Senin, 21 Desember 2015 | 16:24 WIB
Profesor
Benedict Anderson dari University of Cornell saat memberikan kuliah
Umum di FIB UI, Jakarta, 10 Desember 2015. TEMPO/Frannoto
Hubungan antara Ben Anderson ini diungkapkan oleh sahabatnya, Amrih Widodo yang kini dosen antropologi budaya di Australian National University. Amrih bertemu pertama kali dengan Ben pada tahun 1981 di suatu pesta yang diadakan John Wolff, dosen di Cornell University. John mempekerjakan Amrih sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di Cornell University sejak musim gugur 1981. Di kampus ini juga Amrih meraih gelar master. “Pak Ben pernah menceritakan lebih dari sekali, yaitu kedatangan Ali Moertopo dan orang-orangnya,” kata Amrih kepada Tempo, Jumat 18 Desember 2015 lalu.
Ali Moertopo, kata Amrih, menemui Ben Anderson di Amerika Serikat untuk menyerahkan dokumen-dokumen peristiwa 1965-1966. Dengan menyerahkan dokumen itu, Ali Moertopo berharap akan membuat Ben Anderson berubah pikiran. Dokumen yang diserahkan Ali Moertopo di antaranya adalah visum dokter terhadap jenderal yang menjadi korban Peristiwa 1965. Ketika itu, Ben membuat kajian tentang Peristiwa 1965 dan hasilnya menunjukkan bahwa tragedi itu merupakan lebih semata-mata akibat konflik internal di dalam tubuh Angkatan Darat.
Menurut Amrih, yang terjadi justru sebaliknya. Dokumen tersebut malah diterjemahkan oleh Ben Anderson, lalu diterbitkan dalam The Cornell Modern Indonesia Project. Dokumen itu justru menunjukkan tidak adanya penyiksaan seperti yang disebutkan oleh sejumlah media massa yang dekat dengan Angkatan Darat pro-Soeharto.
Tentara Nasional Angkatan Darat menjadikan penyiksaan jenderal sebagai alasan untuk membasmi PKI hinga ke akar-akarnya, sehingga terjadi pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali. “Pertemuan dengan Ali Moertopo dan penelusuran dokumen-dokumen itu malah makin memperkuat keyakinan tentang kebenaran Cornell Paper,” kata Amrih.
Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson adalah profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat yang ikut mewarnai pemikiran dunia tentang Indonesia. Ben Anderson wafat di Batu, Jawa Timur, Minggu dinihari, 13 Desember 2015. Ben dikenal karena kritik-kritiknya terhadap Orde Baru. Ia pernah dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto dan baru datang lagi ke sini setelah rezim Soeharto jatuh.
Ben, 79 tahun, datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 10 Desember 2015. Kegiatan ini diselenggarakan penerbit Marjin Kiri, Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan majalah Loka. Karyanya yang mengusik Orde Baru adalah "The Cornell Paper" yang ditulis bersama Ruth McVey yang juga sama-sama dari Cornell. Tulisan yang diterbitkan pada 1 Januari 1966 itu berisi analisis tentang peristiwa G30S. Ia menyimpulkan G30S adalah persoalan internal angkatan darat dan Partai Komunis Indonesia tidak terlibat langsung.
Seumur hidupnya, Ben Anderson telah menulis lebih dari 400 publikasi yang telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Bukunya juga banyak membahas mengenai perkembangan politik di Indonesia. Sebut saja Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation: 1944-1945; Mythology and the Tolerance of the Javanese; dan Violence and the State in Suharto's Indonesia.
Majalah Tempo terbitan Senin 21 Desember 2015 ini mengulas Ben Anderson dan pentingnya bagi Indonesia.
SUNUDYANTORO
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/21/078729569/ben-anderson-g30s-dan-utusan-soeharto-bernama-ali-moertopo
0 komentar:
Posting Komentar