Arief
Ikhsanudin | Selasa 29 Desember 2015 WIB
Meski tak
lancar, partai memberikan beban keuangan kepada anggota. Bukan sumber pemasukan
partai yang utama.
Surat Instruksi untuk iuran pembangunan
gedung partai dan Kartu keuangan Partai Komunis Indonesia. Sumber foto:
Dokumen KOTI/Arsip Nasional Republik Indonesia.
DN AIDIT bukanlah perokok –tidak sebagaimana digambarkan dalam
film Pengkhianatan G
30 S PKI. Dan demi terselenggaranya Kongres ke-6 PKI, dia mengajak
kawan-kawannya di Dewan Harian Politbiro CC PKI agar berhenti merokok.
Ajakan itu tak bertepuk sebelah tangan. Anggota Dewan Harian
memutuskan berhenti merokok, “sedangkan kepada semua pemimpin dan anggota PKI
dianjurkan juga untuk menghentikan merokok atau sekurang-kurangnya mengurangi
rokok, dan menyerahkan uang yang biasanya untuk membeli rokok buat dana
kongres,” demikian isi Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI tanggal 5 Januari
1959.
Resolusi juga menyerukan penghematan, baik di kantor-kantor partai
maupun rumah-rumah anggota, terutama pimpinan partai. Selain itu, seruan kepada
anggota untuk melakukan suatu pekerjaan atau menanam tanaman jangka pendek.
Hasilnya diserahkan sebagian atau seluruhnya untuk dana kongres.
Gerakan menutup biaya kongres sudah dimulai beberapa bulan
sebelumnya. Pada 4 Desember 1958, Panitia Kongres mengedarkan instruksi ke
Comite Daerah Besar (CDB), Comite Pulau (CP), dan Fraksi Pusat. Setiap anggota
dan calon anggota ditetapkan menyumbang Rp 3, yang bisa diangsur tiga kali.
Sementara CDB dan CP diharapkan melakukan berbagai kegiatan penggalangan dana.
Semua upaya itu berbuah manis. Bahkan laporan Kongres ke-6
menyebutkan, jumlah sumbangan melebihi pengeluaran kongres. Diputuskan sisa
dana dipakai untuk perluasan gedung Comite Centeral Partai dan jika ada sisanya
untuk pembangunan Gedung Kebudayaan di Jakarta –kedua proyek ini juga
mengandalkan sumbangan anggota.
Sebagai bentuk terima kasih kepada rakyat, atas usul Aidit,
Kongres ke-6 menyetujui dan mengeluarkan resolusi “Bentuk dan Kembangkan
Regu-regu Kerjabakti”.
Seretnya Iuran Anggota
Kampanye penggalangan dana hanyalah salah satu cara menutupi
pengeluaran partai, terutama yang insidental. Hal yang sama dilakukan selama
kampanye pemilu 1955. Namun kebutuhan partai sangatlah besar. Dari kerja-kerja
rutin partai hingga membayar gaji pegawai partai. Dari kursus kader hingga
penerbitan. Dari gelaran kongres hingga perayaan peringatan nasional atau
internasional. Dari mana pemasukan partai?
Konstitusi PKI menyebutkan, partai dibiayai oleh uang pangkal dan
iuran anggota, usaha-usaha produktif dan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh
partai, serta sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai.
Uang pangkal dan iuran anggota menjadi sumber utama partai.
Nominal iuran tidak dipukul rata, tergantung penghasilan tiap anggota selama
satu bulan. Berdasarkan Konstitusi PKI tahun 1954, misalnya, yang terendah Rp
0,50 untuk anggota berpenghasilan di bawah Rp 150, dan yang tertinggi, untuk
anggota berpenghasilan Rp 651 ke atas, iurannya sebesar 1,5% dari penghasilan
kotor dan dibulatkan ke atas dengan Rp 0,50. Sementara uang pangkal disesuaikan
dengan nominal uang iuran yang dibayarkan.
Yang menangani uang pangkal dan iuran adalah CDB atau CP. Dari
dana yang terkumpul, mereka mendapatkan 90 persen, sementara sisanya mengalir
ke kas CC. CDB dan CP juga mengatur semua permasalahan keuangan, termasuk
keperluan Comite di bawahnya.
