BEN ANDERSON merupakan salah satu pakar sejarah dan politik Indonesia paling berpengaruh pada abad 20. Kini, Ben telah meninggal dunia. Tetapi karyanya tentang Indonesia bagaikan sumber mata air yang tidak ada habisnya direguk.
Sebut saja penelitiannya yang berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia atau Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia. Sejak pertama dipublikasikan pada 10 Januari 1966, karya ini masih dipelajari.
Melalui penelitian bersama Ruth Mcvey dan Frederick Burnell itu, pria yang bernama lengkap Benedict Richard O'Gorman (ROG) Anderson ini menjungkir balikkan sejarah resmi versi Orde Baru tentang Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Dalam suatu wawancara, pria kelahiran Kunming pada 26 Agustus 1936 ini pernah menyatakan, logika yang dibangun Orde Baru mengenai G30S 1965 dengan menyebut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya sangat tidak masuk diakal.
Dengan menggunakan sumber-sumber media pada masa itu yang masuk ke Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat, Ben Anderson yang masih kuliah mengajak seniornya Ruth Mcvey dan adik kelasnya Frederick Burnell melakukan penelitian singkat.
Sumber-sumber media yang digunakan adalah yang terbit di daerah-daerah dan belum dikuasai tentara Orde Baru di Jakarta, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, dan lainnya. Hingga tiga minggu setelah G30S, media-media itu belum dilarang.
Selain menggunakan sumber koran dan majalah yang terbit di masa itu, Ben Anderson juga menggunakan dokumen-dokumen tentara yang masuk ke Cornell University, dan pengamatan langsung di lapangan oleh sejumlah kenalan yang ada di daerah itu.
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian adalah sumber media dan dokumen yang terbit hingga pertengahan Desember 1965. Setelah itu, media sudah dikendalikan atau dilarang terbit oleh tentara Orde Baru secara keseluruhan di Indonesia.
Selama tiga minggu waktu penulisan, akhirnya Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 rampung dikerjakan pada 10 Januari 1966. Dari hasil penelitian yang singkat itu diketahui banyak terjadi ketidak cocokan sejarah versi Orde Baru di lapangan.
Sedikitnya ada beberapa poin penting yang berhasil dipetik dari analisis awal itu. Pertama, Bung Karno tidak terlibat G30S dan sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari peristiwa berdarah ini. Sebaliknya, G30S membahayakan dirinya.
Poin kedua mengenai PKI sebagai dalang G30S tidak benar. Tudingan ini sangat tidak masuk logika, karena PKI pada waktu itu sedang berada di atas angin dan pengaruhnya terhadap Bung Karno cukup besar. Hal ini jelas menguntungkan posisi PKI.
Ketiga adanya perselisihan atau masalah dalam tubuh Angkatan Darat (AD). Menurut mereka, sudah lama berkembang sikap kritis di kalangan para perwira di Kodam Diponegoro, Jawa Tengah terhadap para perwira Diponegoro di Jakarta.
Para perwira di Semarang melihat senior mereka di Jakarta telah bertindak korup, suka bermain perempuan, dan bermewah-mewahan. Mereka dianggap telah mengkhianati prinsip-prinsip kerakyatan, serta kesederhanaan seorang tentara rakyat.
Selain mengungkap adanya konflik antara bawahan dengan atasan, pada kesimpulannya itu Ben Anderson dan Ruth Mcvey juga mengungkap kedekatan para pemimpin G30S, yakni Untung dan Latif dengan Jenderal Soeharto.
Kedekatan Soeharto dengan Untung tampak pada 1964. Saat itu, Soeharto rela pergi jauh-jauh ke salah satu desa di Jawa Tengah untuk menghadiri perkawinan Untung. Saat menikah, usia Untung sudah cukup tua. Dia sering diejek perjaka tua.
Begitupun dengan Latief. Soeharto dikenal sangat dekat dengan Latif. Bahkan Istri Soeharto, Ibu Tien juga berhubungan erat dengan Istri Latief. Ben Anderson menduga, Ibu Tien yang meminta Soeharto membebaskan Latif dari hukuman mati.
Analisis awal Ben Anderson dan Ruth Mcvey yang kemudian terkenal dengan Cornell Paper menimbulkan kegemparan di Jakarta. Di kalangan aktivis mahasiswa dan kaum intelektual Indonesia, tesis Ben Anderson ini sempat hangat diperbincangkan.
Pada tahun 1967, Ben Anderson sempat berkunjung ke rumah sahabatnya Soe Hok Gie, di Jalan Kebon Jeruk, Jakarta. Saat itu, dia sempat mendiskusikan tesisnya tersebut dengan sejumlah teman-temannya. Di antara yang hadir tampak Salim Said.
