Fadrik Aziz Firdausi - 28 Mei 2017
Pers mahasiswa menjadi alternatif informasi di tengah
hegemoni Orde Baru. Kendati mengalami pergeseran fokus, kritisisme mahasiswa
tetap hidup.
Suasana dalam "Diskusi
dan Ngopi Bareng Historia: Dari Breidel sampai Hoax, Mengenang Masa Kelam
Kebebasan Pers Era Soeharto" di Tanamera Coffee Jakarta, Rabu 24 Mei 2017.
Foto: Nugroho Sejati
Pada masa Soeharto berkuasa, pemerintah menerapkan
kontrol penuh terhadap pers dan tak jarang represif. Karenanya rezim Soeharto
dikenal sebagai rezim pengendali pers. Pemerintahan Orde Baru kerap melakukan
pengekangan terhadap lembaga pers profesional. Keadaan itu membuat mahasiswa
generasi 1990-an merasakan masa suram demokrasi.
Kelompok mahasiswa idealis saat itu tidak tertarik
menjadi wartawan di media yang dikendalikan pemerintah. Karenanya, mereka
mimilih untuk membuat media sendiri sebagai alternatif. Mereka menyajikan
informasi alternatif yang lebih kritis. Pemberedelan Majalah Tempo dan Monitor pada
1994 adalah momentum menggeliatnya pers mahasiswa yang bergerak secara underground.
“Periode 1994 hingga 1998 itu juga ditandai dengan munculnya pers-pers bawah tanah yang kemudian memberikan informasi alternatif,” kata Ignatius Haryanto ketika berbicara dalam diskusi bertajuk “Dari Breidel Sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”, Rabu (24/5/2017).
Media yang mereka terbitkan kerapkali memacak headline atau
artikel yang kritis terhadap pemerintah. Saat itu salah satu wacana yang santer
diangkat pers mahasiswa adalah soal posisi militer dalam politik. Tak jarang,
pers mahasiswa mengkritisi militerisme Orde Baru melalui kartun-kartun
provokatif.
“Makanya pers mahasiswa itu laris. Dicetak 4000 sampi 5000 eksemplar lalu dijual di lapak-lapak luar kampus. Dan itu laku, bahkan hampir semua peneliti luar yang menelaah Indonesia mengoleksi itu,” ungkap Nezar Patria, anggota Dewan Pers, yang turut menjadi pembicara.
Kritisisme lembaga pers mahasiswa itu membuat mereka juga
menjadi sasaran represi rezim Soeharto. Akibatnya media terbitan lembaga pers
mahasiswa diputus pembiayaannya oleh pihak perguruan tinggi atas tekanan dari
penguasa.
“Tak habis akal, akhirnya media itu diproduksi dengan difotokopi. Padahal, kalau sekarang kita baca-baca lagi lebih kental propagandanya daripada beritanya,” ujar Nezar Patria.
Karena muatan propaganda itu media terbitan lembaga pers
mahasiswa memiliki andil dalam Reformasi 1998. Media itu menjadi pemersatu
elemen-elemen mahasiswa selama aksi Reformasi. Mulai dari awal pembentukan
gerakan di kampus, aksi-aksi demonstrasi, hingga perkembangan wacana di
kalangan aktivis mahasiswa semua dilakukan dengan memanfaatkan media pers
mahasiswa.
Kini, seiring perkembangan zaman, pers mahasiswa juga
mengalami pergeseran.
“Soal fokus, kini pers mahasiswa lebih banyak mengangkat isu-isu internal kampus. Mungkin juga kondisi riil sekarang ini tidak membuat mereka merasa perlu turun tangan. Tapi, hal seperti itu sebenarnya kembali kepada mahasiswa sendiri yang menjadi penggerak pers kampus,” ujar Ignatius.
Andina Dwifatma, dosen komunikasi Universitas Atma Jaya,
yang ikut menjadi pembicara berpendapat bahwa kritisisme tetap menjadi ciri
khas pers mahasiswa. Dia mencontohkan kasus pemberedelan Majalah Lentera yang
diterbitkan oleh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Majalah
itu diberedel lantaran mengangkat soal Tragedi 1965.
“Jadi, kita tidak bisa menyebut mahasiswa sekarang kurang kritis,” tutur Andina.
Namun, dia menengarai ada usaha-usaha untuk menjauhkan
mahasiswa dari kritisisme. Itu dilakukan dengan mengarahkan mahasiswa untuk
lebih berorientasi akademis dan menghindari politik.
“Memang ada pewacanaan bahwa mahasiswa harus netral dan sebaiknya tidak terlibat politik. Kepada mereka ditekankan bahwa tugasnya hanyalah belajar, cepat lulus, dan bekerja,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar