December 5, 2015 | Ikwan Setiawan
Membicarakan kesenian Banyuwangen, khususnya lagu/musik, dan industri budaya tanpa membicarakan problematika politik dan budaya pada tahun 65 dan tahun-tahun sesudahnya samahalnya “melupakan asal-muasal masuknya kesenian Banyuwangen ke dalam industri budaya”. Mengapa? Karena pengaruh tragedi politik G 30 S 1965 di Banyuwangi tidak hanya berakibat pada pembunuhan massal orang-orang yang diindikasikan atau dituduh terlibat PKI dan organisasi-organisasi underbouw-nya, tetapi juga menyebabkan perubahan formasi kultural, utamanya terkait kesenian. Para seniman Lekra yang semula menikmati keleluasaan berkarya di masa kepemimpinan rezim Soekarno harus menghadapi ancaman dibunuh atau dipenjara oleh rezim militer karena secara stigmatik dituduh ikut menyebarkan komunisme melalui karya-karya sastra dan kesenian mereka. Beberapa dari mereka yang selamat kemudian diajak oleh para seniman lain untuk bergabung ke dalam usaha rekaman lagu-lagu Banyuwangen yang di sponsori oleh rezim negara. Usaha rekaman ‘plat merah’ itulah yang kemudian mempengaruhi lahirnya industri rekaman swasta sebagai cikal-bakal industri budaya di Banyuwangi.
Kajian tentang tegangan-tegangan politik dan budaya di Banyuwangi pada tahun 65 dan tahun-tahun sesudahnya serta awal perkembangan industri budaya Banyuwangen merupakan sajian utama dalam bab ini. Pembahasan bab ini akan mencakup: (a) ketidakmenentuan kehidupan bernegara dan berbangsa pasca 17 Agustus 1945, (b) kuasa ideologi partai dan pengaruhnya dalam ranah kebudayaan, (c) dinamika kultural di Banyuwangi pada masa pra 1965; (d) kreativitas dan pilihan ideologis dalam karya seniman Lekra Banyuwangi; (e) tragedi hidup seniman Lekra pada tahun 1965 dan strategi penyelamatan yang dilakukan seniman Banyuwangi; (f) dinamika budaya Banyuwangi dalam kuasa rezim; dan, (g) perkembangan industri budaya Banyuwangen pada masa Orba.
A. Kesenian dalam Kuasa Politik
1. Indonesia dan Ke-Indonesia-an dalam “Kompleks Pascakolonial”
Selepas Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memasuki “sebuah kompleks pascakolonial” yang ditandai dengan (1) menguatnya gairah nasionalisme anti-penjajah[1]; (2) konflik ideologis-politis antarelit sipil maupun antara elit sipil dan militer dalam memandang ke-indonesia-an yang ideal; (3) penataan kembali kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam sistem dan praktik kenegaraan modern; dan, (4) endapan-endapan keinginan untuk merasakan kemajuan sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka seperti yang mereka lihat dari kehidupan para tuan bekas-penjajah. Dalam kondisi-kondisi itulah para pemimpin Republik, partai politik, pemodal, masyarakat kota, petani, buruh, seniman, dan sastrawan ‘menggerakkan’ Indonesia sebagai negara-bangsa yang bisa maju dan ke-Indonesia-an sebagai proyek diskursif yang terus menumbuhkan keyakinan berbangsa dan ke-Indonesia-an di awal-awal kemerdekaan.
Gairah untuk terus membayangkan dan menganggit Indonesia dan ke-Indonesia-an nyatanya harus menghadapi ‘mendung tebal’. Pertikaian politik antarelit sipil pemimpin Republik dan antara elit sipil dengan militer menjadi warna dominan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa selama periode 1945-1965. Pertikaian tersebut tersebut menunjukkan kuatnya perbedaan ideologis di antara mereka. Para elit sipil didikan kolonial—baik di Hindia Belanda maupun di Belanda—sudah terbiasa dengan pemikiran dan subjektivitas Eropa yang mengutamakan kebebasan dan otonomi-diri, baik yang mengatasnamakan ideologi liberalisme, sosialisme, maupun komunisme dan meresponsnya secara beragam,[2] baik berbasis pandangan etnis maupun agama masing-masing.[3] Dalam tataran ideal, perbedaan ideologis tersebut sebenarnya bisa berkontribusi kepada bangunan Indonesia dan ke-Indonesia-an ideal berdasarkan perpaduan antara nilai-nilai modernitas dan tradisi. Sayangnya, kepentingan politik-pragmatis semakin memperbesar perbedaan serta berakibat pada gonta-ganti kabinet. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah pusat juga mendorong lahirnya perlawanan bersenjata, baik yang mengatasnamakan ideologi agama maupun kepentingan militer. Peristiwa PKI Madiun 1948, DI/TII Kartosuwiryo, PRRI/PERMESTA, dan DI/TII Aceh adalah contoh perlawanan bersenjata yang didasari perbedaan dan ketidakpuasan dengan pemerintah pusat dalam ‘mengelola’ Indonesia berbasis ideologi dan agama yang melibatkan kekuatan militer. Pun para elit militer tampak tidak pernah memberikan kepercayaan penuh kepada elit sipil untuk memimpin Republik, sehingga konflik sipil-militer seringkali terjadi, baik yang mengarah kepada provokasi maupun perlawanan bersenjata.