Selain mengunjungi para sahabatnya, kedatangan Ben Anderson ke Indonesia saat itu adalah untuk mengikuti sidang Mahmilub. Saat mengikuti sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo, dia menerima salinan fotokopi rekaman stenografis pengadilan.
Rekaman itu berisi dokumen-dokumen penting tentang lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan. Di dalamnya ternyata ada laporan yang disusun lima orang ahli kedokteran forensik yang memeriksa mayat-mayat enam orang jendral yang dibunuh.
Keenam jenderal itu adalah Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan, serta seorang letnan muda Tendean yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Hal ini sangat mengejutkan Ben Anderson sekaligus membuatnya senang.
Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah dimiliki tentang bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat berita-berita yang disajikan oleh surat kabar dan majalah umum berlain-lainan dan sarat kontroversi.
Dokumen penting itu kemudian dia terjemahkan. Disebutkan pada bagian atas setiap visum et repertum (Autopsi) menunjukkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin 4 Oktober 1965 atas perintah Mayjen Soeharto selaku Komandan KOSTRAD.
Tim terdiri dari dua orang dokter tentara, termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal, dan tiga orang sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) yang salah satunya adalah Dr Sutomo Tjokronegoro.
Sejak mayat diangkat dari Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 siang, tim langsung bekerja selama 8 jam dari pukul 4.30 sore pada 4 Oktober 1965 sampai 12.30 lewat tengah malam pada 5 Oktober, di Kamar Bedah RSPAD.
Siang harinya, pada Selasa 5 Oktober 1965, mayat-mayat itu langsung dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Satu hal yang pasti patut diperhatikan, autopsi dilakukan atas perintah langsung Mayjen Soeharto.
Hal itu berarti bahwa setelah tim dokter bekerja, laporan hasi autopsi segera disampaikan kepadanya. Tim dokter melaporkan bahwa jenderal-jenderal yang mati itu karena diberondong dan ada sebagian yang badannya rusak karena dilempar dalam sumur.
"Tapi dua hari setelah itu Ali Murtopo bikin keterangan di televisi dan di koran bahwa betapa kejamnya PKI sehingga kemaluan si jenderal dipotong, matanya dicongkel, dan sebagainya. Mereka tahu betul bahwa itu bohong!" kata Ben Anderson.
Temuan dokumen-dokumen yang mengejutkan itu semakin meneguhkan pendirian Ben Anderson dan Ruth Mcvey tentang analisa awal mereka bahwa PKI tidak terlibat secara langsung dalam G30S, dan ada upaya untuk menghancurkan PKI secara sistematis.
Saat laporan Ben Anderson tentang hasil autopsi kembali dibuka ke publik, reaksi Jakarta semakin marah. Keputusan untuk melarang Ben Anderson datang ke Indonesia pun akhirnya dikeluarkan. Pada 1972, secara resmi Ben Anderson dicekal Soeharto.
Setelah Soeharto lengser, pada Desember 1998 Ben Anderson kembali menginjakkan kakinya di Indonesia. Saat itu Ben terlihat sangat senang. Tampak pada wajahnya suatu kerinduan yang mendalam bagai terpisah dari Tanah Kelahiran sendiri.
Ben Anderson memang dikenal sebagai peneliti asing yang sangat mencintai Indonesia dengan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya. Sejak kunjungannya yang pertama kali lagi itu, dia terus melakukan kunjungan rutinnya ke Indonesia.
Dalam setahun, sedikitnya dua kali Ben Anderson datang ke Indonesia. Terakhir, Ben Anderson datang ke Indonesia untuk menghadiri acara diskusi tentang buku terbarunya yang berjudul Di Bawah Tiga Bendera, diterbitkan oleh Marjin Kiri.
Beberapa hari kemudian, Anderson meninggal pada Minggu 12 Desember 2015, di Batu, Malang, Jawa Timur, dalam usia 79 tahun. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi mengenang wafatnya Ben Anderson diakhiri. Semoga memberikan bermanfaat.
Sumber Tulisan
*Salim Haji Said, Gestapu 65, Mizan, 2015.
*Pambudi, Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal, Media Pressindo, 2007.
*Ben Anderson: Politisi Indonesia Main Duit, dikutip dalam wawancara Tamu Kita, Majalah D&R, No31/XXX/15-20 Maret 1999.
*Profesor Ben Anderson tentang G30S, dikutip dalam laman Arus Bawah arusbawah20.wordpress.com.
*Joss Wibisono, Cornell Paper: Penentang Pertama G30S versi Soeharto, seperti dikutip dalam http://archief.wereldomroep.nl.
*Ben Anderson, Tentang Matinya Para Jendral, dikutip dalam laman newhistorian.wordpress.com.
http://daerah.sindonews.com/read/1070825/29/ben-anderson-dan-kudeta-militer-1-oktober-1965-1450531588/
0 komentar:
Posting Komentar