_1965@yahoo.com | website: www.ypkp1965.org
_________________________________________
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) sebagai organisasi korban pertama di Indonesia masih konsisten berjuang untuk penegakkan hak asasi manusia (HAM) atas Tragedi Kemanusiaan 1965/1966.
YPKP 65 menilai kasus kejahatan kemanusiaan 1965/1966 masih belum mendapatkan perhatian serius secara hukum dan politik dari negara. Selama 12 tahun masa reformasi, tidak ada satu pun elit politik, baik di parlemen dan di eksekutif, bahkan di lembaga yudikatif memiliki itikad baik di dalam penuntasan kasus 1965. Bahkan, pemerintah yang berkuasa saat ini cenderung cuci tangan.
Melihat kondisi yang sedemikian itu, YPKP 65 memiliki
beberapa pandangan:
1.
Isu 1965 Strategis
Tragedi Kemanusiaan 1965 diawali dengan peristiwa
Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok). Peristiwa itu dirancang oleh Central
Intelligence Agency (CIA) bersama negara-negara imperialis dengan menggunakan
anteknya, Angkatan Darat pimpinan Mayjen Soeharto. Tujuannya antara lain,
Pertama, mengambil alih pimpinan politik tertinggi, Presiden Soekarno, ke tangan kepentingan Amerika melalui kudeta merangkak Mayjen Soeharto. Kedua, mengambinghitamkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari Gestok.
Ketiga, skenario Gestok menjadi dalih untuk menghancurkan dan membasmi PKI beserta anggota dan simpatisannya. Selain itu, membasmi semua gerakan (nasionalis) kiri yang mendukung agenda besar revolusioner Presiden Soekarno yang sangat merugikan negara-negara imperialis. Dan keempat, mengambil semua sumber daya Indonesia secara nasional demi kepentingan kapitalisme global.
Pertama, mengambil alih pimpinan politik tertinggi, Presiden Soekarno, ke tangan kepentingan Amerika melalui kudeta merangkak Mayjen Soeharto. Kedua, mengambinghitamkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari Gestok.
Ketiga, skenario Gestok menjadi dalih untuk menghancurkan dan membasmi PKI beserta anggota dan simpatisannya. Selain itu, membasmi semua gerakan (nasionalis) kiri yang mendukung agenda besar revolusioner Presiden Soekarno yang sangat merugikan negara-negara imperialis. Dan keempat, mengambil semua sumber daya Indonesia secara nasional demi kepentingan kapitalisme global.
Akhirnya jutaan orang dibunuh secara sadis. Ribuan
lainnya ditahan tanpa proses pengadilan dan hak-hak dasar mereka dirampas.
Hingga kini, hak-hak itu belum juga dipenuhi oleh negara.
Terbunuhnya jutaan orang dari kalangan komunis,
nasionalis, dan agamis yang mendukung agenda revolusi Soekarno memang merupakan
kejahatan kemanusiaan. Di dalam perspektif yang lain, Tragedi Kemanusiaan 1965
merupakan titik balik peradaban bangsa Indonesia. Titik balik secara ekonomi,
politik, budaya, dan sosial.
Selepas Tragedi Kemanusiaan 1965, arah kebijakan
ekonomi dan politik negara kita mengadopsi sistem negara imperialis yang
liberal dan anti kerakyatan. Sistem ekonomi dan politik seperti itu selalu
menimbulkan krisis, ketergantungan, dan merugikan rakyat. Kemudian, sistem itu
memengaruhi pola budaya dan sosial bangsa kita yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa.
Maksudnya, Amerika dan antek-anteknya telah mengubah
besar-besaran landasan kemandirian secara ekonomi, politik yang revolusioner,
serta sosial dan budaya yang berkepribadian. Semua itu memang diinginkan oleh
kapitalis untuk membentuk tatanan masyarakat kapitalis.
Artinya, Targedi Kemanusiaan 1965 bukan persoalan
kemanusiaan semata. Tragedi itu memuat kepentingan ekonomi, politik, sosial,
dan budaya. Disini terlihat bahwa Tragedi Kemanusiaan 1965 begitu strategis
sebagai landasan historis persoalan multidimensional bangsa ini.
Maka, perjuangan penegakkan HAM Tragedi Kemanusiaan
1965 memiliki ruang tembak yang strategis dimana bisa merambah ke banyak
dimensi. Hal itu menjadi poin penting di dalam perjuangan rakyat yang ingin
mengubah sistem dan rejim negara kita.
2.
Kemandekan Saluran Politik dan Hukum
Tragedi Kemanusiaan 1965 tidak hanya meninggalkan setumpuk persoalan kemanusiaan terhadap korban. Tetapi juga stigma negatif yang semakin menjauhkan korban dari pemenuhan hak-hak dasarnya. Stigma itu sengaja dipelihara sebagai bagian dari pertarungan politik yang ada. Aktor-aktor yang memelihara stigma itu telah lama bercokol di lembaga-lembaga negara dan terus berkembang biak. Sehingga, saluran politik dan hukum yang ada saat ini belum dapat mengakomodir kepantingan korban. Instrumen politik dan hukum sejak lama diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan yang anti dengan gerakan revolusioner, secara langsung tidak mendukung keberadaan korban.