Sementara, endapan-endapan keinginan untuk merasakan ruang-ruang kemajuan seperti yang mereka lihat dalam kehidupan tuan-kolonial tetap saja bersemayam di benak rakyat, meskipun mereka juga membenci praktik kolonialisme. Ketika konsolidasi elit sipil berantakan, mereka selalu menggunakan penjajahan sebagai kambing-hitam dari kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui propaganda-propaganda yang membius rakyat. Strategi ‘pembiusan massa’ digunakan untuk terus meyakinkan rakyat bahwa mereka masih bisa berharap dan harus berjuang untuk maju dengan mengedepankan kesadaran nasional dalam kawalan pemerintah. Artinya, elit penguasa kurang bisa melakukan rasionalisasi tindakan terkait kesadaran nasional di tengah-tengah rakyat karena konflik-konflik kepentingan di antara mereka sendiri. Dalam kondisi tersebut, para elit parpol berlomba-lomba meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa menghidupkan harapan akan Indonesia dan ke-Indonesia-an yang lebih baik sesuai dengan garis ideologi masing-masing. Pun Pancasila yang sudah disepakati sebagai ideologi resmi negara, dipahami secara beragam berdasarkan kepentingan politis masing-masing parpol.
Celakanya, dominasi kepentingan ideologis parpol seringkali melupakan fungsi parpol sebagai sarana pembelajaran politik masyarakat sipil dan mengganggu pelayanan publik.[4] Rakyat dari kota sampai desa benar-benar hendak diarahkan oleh ideologi partai sehingga polarisasi ideologi seringkali dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Rapat-rapat partai—PNI, Masyumi, NU, PKI, dan lain-lain—tidak hanya berlangsung di alun-alun kota, tetapi juga lapangan kecamatan atau desa. Perbedaan-perbedaan ideologis berbasis parpol itulah yang pada saat terjadinya G 30 September 1965 digunakan menjadi ‘senjata ideologis’ untuk mengalirkan darah orang-orang yang terlibat atau dituduh terlibat dalam PKI.
2. Budaya dalam Kepentingan Ideologis Partai Politik
Janji ideologis yang diberikan oleh parpol ternyata berhasil juga ‘menaklukkan’ dan ‘memasukkan’ para seniman dan sastrawan Indonesia ke dalam kubu-kubu ideologis dalam berkarya dan berorganisasi. Perwujudan dari kubu-kubu tersebut bisa dilihat, misalnya, dengan berdirinya LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang berafiliasi ke PNI, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI, Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslim) yang menjadi perpanjangan tangan NU, HSBI (Himpunan Seniman dan Budayawan Islam) yang menjadi alat ekspresi para anggota MASYUMI. Memang, kehadiran lembaga-lembaga tersebut membawa kepentingan kesastraan, kesenian, dan kebudayaan, tetapi tetap dengan bingkai ideologisnya masing-masing. Kondisi inilah yang memunculkan perseteruan, perdebatan, dan polemik yang terkadang lebih kental aroma politiknya.
Lekra adalah lembaga kebudayaan yang konsisten mengusung isu-isu kerakyatan.[5] Kebudayaan tidak harus dilepaskan dari politik, bahkan kejelasan ideologi politik yang membela rakyat dan kerakyatan-nya akan memperkuat budaya rakyat, sehingga mereka akan berdaya dan makmur. Begitulah semangat dan perjuangan ideologis kerakyatan yang hendak dipraksiskan oleh pimpinan dan anggota Lekra.[6]Perjuangan ideologis Lekra mencakup sastra, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, seni musik, film, bahkan sampai masalah perbukuan. Luasnya cakupan kerja-kerja kultural yang dijalani serta kerja-kerja praksis di tataran bawah menjadikan Lekra memperoleh simpati dari para seniman rakyat yang tersebar di tanah air. Mereka mungkin memimpikan ‘bersinarnya’ kebudayaan berfondasi akar-akar kultural kerakyatan sembari membebaskannya dari unsur-unsur feodalistik di bawah modernitas yang dibayangkan PKI.
Tentu saja, tawaran Lekra untuk menumbuhkembangkan kebudayaan rakyat, mendapatkan respons positif dari para seniman yang berada di wilayah lokal karena mereka memang lebih berorientasi pada kekayaan kultur arus bawah. Mungkin beberapa gaya dan tampilan estetik dari kesenian rakyat terpengaruh oleh tradisi keraton, tetapi mereka sekedar meniru sebagian dan tetap mengedepankan artikulasi karakteristik estetika rakyatnya. Para seniman rakyat dan produk-produk keseniannya, dengan kehadiran Lekra, seperti mendapatkan angin segar untuk mengekspresikan harapan dan cita-cita kulturalnya: kesenian rakyat sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Wajar kiranya, ketika para seniman reog, jaranan, maupun ludruk di Jawa Timur, misalnya, banyak yang lebih memilih Lekra dibandingkan organisasi kebudayaan lain yang bagi mereka kurang tegas menunjukkan pembelaan terhadap kesenian rakyat.
Sayangnya, ketika semangat untuk mengembangkan budaya rakyat belum selesai dikerjakan, tragedi berdarah yang disebabkan konspirasi tingkat tinggi terjadi: sebuah kebiadaban yang melampaui batas-batas kemanusiaan. Proyek budaya rakyat serta-merta porak-poranda oleh rekayasa segelintir anak negeri yang ingin “mencengkramkan cakar hegemoniknya sembari tersenyum menyambut para pemodal besar dari negara-negara maju”. Pesta menuju aspek-aspek kemajuan bangsa dan kepentingan-kepentingan modal global baru saja dimulai dengan “bermodalkan darah dan tangis mereka yang dijadikan tumbal proyek stabilitas, kemajuan ekonomi, dan pembangunan”. Mereka adalah intelektual, guru, buruh tani, buruh pabrik, buruh kebun, dan seniman yang sebenarnya masih ingin melihat anak cucunya merdeka dan berani mengembangkan kebudayaan dan keberadaban bersendikan kerakyatan. Mereka, yang meskipun masih hidup, harus merasakan stigmatisasi menyakitkan.