Kendati wajib, iuran tak mengalir lancar. Misalnya dialami Comite
Djakarta Raya (CDR) PKI pada 1954. Dalam dokumen KOTI No 261, CDR mengemukakan,
“penyetoran belum dilakukan oleh seluruh Subsecom-Subsecom di semua seksi dan
belum merata meliputi seluruh anggota dan calon-calon anggota....”
Seretnya iuran anggota masih terjadi pada 1956 sehingga menjadi
salah satu bahasan dalam Rapat Pleno II CDR. Kesimpulannya, ini bukan hanya masalah
teknis tapi juga ideologis: egosentris, otonomisme, subjektivisme, dan
meninggalkan cara kerja kolektif. Diputuskan CDR akan melakukan kampanye atau
penjelasan kepada semua tingkat organisasi partai di bawahnya.
CDB lainnya mengalami hal serupa, yang berimbas pada kerja-kerja
partai. Upaya CC mengubah aturan agar Comite Subseksi (CSS) langsung
menyetorkan 10 persen dari iuran anggota ke CC juga tak membuahkan hasil. Tak
semua CSS memenuhi instruksi tersebut.
Namun masalah keuangan juga dialami comite di bawahnya. Pada 23
Mei 1964, misalnya, CS Matraman mengeluarkan surat permohonan bantuan dana
untuk menjamin kelangsungan hidup empat pegawai partai; dua orang sebagai
fungsionaris dan dua lagi tenaga sekretariat. Sumbangan bisa berupa uang maupun
bantuan lainnya.
Kendati kecil, partai mendapatkan pemasukan dari gaji anggota yang
mendapat kedudukan dari partai. Sebagaimana diatur dalam Konstitusi PKI,
seluruh gaji pejabat tersebut harus diserahan kepada partai. Sebagai gantinya,
dia mendapat honorarium menurut peraturan yang ditentukan partai. Namun
jumlahnya tidaklah seberapa.
Kebanyakan anggota PKI berasal dari kalangan masyarakat bawah.
Praktis, jika hanya mengandalkan kader, PKI tak mungkin bisa membiayai seluruh
kebutuhan partai. Sumber lain pemasukan partai, sebagaimana disebutkan
Konstitusi PKI, adalah sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai
yang tidak mengikat. Namun sulit menelisik siapa saja dan berapa jumlah
sokongan yang masuk. Inilah yang kemudian memunculkan spekulasi-spekulasi.
Menurut Donald Hindley dalam The Communst Party of Indonesia, bantuan keuangan dari
nonanggota cukup besar. Kendati tak ada bukti yang kuat, donator PKI
kemungkinan besar berasal dari Uni Soviet, Tiongkok, dan negara-negara blok
Soviet. Bentuknya bisa berupa literatur, majalah, atau risalah-risalah yang
dijual di toko-toko buku milik partai atau bantuan akomodasi delegasi PKI yang
berkunjung ke negara-negara tersebut. “Namun, sumber utama bantuan keuangan
nonpartai berasal dari tiga juta orang Tionghoa (kebanyakan warga negara
Indonesia) yang tinggal di Indonesia,” tulis Hindley.
Hindley menyebut para pengusaha Tionghoa melakukannya dengan
sukarela. Namun ada pula yang melakukan karena terpaksa. Mengutip tulisan
George McTurnan Kahin berjudul “Indonesia”, dimuat dalam Major Governments of Asia,
“tidak diragukan lagi mereka biasanya melakukannya karena persuasi atau tekanan
dari Kedutaan Tiongkok atau tekanan dari komunis yang mengontrol serikat buruh
dan mengancam akan melakukan tindakan balasan jika tak patuh.”
Selama pemilu 1955, misalnya, PKI mengeluarkan dana sangat besar
untuk kegiatan kampanyenya. Menurut Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia,
mau tak mau orang menduga PKI memperoleh dana dari pengusaha Tionghoa serta
negara-negara komunis dan kantor perwakilan dagang mereka di Jakarta. Dalam
bukunya yang lain, The
Wilopo Cabinet, 1952-1953, Feith juga menyinggung bantuan Kedutaan
Tiongkok dalam bentuk uang maupun literatur-literatur.
Sementara David Mozingo dalam Chinese Policy Toward Indonesia, 1949-1967menyebut
banyak orang percaya bahwa Bank of China meminjamkan uang kepada para pengusaha
Tionghoa di Indonesia dengan syarat bahwa mereka memberikan kontribusi kepada
PKI.
Sumber: Hiistoria.Id
0 komentar:
Posting Komentar