Melihat kondisi itu, korban harus memaksimalkan upaya
penegakkan HAM sebagai pintu masuk keadilan di atas hukum dan politik
kerakyatan untuk merebut kembali kekuasaan agar berpihak kepada rakyat,
otomatis berpihak kepada kepentingan korban.
3.
Politik Kerakyatan Bukan Parlementer
YPKP 65 meyakini sampai saat ini belum ada secara institusional politis yang dapat bersungguh-sungguh memerjuangkan kepentingan korban jika melihat analisis di atas. Beberapa anak korban sudah ada di parlemen. Beberapa partai politik sering mengumbar janji untuk kepentingan korban. Namun, hingga kini hak-hak korban masih terabaikan. Belum lagi jika kita melihat sistem politik liberal dan borjuasi yang diterapkan oleh partai-partai politik dan di sistem demokrasi dan ketatanegaraan kita dimana semuanya mengabaikan rakyat. Oleh karena itu, YPKP 65 mendorong semua relawan atau anggota secara nasional untuk membangun kembali gerakan rakyat sesuai karakter dan situasi lokal masing-masing. Gerakan rakyat ini merupakan kekuatan politis revolusioner yang akan menjebol sistem yang buntu atas Tragedi Kemanusiaan 1965, bukan dengan jalan meminta-minta ke parlemen.
4.
Perjuangan Panjang
Dua belas tahun reformasi telah berjalan. Selama itu, tidak satu pun elit politik memerjuangkan dengan sungguh-sungguh terhadap penuntasan kasus 1965. Hal itu menunjukan kecenderungan pengabaian terus menerus dari pemerintah terhadap kasus ini.
Analisis persoalan di atas menunjukkan bahwa
penuntasan Tragedi Kemanusiaan 1965 tergantung kepada kemauan politik dari
pemegang kekuasaan saat ini. Jika pemegang kekuasaan saat ini mementingkan
kepentingan negara-negara imperialis, maka sangat mustahil penuntasan Tragedi
Kemanusiaan 1965 terwujud.
Oleh karena itu, perjuangan penuntasan kasus 1965
harus disadari sebagai perjuangan yang membutuhkan nafas perjuangan yang
panjang. Dibutuhkan persiapan estape perjuangan. Dibutuhkan generasi muda
secara terus menerus untuk mengisi perjuangan yang panjang itu.
Dengan pandangan-pandangan di atas, maka YPKP 65
memiliki arahan strategi, yaitu:
1.
Pulihkan Trauma
Pulihkan Trauma
Korban dan keluarga harus segera memulihkan trauma psikologisnya jika ingin berjuang agar kasus 1965 tuntas karena perjuangan ini langsung dilakukan oleh korban sendiri, bukan pihak luar. Jangan lagi takut. Jangan menyerah. Caranya, semua cabang mengaktifkan pertemuan rutin untuk tutur korban.
Di pertemuan itu, korban bebas berbicara tentang perjuangan revolusioner, Gestok, pembantaian pengikut Soekarno, masa-masa penahanan, dan rencana dan taktik ke depan. Setelah itu, upayakan melibatkan anggota keluarga lain agar ikut mengetahui sejarah sebenarnya dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang akan diperjuangkan bersama di kemudian hari. Selain itu, pembentukan Paguyuban Anak Korban menjadi penting sebagai upaya pengungkapan sejarah, penguatan gerakan korban, ideologisasi, dan bisa dimanfaatkan untuk regenerasi.
Semua kesaksian, pendapat, kritik, dan masukan untuk
strategi ke depan seharusnya didokumentasikan untuk menjadi bagian dari proses
advokasi.
2.
Berjuang dengan Ideologi
Salah satu basis gerak dari gerakan korban 1965 adalah ideologi yang sama. Ideologi itu telah dipelajari oleh sebagian besar korban sejak dulu. Ideologi yang dimaksud adalah Materialisme Dialektika Histrois (MDH). MDH masih diyakini oleh YPKP 65 sebagai pisau analisis yang paling tepat di dalam melihat berbagai masalah internal dan ekternal dan menjadikan landasan teori perjuangan.
3.
Keharusan Revitalisasi Organisasi dan Regenerasi
Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan atau memperbaiki kembali suatu hal yang vital (sangat penting dan berarti) sebelumnya kurang terberdaya. Apa saja yang vital di dalam organisasi? Yang vital perlu diperbaiki di dalam tubuh YPKP 65 antara lain, Kepemimpinan, Struktur Organisasi, Program Kerja, dan Pendanaan.
Revitalisai diperlukan oleh YPKP 65 menggingat
belakangan ini beberapa persoalan dan kontradiksi (pertentangan) internal
membawa dampak yang belum terselesaikan. Selain itu, kendala produktivitas
kerja yang menurun karena beberapa pengurus lanjut usia dan pendanaan
organisasi sangat minim.