C. Bang-bang Wetan[7]: Kesenian Banyuwangen dalam Tegangan Politik
Banyuwangi, kabupaten di ujung Timur Pulau Jawa, terkenal dengan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan yang melimpah, sehingga sejak zaman kerajaan dan kolonial selalu menjadi wilayah rebutan atas nama kepentingan ekonomi dan politik. Di wilayah ini, kesenian tumbuh subur, menyatu dengan gerak dinamis kehidupan masyarakat yang sebagian besar bekerja di sektor agraris dan perikanan. Gandrung (semacam tari pergaulan), angklung, janger (drama tradisional tentang Minak Jinggo), jaranan, dan kesenian-kesenian lainnya, berkembang cukup baik. Seblang (ritual bersih desa, menampilkan seorang penari perempuan muda yang kesurupan), kebo-keboan (ritual sebelum masa tanam padi, di mana para lelaki berperan sebagai kerbau yang membajak sawah) dan endog-endogan (ritual memperingati Maulid Nabi dengan sajian khas telur dengan beragam hiasan) menjadi ritual yang dijalani hingga saat ini.
Dalam perkembangannya, kesenian yang berasal dari akar tradisi Using[8] lebih dominan dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, ketika menyebut kesenian Banyuwangen rujukannya lebih banyak kepada kesenian tradisi Using, meskipun di wilayah ini juga berkembang kesenian Jawa Mataraman, seperti wayang kulit. Dari estetika dan performance, tampak jelas adanya pengaruh Jawa, Bali, Madura, China, maupun Eropa yang diserap secara adaptif, terbuka, dan sadar untuk dijadikan kekayaan kesenian Using. Perjumpaan dengan kekuatan-kekuatan politik dan kultural luar—Mataram Islam, Bali, Belanda—merupakan salah satu faktor yang menjadikan para seniman Banyuwangi banyak menyerap unsur-unsur estetik mereka, tanpa harus kehilangan karakteristik lokalnya.
Ketika para petinggi Republik pasca proklamasi kemerdekaan masih ribut dengan pertikaian politik, seniman Banyuwangi terus bergerak secara dinamis, menciptakan kesenian baru yang lebih merakyat. Kesenian tersebut adalah lagu Banyuwangen dengan iringan angklung dan keroncong serta menggunakan lirik-lirik berbahasa Using yang mudah ditangkap oleh rakyat kebanyakan karena lebih merepresentasikan permasalahan sehari-hari. Sebelumnya, tradisi lagu menyatu dengan kesenian gandrung yang lebih mengedepankan gerak tari pergaulan.[9] Kedekatan tematik dengan permasalahan hidup sehari-hari, kesederhanaan lirik, dan penggunaan angklung —yang memang sudah biasa dimainkan oleh para petani di gubuk-gubuk di sawah—dan keroncong sebagai musik pengiring menjadikan lagu Banyuwangen cepat populer di tengah-tengah rakyat.
Pada masa-masa itu, para seniman musik Banyuwangi lahir dan besar dalam kehidupan egaliter dan indahnya bentang alam, tetapi masih memendam ingatan-ingatan menyayat’ akibat konflik berdarah yang menjadikan wilayah ini sebagai rebutan kekuatan politik dari luar (Bali, Jawa Mataram, Belanda) ketika masih bernama Blambangan[10] dan merasakan penderitaan hidup selepas proklamasi. menyisakan ‘yang menjadi endapan dalam batin dan pikiran. Meskipun demikian, perasaan komunal sebagai komunitas yang ditundukkan dan dikalahkan, tidak menjadikan para seniman diam. Mereka terus bergerak dan berkreativitas, melampaui tekanan-tekanan sosio-kultural-politik. Apa-apa yang mereka ekspresikan melalui karya merupakan representasi permasalahan-permasalahan yang berkembang dalam masyarakat.
Pasca proklamasi hingga 1965, di kehidupan politik juga semarak, sepertihalnya di kabupaten-kabupaten lain. PNI, Masyumi, PKI, dan NU merupakan kekuatan politik utama di Banyuwangi. Khusus tentang PKI, belum ada data yang jelas sejak kapan partai ini masuk dan berkembang di Banyuwangi. Namun, pada November 1947—sebelum Peristiwa Madiun 1948—telah terjadi bentrok antara anggota PKI dengan laskar tentara di wilayah perkebunan sebagai basis PKI di Selatan.[11] Setelah PKI kembali diperbolehkan berpolitik di Indonesia, perkembangannya di Banyuwangi juga cukup signifikan—menempati posisi ketiga setelah PNI dan NU.[12] Pencapaian tersebut, menurut Hasnan Singodimayan, lebih disebabkan keberhasilan PKI dan organisasi-organisasi underbow-nya untuk mengorganisir rakyat di tingkat bawah dibandingkan parpol-parpol lainnya.[13] Selain itu, PKI juga jeli membaca potensi kesenian dan budaya rakyat di Banyuwangi melalui Lekra.[14]
Pada era 50-an hingga 60-an, para seniman Banyuwangi, utamanya seniman musik, ikut bergabung dalam lembaga-lembaga kebudayaan sesuai dengan ideologi yang mereka yakini. Lekra, LKN, Lesbumi, dan HSBI memang lebih berkembang pada masa itu, karena secara politik masyarakat Banyuwangi memang lebih banyak yang bersimpati ke PKI, PNI, NU, dan Masyumi. Realitas historis menunjukkan, para seniman Banyuwangi memang lebih banyak bergabung ke Lekra. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hasnan menuturkan:
Organisasi ini memang pinter. Saya sendiri nyaris masuk Lekra. Mereka bilang, “Orang ini pinternya ngarang, mesin ketik-nya apa?” Saya bilang “Carona”, “O, Carona saya ada baru”. “O, nanti dulu, lha wong ini pemberian orang tua saya, lebih baik punya sendiri”. Itu yang bilang Soepriadi Tomodihardjo, Lekra Jawa Timur. Dia juga mengatakan, “Biola, saya punya baru”. Waktu itu seniman untuk beli biola, bass, seperti tidak mungkin, mahal banget. Terus ada lagi lembaga kebudayaan lain lemah. Sebagai contoh, Ludruk Marhaen, jelas itu milik PNI, tapi kena Lekra. Di sini ada juga, Mawar Merah, keroncong, milik PNI awalnya. Kena PKI juga. Dan, lagu-lagunya menarik rakyat. Seperti, Genjer-genjer, Sepatu Thetelan. Sepatu Thethelan menceritakan orang tua menyekolahkan anaknya, tapi tidak punya sepatu. Beli sepatu rombengan, itu masih dijahit sama ibunya. Waduh, ngeres itu. Sebagian besar seniman kena Lekra. Nasihin, misalnya. Malah Nasihin ini, saya seperti kena KO. Dia aktivis Muhammadiyah, pengajian jadi panitia ini dan itu.
