22 Desember 2015
Perbedaan pemikiran yang frontal antara Perdana Menteri Soetan Sjahrir dengan kelompok oposisi “Persatuan Perjuangan”
(PP) pimpinan Tan Malaka, terjadi insiden penculikan hingga upaya kudeta
Kabinet Sjahrir II pada medio 1946. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan
pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan
penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas
Jawa dan Madura.
Kronologinya berawal dari penangkapan Tan Malaka dan para pengikutnya,
seperti Achmad Soebardjo dan Sukarni pada 23 Maret 1946, dengan tuduhan
merencanakan penculikan Sjahrir. Penculikan itu benar-benar terjadi empat hari
kemudian.
Penculikan Pada Sjahrir
Ide penculikan itu berawal dari A.K Joesoef, Kepala Tentara
Pendjagaan Kota (Jogjakarta), yang ingin menculik Sjahrir karena dianggap telah
merugikan bangsa dengan hasil perundingannya. Karena pada waktu itu Sjahrir
sedang ada di Solo, yang berarti di luar wilayah kekuasaan Joesoef, dia meminta
surat perintah kepada Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga
“di-acc” Panglima Divisi IV, Kolonel Sutarto yang
merupakan tangan kanan Jendral Soedirman. Akhirnya dari Soedarsono, ide itu
merembet sampai penasihat – penasihat politiknya Soedirman dan sampai pada
Yamin dkk. Berbekal surat itulah A.K. Yusuf tak menemui
halangan berarti dari Kepolisian Solo untuk melakukan penangkapan pada Sjahrir.
Kepala Polisi, Domopranoto sedianya ingin mengklarifikasi pada Jenderal
Soedirman dan Presiden Soekarno. Tapi kelompok Jenderal Sutarto bersikeras
bahwa surat ini sudah resmi tanpa harus diklarifikasi. Dengan begitu, terbuka
lebar jalan A.K. Yusuf dan Sutarto menculik Sjahrir bersama beberapa anggota kabinet lainya di Hotel
Merdeka, Solo sekitar pukul 01.00. WIB
Sementara itu ada dua anggota kabinet Sjahrir, yakni Dr. Sudarsono dan
Subadio, berhasil lolos dengan menyeberangi sungai kecil di belakang hotel.
Sementara itu, Sjahrir dibawa ke Kasunanan Paras, Boyolali, di mana Sjahrir
dijaga oleh Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto.
Karena tanpa rencana yang matang, akhirnya Kup
ini berhasil digagalkan dengan mudah oleh pemerintah (dalam hal ini Sjahrir dan
Amir Sjarifuddin). Bahkan penculikan terhadap Amir Syarifudin pun gagal.
Karena keberadaan Sang kepala pemerintahan dan kabinetnya tak diketahui
rimbanya dan terjadi kevakuman pemerintahan maka pada 28 Juni, Presiden
Soekarno mengeluarkan Maklumat No.1 tahun 1946, untuk sementara mengambil
kekuasaan penuh dan menggulirkan sistem presidensiil. Dengan bunyi maklumat
sebagai berikut,
“Berhubung dengan kejadian-kejadian dalam negeri yang membahayakan
keselamatan Negara dan perjuangan kemerdekaan kita, maka kami Presiden Republik
Indonesia dengan persetujuan Kabinet dalam sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946
mengambil kekuasaan pemerintah sepenuhnya untuk sementara waktu sampai keadaan
biasa yang memungkinkan kabinet dan lain-lain badan resmi bekerja sebagaimana
mestinya”
Keesokan harinya, seluruh kekuasaan pemerintahan diambil alih lagi
Presiden Republik Indonesia. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa akhirnya
berhasil, karena beberapa hari setelah itu seluruh korban penculikan dibebaskan
kembali.
Percobaan Kudeta 3 Juli 1946
Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral R.P. Sudarsono, pelaku utama
penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap
Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk
ditandatangani presiden, yang menuntut agar:
Ø
Presiden memberhentikan Kabinet
Sjahrir II
Ø
Presiden menyerahkan pimpinan
politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik
Ø
Presiden mengangkat 10 anggota
Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad
Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Boentaran Martoatmodjo, Mr. R. S. Budhyarto
Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Ø
Presiden mengangkat 13 menteri
negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat tersebut
Presiden Soekarno, pihak pemerintah yang sudah jauh hari siap menghadapi pihak Soedarsono tidak menerima maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para
pengantar maklumat, Dan akhirnya perobaan pembrontakan pun gagal karena Partai-partai seperti Masyumi, PNI, dan PBI
yang diharapkan mengerahkan mendukung dengan massa ke jalan – jalan untuk berpawai tidak
menjalankan hal tersebut. Serta dari pihak militer sendiri, ternyata Soedarsono tidak mendapatkan dukungan yang penuh dari divisi
lain maupun kesatuan lain. Terbukti dengan munculnya Soeharto yang ditugaskan
langsung oleh Presiden Soekarno untuk menangkap Soedarsono dan yang terlibat
dari pihak – pihak tentara dan polisi.
Sementara itu pada akhirnya, Sjahrir berhasil dibebaskan dan Tan Malaka
Cs masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Sementara itu empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke
Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3
tahun, sedangkan R.P. Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama
empat tahun penjara.
Dua tahun kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan
Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan melalui pemberian grasi presiden.
http://referensianaa.blogspot.co.id/2015/12/peristiwa-3-juli-1946-percobaan-kudeta.html
0 komentar:
Posting Komentar