Persoalan faktor eksternal juga perlu dikaji ulang dan
dipikirkan rencana strategi baru melihat dinamika kondisi ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan hukum yang ada. Sehingga, diperlukan penyusunan rencana
strategi yang tepat di dalam perjuangan penegakkan HAM Tragedi Kemanusiaan
1965.
Selain revitalisasi dibutuhkan pula regenerasi untuk
mengoptimalkan kerja-kerja organisasi yang akan berlangsung panjang. Sudah
saatnya seluruh cabang YPKP 65 melakukan regenerasi demi kelanjutan organisasi.
Regenerasi dalam konteks ini bukan perpindahan
kekuasaan. Bukan pula perpindahan kepemimpinan semata. Tapi regenerasi adalah
sebuah perpindahan kesempatan untuk bertumbuh. Pertumbuhan ini adalah bagian
yang penting dari proses pembelajaran dan keberlanjutan organisasi. Orang-orang
yang lebih dahulu terlibat di organisasi harus memberikan kesempatan kepada
orang-orang “baru” atau muda untuk melanjutkan perjuangan tanpa meninggalkan
partisipasi dan kontribusi orang-orang terdahulu.
4.
Pengungkapan Kebenaran
Target advokasi YPKP 65 adalah pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran merupakan pintu masuk yang paling halus namun berkekuatan besar untuk membongkar kebohongan publik tentang sejarah pergerakan revolusioner, Gestok, pembantaian massal gerakan (nasionalis) kiri, bahkan dapat merembes ke dimensi ekonomi, politik budaya, dan sosial.
Metode untuk pengungkapan kebenaran melalui rekonstruksi sejarah. Rekonstruksi sejarah merupakan upaya membangun narasi sejarah baru dari perspektif korban untuk menandingi sejarah seputar tragedi 1965 yang dibangun oleh rejim Orde Baru. Sejarah yang menipulatif itu selama ini telah membodohi sekian generasi yang semakin memperkuat stigmantisasi terhadap korban dan deideologisasi massal. Selain itu, sebagai upaya untuk membersihkan pelaku dari pelanggaran HAM berat yang dapat diadili secara nasional dan internasional.
Rekonstruksi sejarah dapat dilakukan melalui tiga
proses sekaligus tindakan atau program yang diperlukan.
Pertama, pendataan dan peneltian kesaksian korban, kuantitas dan kualitas pola kekerasan yang dialami korban, dan tempat-tempat kejadian perkara atau kuburan massal.
Kedua, melakukan penulisan sejarah dengan sumber dari korban dan hasil penelitian sebagai tandingan sejarah versi penguasa. Penulisan sejarah dapat dituangkan ke dalam berbagai media.
Ketiga, menuturkan sejarah dari perspektif korban ke masyarakat seluas-luasnya sebagai upaya membangun ruang politik agar terbangun penyadaran publik atas rekonstruksi sejarah yang dilakukan.
Pertama, pendataan dan peneltian kesaksian korban, kuantitas dan kualitas pola kekerasan yang dialami korban, dan tempat-tempat kejadian perkara atau kuburan massal.
Kedua, melakukan penulisan sejarah dengan sumber dari korban dan hasil penelitian sebagai tandingan sejarah versi penguasa. Penulisan sejarah dapat dituangkan ke dalam berbagai media.
Ketiga, menuturkan sejarah dari perspektif korban ke masyarakat seluas-luasnya sebagai upaya membangun ruang politik agar terbangun penyadaran publik atas rekonstruksi sejarah yang dilakukan.
5.
Bangun Basis Kekuatan Rakyat
Mengetahui bahwa unsur politis begitu besar di Tragedi Kemanusiaan 1965, maka perjuangan politik juga diperlukan. Bicara politik berarti soal perimbangan kekuatan antar kelas. Korban yang berada di kelas tertindas, termasuk korban, harus menghimpun basis kekuatan rakyat yang sebesar mungkin agar perimbangan, bahkan perebutan kekuasaan menjadi mungkin.
Sebisa mungkin, cabang-cabang YPKP 65 memiliki basis
pengorganisiran rakyat untuk memperjuangkan isu 1965 itu sendiri dan persoalan
ekonomi dan politik negara kita. Jika semua cabang YPKP 65 berhasil membangun semua
itu, kekuatan untuk mencapai penegakkan HAM di tanah air menjadi tidak lebih
sulit lagi.
6.
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Salah satu kendala besar yang dihadapi oleh YPKP 65 merupakan persoalan ketersediaan logistik atau pendanaan. Untuk itu, secara mandiri diperlukan pembentukan kegiatan ekonomi kolektif. Kegiatan ekonomi ini bermodalkan secara kolektif dan hasil lebihnya diprioritaskan untuk organisasi. Pembentukan kegiatan ekonomi ini disesuaikan dengan kondisi tiap cabang.
[1] Tulisan ini
merupakan arahan strategi kepada semua cabang YPKP 65 yang harus dilaksanakan
di dalam periode kerja ke depan.
sumber http://ypkp6566.blogspot.co.id/2010/09/rencana-strategi-ypkp-651.html
0 komentar:
Posting Komentar