(Wawancara, 31 Juli 2009)
Paling tidak, ada dua faktor berkembang pesatnya Lekra di Banyuwangi. Pertama, para seniman musik memang berproses di tengah-tengah rakyat, sehingga makna-makna yang mereka anggit dalam karya musik lebih dekat dengan tema sehari-hari rakyat. Akibatnya, pada perkembangan berikutnya, sebagian besar mereka lebih memilih Lekra yang berjanji akan memperjuangkan ideologi kerakyatan dalam perjuangannya. Kedua, Lekra pandai dalam mengatur strategi dan berwacana untuk mempengaruhi para seniman Banyuwangi.
Sebelum Lekra masuk ke Banyuwangi, para seniman musik Banyuwangi memang sudah mendekatkan genre musik dan tema-tema lirik lagu mereka dengan kehidupan rakyat. Mohammad Arif, misalnya, menciptakan lagu Gendjer-gendjer yang menjadi awal kelahiran lagu-lagu Banyuwangen dengan iringan angklung pada era pasca kemerdekaan. Aksoro (2004: 11-13) menjelaskan bahwa Arif menciptakan lagu itu ketika melihat bagaimana genjer (sayuran liar di sawah berair) dikonsumsi oleh masyarakat karena sulitnya bahan pangan di masa Jepang. Dalam kondisi normal (ketika pangan cukup), masyarakat Banyuwangi sebenarnya tidak mengkonsumsi genjer yang sebelum masa sulit dijadikan makanan bebek dan babi. Kedekatan karya dengan persoalan sosial yang dialami rakyat kebanyakan, tentu saja, menjadikan banyak seniman Banyuwangi bergabung ke dalam Lekra, karena lembaga ini secara ideologis dan institusional dengan tegas akan membela kepentingan rakyat dan seniman yang berasal dari rakyat kebanyakan. Artinya,
Khusus tentang Gendjer-gendjer, populeritas lagu ini memang cukup fenomenal di masa-masa sulit kepemimpinan Soekarno, meskipun pada masa Orde Baru lagu ini menjadi alat stigma terhadap bahaya komunis. Dua penyanyi besar Indonesia pada era 60-an, Bing Slamet dan Lilis Suryani, pernah menyanyikannya dan mendapat sambutan luar biasa secara nasional. Belum ada data yang cukup jelas sejak kapan lagu tersebut ‘diambil alih’ oleh Lekra.[15] Adalah film Pengkianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer—dengan pembiayaan penuh rezim—yang menjadikan lagu ini sangat politis karena diplesetkan menjadi syair yang “sangat kejam” tentang pembunuhan para jendral.
Pertanyaan besarnya adalah apakah sebelum peristiwa berdarah 65, Gendjer-gendjer sudah diplesetkan oleh PKI dan organisasi underbow-nya? Rasa-rasanya, tidak mungkin. Memang, pada waktu itu Genjer-genjer menjadi semacam lagu wajib bagi kampanye PKI, utamanya di wilayah Banyuwangi dan kabupaten-kabupaten tetangganya, seperti Jember, tetapi tidak dinyanyikan dalam versi plesetan yang kejam itu.[16] Menurut kami PKI tidak pernah memelesetkan Gendjer-gendjer menjadi lirik yang sangat kejam. Yang mungkin adalah bahwa sineas Pengkhianatan G 30 S PKI sengaja memelesetkan lagu tersebut untuk membenarkan stigma PKI dan organisasi underbow-nya kejam dan tidak berperikemanusiaan sehingga pantas di bunuh. Apalagi, film tersebut dibiayai oleh rezim militer yang anti-komunis, sehingga representasi-representasi stereotip tentang komunis berada dalam kontrol mereka. Sayangnya, Arifin C. Noer sebagai sutradara film ini sudah meninggal dan tidak mungkin lagi diklarifikasi untuk membersihkan Gendjer-gendjer dari stigma yang membekas hingga kini.[17]
Keunggulan Lekra berikutnya adalah kepintaran strategi yang mereka kembangkan. Ungkapan Hasnan bahwa ia ditawari mesin ketik oleh pengurus Lekra menjadi contoh riil dari strategi tersebut. Bagiamanapun juga, bagi sastrawan di tingkat lokal, mesin ketik adalah barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang berada. Pun biola menjadi ‘barang langka’ karena harganya mahal. Ketika memiliki biola, para pencipta lagu bisa berkarya untuk mengekspresikan kepintaran nalar imajinatif mereka. Maka, tawaran-tawaran tersebut jelas menjadi ‘senjata’ yang mampu menarik hati para seniman dan sastrawan rakyat yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Dalam konteks tersebut, Lekra memang harus diacungi jempol, karena kepemilikan atas aset-aset berharga tidak semata-mata menjadi milik elite organisasi, tetapi bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berada di level lokal.
Kekurangmampuan organisasi kebudayaan lain untuk memahami keinginan-keinginan mendasar dari para anggotanya menjadi kelemahan yang menguntungkan keberadaan Lekra. Mawar Merah, sebuah orkes keroncong yang berkembang di Banyuwangi, berhasil dikuasai oleh Lekra, meskipun secara ideologis mereka awalnya lebih dekat dengan PNI. Fakta bergabungnya Nasihin, warga Muhammadiyah, ke Lekra juga menunjukkan kuatnya pengaruh Lekra. Secara interpretatif bisa dibaca bahwa para seniman yang bergabung ke Lekra menemukan institusi yang bisa menampung kreativitas yang tidak atau kurang terwadahi oleh organisasi kebudayaan atau kemasyarakatan lainnya. Banyak sastrawan, pencipta lagu, dan seniman-seniman lainnya, misalnya, enggan masuk ke dalam HSBI karena mungkin organisasi ini, berdasarkan garis ideologinya, lebih dekat dengan kelas elit perkotaan yang cenderung puritan dan kurang memperhatikan perkembangan kesenian rakyat Banyuwangen. Mereka juga enggan masuk ke LKN karena lembaga ini lebih eksklusif karena dekat dengan tradisi priyayi. Semisal, dalam konteks kesenian, LKN di Banyuwangi lebih banyak mengembangkan gamelan. Sementara, Lesbumi lebih mengembangkan kesenian bernuansa Islami. Selain itu, Lekra di Banyuwangi tidak hanya menjadi media para sastrawan dan seniman musik, tetapi juga kesenian tradisional lainnya berbasis tari dan drama.
Meskipun Lekra berkembang pesat di Banyuwangi, bukan berarti organisasi kebudayaan lainnya tidak berkembang dan kurang memberikan kontribusi pada budaya Banyuwangen. Para anggota LKN, Lesbumi, dan HSBI juga ikut mewarnai dengan konteks dan karyanya masing-masing. Dalam peringatan hari-hari besar nasional, lembaga-lembaga budaya berpartisipasi dengan menampilkan karya masing-masing.[18] Pertemuan mereka di atas panggung menandakan bahwa dalam hal kreativitas, para seniman sebenarnya tidak konflik mendasar. Hal itu bisa dipahami karena dalam pikiran dan tindakan mereka, berkarya adalah sebuah bentuk kebutuhan dan tanggung jawab terhadap persoalan sosio-kultural masyarakat. Mengisi kemerdekaan dengan karya seperti sudah menjadi tuntutan umum yang disepakati para seniman. Wajar kiranya, kalau mereka saling berlomba melalui karya, bukan lagi sesumbar ideologi politik secara verbal dan merasa diri paling benar. Karena karya-karya mereka sebenarnya sudah merepresentasikan makna-makna ideologis yang mereka yakini.
Namun demikian, kuatnya faktor politik dalam arena kebudayaan, dalam beberapa kasus, menjadikan pertunjukan dari salah satu organisasi dihiasi dengan ejekan-ejekan tertentu oleh organisasi kebudayaan lainnya. Pagelaran-pagelaran seni, nyatanya, sangat dipengaruhi perbedaan-perbedaan ideologis dalam tataran pragmatis seperti yang diperlihatkan oleh elit-elit politik di pusat maupun di daerah. Meskipun demikian, konflik yang terjadi dalam pagelaran seni tidak sampai menjurus kepada konflik fisik antarseniman. Prinsip itulah yang menjadikan toleransi dan apreasiai antarseniman tetap tinggi walaupun secara ideologis mereka berbeda.[19] Toleransi dan apresiasi tersebut didasari semangat berkesenian yang sebenarnya mampu melampaui batas-batas ideologis karena lebih menyentuh aspek-aspek kreativitas yang memiliki keunikan masing-masing.
Masalahnya, kepentingan ideologis yang sudah terlanjur merasuk ke dalam wilayah pikiran dan imajinasi dari masyarakat, termasuk di dalamnya para seniman, sastrawan, dan budayawan, menjadikan mereka korban dari sebuah “rekayasa berdarah” yang sampai sekarang masih kabur siapa aktor di balik itu semua. Rekayasa berdarah itu adalah tragedi G 30 S 1965.[20] Tragedi yang digerakkan oleh konflik kepentingan di tingkat elit nasional, nyatanya merambat hingga ke wilayah pedesaan. Banyak para seniman, guru, buruh, maupun rakyat biasa yang menjadi anggota PKI atau yang dituduh dekat dengan PKI menjadi korban, tanpa diberi hak untuk memberikan pembelaan. Setelah tragedi tersebut, beberapa seniman Banyuwangi yang selamat “bungkam seribu bahasa”, tidak berani menghidupkan kembali atau menciptakan lagu-lagu Banyuwangen yang mengekspresikan kerakyatan mereka baru atau sekedar untuk berekspresi.[21]
[1] Menurut Gellner nasionalisme lahir karena kompleksitas masyarakat industrial Eropa Barat yang membutuhkan tenaga kerja dan pemerintahan yang lebih homogen dan kooperatif. Masyarakat industrial melahirkan kondisi-kondisi ekonomi bagi terciptanya kesadaran nasional yang dikonsolidasikan secara politis melalui agensi pengawasan dari negara-bangsa. Anderson melihat kelahiran nasionalisme sejalan dengan melemahnya sistem keyakinan lama yang mewujud dalam kerajaan, komunitas religius, bahasa suci/tinggi, dan kesadaran kosmologis. Bangsa dan nasionalisme merupakan produk dari imajinasi modern dan sekuler melalui novel maupun surat kabar; komunitas yang terbayangkan. Jadi, bangsa dan nasionalisme merupakan proses yang terus menjadi. Lihat, Gandhi, 1998: 104-105. Dalam konteks masyarakat Hindia-Belanda, masyarakat-terjajah di Jawa, misalnya, tidak akan bisa membayangkan kehidupan masyarakat-terjajah di Sumatra dan Borneo tanpa membaca berita di koran-koran berbahasa Melayu-rendah. Bayangan itulah yang membentuk solidaritas dan perasaan senasib sebagai masyarakat-terjajah, sehingga melahirkan sentimen kebangsaan sebagai akar nasionalisme anti-penjajah. Meskipun konsep tersebut awalnya meniru nasionalisme Barat, bagi Fanon (1990: 105), nasionalisme anti-penjajah merupakan respons terhadap kekerasan kolonialisme dengan cara memperbesar solidaritas vertikal dalam masyarakat yang berguna untuk menyembuhkan luka sejarah kolonialisme.
[2] Sebagai penerima pendidikan berbahasa Belanda, Inggris, dan Perancis, para mahasiswa pemberani itu menjadi ter-subjek-kan pada jagat-pemikiran dari bahasa yag mereka pelajari. Mereka dibentuk sebagai subjek di dalam jagat ide-ide Eropa di mana bermacam posisi ideologis diperkenalkan sehingga merusak hirarki yang sudah biasa antara penjajah dan terjajah. Namun, pada saat bersamaan mereka mulai dimasukkan ke dalam keruwetan bahasa dan ideologi-ideologi Eropa, mereka juga disuguhi luka. Hilangnya pesona Eropa pascaperang terkait ide kemajuan dan teknologi koinsiden dengan berkembangnya nasionalisme Jawa dan selanjutnya nasionalisme Hindia serta nasionalisme Asia lainnya. Akibatnya, banyak elit menolak ide-ide Eropa tentang subjektivitas yang tidak sesuai dengan ambisi-ambisi politik pribadi mereka. Intelektual Asia yang belajar di Eropa sadar akan serangan terhadap subjektivitas Eropa. Kelompok-kelompok intelektual Hindia-Belanda meresponnya dengan beragam cara, utamanya terkait implikasi ide otonomi bagi pandangan mereka terhadap dunia. Apakah otonomi bisa selaras dengan Islam? Apakah subjektivitas otonomi selaras dengan ide-ide Jawa tentang penguasa dan kawula yang sudah menyebar selama berabad-abad melalui tradisi lisan dan dibentuk kembali dalam terbitan-terbitan filologis teks Jawa kuno? Lihat, Lurie J. Sears, 2005: 335-336.
[3] Soetatmo Soeriokoesoemo, salah satu pendukung nasionalisme Jawa, pada 1920 memaparkan bahwa konsep Eropa tentang kesamaan bisa jadi tidak selaras dengan pandangan dunia Jawa. Dia bisa menerima ide persaudaraan (fraternity/broederschap) dalam nasionalisme, namun kesamaan menurutnya berbahaya bagi masa depan kelas priyayi Jawa. Para nasionalis Jawa beralasan warisan masa lampau sangat sesuai untuk membangun masa depan negara Jawa. Gambaran klasik tentang warangka manjing curiga—salah satu metafor bagi kebersatuan penguasa dan kawula sebagaimana antara suami dan istri—digunakan untuk menyebarkan kemungkinan subjektivitas otonomi bagi rakyat Jawa. Ibid.hlm.336.
[4] Vickers (2005: 124) menggunakan novel Pramoedya Ananta Tour Korupsi untuk menggambarkan bagaimana kehidupan partai yang sebenarnya: “Dalam novelnya Korupsi, Pramoedya memberikan gambaran lebih jauh lagi tentang kekuasaan politik dengan menunjukkan bagaimana jaringan patronase yang melekat pada prestis dari mereka yang berperan penting pada perjuangan nasional untuk kemerdekaan, tetapi juga mampu mengganggu sumber-sumber bagi pelayanan publik. Partai-partai mapan berhubungan dengan serikat dagang, organisasi kultural, dan organisasi-organisasi sosial lainnya. Pada saat itu, loyalitas terhadap partai mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Sebagai contoh, sebuah usaha untuk melakukan pemogokan umum pada 1955 dilemahkan oleh konflik antara serikat yang didukung Partai Sosialis dan serikat yang didukung Partai Komunis, di mana komunis menentang pemogokan itu.”
[5] Untuk penjelasan yang lebih detil dan terperinci tentang Lekra, baik secara organisasi, gerakan kultural, maupun pemikiran-pemikiran kritis para pegiatnya, lihat, Yuliantri & Dahlan, 2008.
[6] Kekuatan ideologis kerakyatan, misalnya, dituliskan dalam Mukadimah dan Peraturan Dasar I Lekra yang disahkan pada 1950: “Tugas daripada rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan ketjil lapisan atas dan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri.” Komitmen akan kebudayaan rakyat dipertegas lagi dalam Mukadimah yang direvisi pada tahun 1959: “Bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat…Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada Rakjat, adalah satu2nja djalan bagi seniman2, sardjana2 maupun pekerdja kebudajaan lainnja, untuk mentjapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu”.Ibid.hlm.23.
[7] Bang-bang wetan merupakan istilah dalam Bahasa Using yang bermakna semburat cahaya merah ketika matahari terbit di ufuk Timur.
[8] Istilah Using digunakan untuk menamai penduduk yang dianggap penduduk asli wilayah Banyuwangi atau yang sebelum ditaklukkan Belanda lebih terkenal dengan sebutan Blambangan. Menurut Scholte (dikutip dalam Anoegrajekti, 2010: 27-28) istilah Using merupakan pemberian penduduk Jawa Mataraman. Meskipun masih menjadi perdebatan hingga saat ini, sebagian budayawan Banyuwangen memaknai Using sebagai nama etnis, bahasa, dan budaya tersendiri yang berbeda dari Jawa (khususnya Jawa Mataraman). Dari aspek kebahasaan dan kultural, mereka sebenarnya lebih dekat ke Jawa Majapahit atau Bali. Using berasal dari kata “sing” yang berarti “tidak”; tidak Jawa (Mataraman) dan tidak Bali, meskipun mereka bersikap sangat adaptif terhadap pengaruh budaya luar. Dalam perkembangannya, sebagian seniman dan budayawan yang berasal dari etnis Using lebih memilih mengidentifikasi masyarakat dan budaya mereka sebagai “Banyuwangen”, karena realitas kultural menunjukkan di Banyuwangi banyak terdapat etnis-etnis lain, seperti Jawa, Madura, China, Bugis, Bali, maupun Melayu.
[9] Hasnan Singodimayan, 80 tahun, mantan aktivis HSBI, menuturkan: “Setelah 45-an, di Banyuwangi berkembang seni lagu yang tercipta sepertihalnya bakat alam. Arif, misalnya, menciptakan lagu-lagu yang bernuansa, apa ya, bukan PKI, tapi rakyat bawah. Lagu-lagu Banyuwangi dengan iringan angklung-nya mulai disenangi. Tapi, lagu-lagu klasik yang digendingkan dalam gandrung, ndak menarik cengkoknya. Kalau di-aransir pencipta lagu, jadi enak. Memang ada yang ahli dalam bermain musik dan menciptakan lagu-lagu, seperti Nasihin, Mantovani (nama aslinya Gunawan), Andang, Basir, Arif, Hendro Wilis, Slamet…Begitu hebat orang-orang itu. Cuma terus direkrut Lekra.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
[10] Sebenarnya istilah Blambangan lebih populer pada masa-masa sebelum kekuasaan Belanda. Semenjak Tawang Alun berkuasa dan dilanjutkan oleh para penerusnya, baik berasal dari keturunan permaisuri maupun selir, perebutan kekuasaan sering terjadi di wilayah ini karena kurang kuatnya fungsi nagari (ibukota) dalam mengontrol wilayah-wilayah bawahan. Konflik tersebut bertambah panjang ketika beberapa kerajaan Bali seperti Buleleng dan Mengwi berusaha untuk menguasai wilayah Blambangan. Pun demikian dengan Mataram yang berusaha menaklukkan wilayah ini, meskipun mengalami kegagalan. Kekuasaan Belanda mulai menguat pada abad ke-18 ketika di Blambangan terjadi konflik politik internal. Lebih jauh lihat Sudjana, 2001.
[11] Menurut penelitian Ikaning, bentrok terjadi antara Pasukan COG IV/C (Commando Offensif Gerilya, yang sebelumnya dikenal dengan Pasukan Yon Macan Putih yang diperintahkan Resimen 40 Damarwulan Jember, menumpas tentara-tentara Belanda) dengan anggota PKI di daerah Kalipait dan Tegaldlimo. PKI sempat membentuk Komando Markas Pertahanan Daerah (KMD) dipimpin Prayitno dan Sutoyo. Kekuatan PKI bisa ditaklukan COG IV/C pada 4 November 1947 jam 24.00 WIB. Selanjutnya, COG IV/C melakukan operasi pembersihan terhadap sejumlah tokoh PKI di daerah Banyuwangi selatan seperti Suntoyo, Soenyoto, Slamet, karto dan Kabul. Mereka ditangkap dan diadili dengan hukuman mati. Sedangkan Prayitno, Ikhwan, dan Kusno, tokoh PKI lainnya, dapat melarikan diri. Ikaning, “Sejarah PKI Banyuwangi dan Pembantaian Cemethuk 18 Oktober 1965”, diunduh dari: http://ikaning.wordpress.com/2008/01/27/sejarah-pki-di-banyuwangi-dan-pembantaian-cemethuk-18-oktober-1965/, 21 Maret 2011.
[12] PKI mampu memperoleh 60 ribu suara. Partai NU mendapatkan 100 ribu suara. Sementara, Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 90 ribu suara. Sedangkan, Partai Masyumi di tingkat keempat dengan perolehan 30 ribu suara. Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Sangat sulit untuk melacak data atau referensi terkait persoalan tersebut. Salah satu data dari feature tentang Njoto (Wakil Ketua CC PKI) yang dibuat oleh reporter Radio KBR68H, Budhi Kurniawan, dan disiarkan oleh Radio Netherland, menjelaskan: “Suatu ketika, saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1962 dia disuguhi lagu Gendjer-Gendjer. Nalurinya sebagai seniman muncul dan memprediksi lagu itu akan tenar. Ramalan Njoto benar, lagu rakyat itu menjadi hit yang diputar di TVRI dan RRI.” Apakah Njoto yang membawa ke Jakarta dan menjadikan lagu ini sebagai ikon tembang Lekra? Feature tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut. Lihat “Njoto, Wakil Ketua CC PKI yang mati dalam sunyi”, diakses dari http://www.facebook.com/notes/nyoto/njoto-wakil-ketua-cc-pki-yang-mati-dalam-sunyi/59333165545, 23 Maret 2010.
[16] Samsuliwan, 60 tahun, salah satu saksi hidup kampanye PKI di desa dan kecamatan di Jember, mengatakan: “Sebelum meletus peristiwa berdarah itu, saya sudah sekolah SD. Masa-masa itu memang ramai sekali politik. Apalagi, setiap PNI, PKI, dan NU punya drum band. Setiap kampanye di desa dan di kecamatan selalu ada drum band-nya. Orang-orang banyak yang ikut. Ramai banget pokoknya. Saya dan teman-teman juga selalu nonton kalau ada kampanye, meskipun tidak ngerti apa yang diomongkan, lha ngomong politik. Dalam kampanye, selain drum band, juga ada lagu-lagunya juga. Yang saya ingat jelas sampai sekarang ya lagu-lagunya PKI dan NU itu. Setiap PKI kampanye, Gendjer-gendjer selalu dinyanyikan oleh para anggota dan simpatisannya. Masih lagu aslinya, njer-genjer nong kedokan pathing keleler itu, bukan seperti yang di film itu. Kalau NU, pasti sholawatan. (Wawancara, 5 September 2009, penekanan oleh penulis)
[17] Cap sebagai lagunya PKI yang kejam, menjadikan para seniman Banyuwangi takut menyanyikan Gendjer-gendjer jarang dinyanyikan di wilayah Banyuwangi, paling tidak sampai tulisan ini dibuat. Bonang, putra Hasnan Singodimayan, menceritakan dalam sebuah seminar, dia pernah menanyai seorang seniman tentang lagu Genjer-genjer. Ternyata, dia mengatakan tidak tahu apa-apa tentang lagu itu. Menurut keyakinan Bonang, seniman tersebut sebenarnya hafal atau paling tidak tahu tentang lagu tersebut, tetapi trauma politik telah menjadikannya bungkam. (Wawancara, 31 Juli 2009)
[18] Hasnan menuturkan: “Jadi kalau ada kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah, seperti 10 November, organisasi kesenian tampil semua. Jadi pemerintah ndak usah bayar. Lekra, itu wahhh, ada tari Paman Tani, Gendjer-gendjer. LKN, pimpinan Hasan Ali dan Sidre, itu menampilkan juga warna daerah, dwi laras, pelog-slendro. Senengnya sama LKN itu, pelog-slendro, kan sulit kita mempelajarinya. Kemudian tampil Lesbumi dari NU, biasa sudah, bolak-balik ya silat. Tapi bagus, silatnya itu dimodifikasi dalam bentuk tari. Mereka ada H. Anjawi, H Hasan Salikin, H Rasyid Salikin. Kalo HSBI, karena dominan orang-orang Sumatra, orang awak semua, itu tari Mak Enang Patah Sembilan, Tari Minang, Tari Piring juga.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
[19] Hasnan menuturkan: “Cuma karena kondisi politik waktu itu, kalo HSBI tampil, ada teriakan-teriakan, “Ganjang Malaysia, Ganjang Malaysia, antek Nekolim, Tengku Abdurahman.” Waduh, kan tari Minang tari Melayu itu identik dengan Malaysia. Saya tetap angkat topi, LKN itu hebat, Lekra itu hebat, HSBI juga. Antarseniman itu kan kreativitas, yang konflik ya partai-partai itu. Semua saling menghargai. HSBI pinter teaternya. Dulu ndak ada gedung, ya main di gedung bioskop. HSBI kalau main teater, waduh penuh yang nonton. Orang Lekra mengakui, “Kalau main teater, jangan main-main sama HSBI.” Orang-orang HSBI pinter acting, alat musik lengkap, kan kita itu Masyumi, kita minta apa selalu dituruti. Jadi kami itu background-nya seperti film Barat. Lampu, urusan Fathurrahman. Jadi ndak bisa ditandingi. LKN mengembangkan seni-seni Damarwulan. Lesbumi juga mengembangkan sandiwara, haddrama, hadrah dan drama. Pada tiap ranting Anshor, mesti ada haddrama. Saya tanya orang Lesbumi, H. Slamet, “Mengapa haddrama?” Dia bilang, “Kalau saya kembangkan teater kayak orang-orang HSBI, ndak nyandak, kemampuan orang-orang Anshor ya gitu itu.” Kan ceritanya HSBI itu seperti Domba-domba Revolusi.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
[20] Dalam menggunakan istilah ini, kami memang sengaja tidak menggunakan kata PKI karena sampai saat ini, fakta historis tentang keterlibatan PKI dalam kudeta tersebut masih kabur dan simpang-siur. Pendapat Asvi Warman Adam tentang terlibat atau tidaknya PKI menarik untuk dijadikan salah satu argumen penguat. Ia menjelaskan bahwa istilah PKI dalam G 30 S harus tidak dipakai lagi karena PKI tidak secara institusional terlibat dalam gerakan tersebut, meskipun beberapa pimpinan elite diindikasikan terlibat. Lebih jauh lihat Asvi Warman Adam, 2007: (khususnya) Bab 8, 9, 10, 11, dan 18.
[21] Supranoto (75 tahun), seorang pensiunan pegawai negeri bagian Purbakala menuturkan: “Tahun 1969 saya balik dari Jakarta dan bekerja di Pemkab. Saya lebih suka terjun ke lapangan. Saya merasa aneh, para seniman ‘bungkam’, tidak ada yang buat lagu ataupun menyanyikan gending-gending Banyuwangen. Ternyata mereka masih trauma karena peristiwa G 30 S 1965 yang dituduh melibatkan PKI sekaligus Lekra. Gara-gara, Genjer-genjer diplesetkan menjadi genjer-genjer mayite jendral pathing keleler. Saya juga ndak tahu siapa melakukannya, apakah benar-benar Lekra atau rekayasa. Lagu itu memang sangat populer sampai menasional. Bahkan dimainkan marching band Angkatan Udara. Nah, kebetulan pula para seniman rakyat memang banyak yang ikut Lekra. Karena banyak seniman di luar daerah yang hilang nyawanya, maka para seniman di sini semua ketakutan, apalagi pemerintah dan tentara sangat ketat. Padahal, sebelum PKI dan Lekra di Banyuwangi ada, lagu-lagu Banyuwangen itu sudah ada. (Wawancara, 22 Juli 2009)
Sumber foto: http://padangulan.wordpress.com
Sumber: MataTimoer.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar